Prabowo Blakblakan
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
22 Desember 2012
Cukup menghibur menyimak kuliah umum tanpa
teks Prabowo Subianto selama dua jam lebih, di Jakarta, Selasa (18/12). Isi
pidatonya mengenai masalah-masalah yang kita sudah tahu, tetapi yang lebih
penting ”the singer, not the song
Soegeng Sarjadi Syndicate
(SSS) beberapa bulan lalu menyelenggarakan survei yang menempatkan Prabowo
sebagai calon presiden terpopuler. Ia diberikan kesempatan menyampaikan
kuliah umum di hadapan sekitar 300 orang dari berbagai kalangan.
Survei SSS menyaring lima
capres terpopuler. Menurut rencana, kuliah umum dilanjutkan sebulan sekali
oleh Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, dan Surya Paloh.
Sebelum kuliah Prabowo,
peneliti SSS, Ari Nurcahyo, menyampaikan kilas balik politik 2012 yang
ditengarai ibarat ”bayi sungsang”. Elite penguasa melakoni perilaku politik
yang sering salah tempat dan tanpa etika.
Kuasa dan uang jadi
episentrum berpolitik dekonstruktif yang melarikan politik dari tujuan
bernegara. Dengan kata lain, kegiatan politik jadi peluang meraup uang rakyat
sebanyak mungkin.
Tema ”bayi sungsang”
itulah yang segera ”disambar” Prabowo. Kuliah umum berubah menjadi orasi
berapi-api berisikan wrap-up
politik 2012 yang cocok diberikan predikat annus horribilis.
Nah, mengapa kuliah umum
Prabowo menghibur? Pertama, karena Prabowo tampil manusiawi alias apa adanya.
Prabowo bilang ”nyesel guè enggak kudeta” tahun 1998.
Ini gurauan karena ia menimpali kudeta mustahil berhubung UUD 1945 menyebut
Presiden sebagai Panglima Tertinggi.
Ia banyak bergurau di
podium sehingga hadirin tak merasa jenuh. Berkali-kali Prabowo menyebut
dirinya dengan ”guè”, pertanda ia
tidak sok genting dan mengundang derai tawa.
Ia berada di podium bukan
sebagai jenderal Orde Baru eks Pangkostrad atau Dankopassus. Siang itu
Prabowo menjadi bagian dari hadirin yang prihatin dengan kondisi bangsa dan
negara.
Akan tetapi, setidaknya ia
menyebutkan solusi- solusi untuk menyelesaikan berbagai masalah bangsa.
Sekali lagi, solusi-solusi itu bukan ramuan ajaib dan kita pun lebih kurang
sudah paham.
Misalnya tentang dilema
demokrasi kita. Di satu pihak kita wajib menjaga kelangsungannya—bahkan
mematangkannya. Namun, di lain pihak sering timbul pikiran: apakah kita siap
berdemokrasi.
Prabowo bercerita lelahnya
bersiap dengan visi, misi, dan program pencalonan presiden. Namun,
kader-kader partai lebih tertarik pada ”peluru” (baca: dana untuk beli
dukungan).
Lalu, ia turba untuk
berkampanye. ”Jika saya bicara dengan
mereka tentang misi dan visi untuk negara, mereka enggak peduli. Mereka hanya
minta berapa uang yang saya keluarkan,” katanya.
Belum lagi persoalan
mendasar: apakah ada jaminan Pemilu-Pilpres 2014 tidak amburadul seperti
tahun 2009? Menurut dia, ada sekitar 20 juta ”suara hantu” yang ikut
mencoblos dalam Pemilu-Pilpres 2009.
Paling menarik, Prabowo
menawarkan kepemimpinan ala Demokrasi Terpimpin jika terpilih sebagai
presiden periode 2014-2019. Ini demokrasi yang diintrodusir Bung Karno
setelah memberlakukan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
”Kita
tak punya panduan. Indonesia berada di simpang jalan karena Kurawa bertujuan
membajak demokrasi. Sekarang terjadi pertempuran antara Kurawa dan Pandawa.
Kondisi ini takkan berubah jika orang-orang baik membisu,”
katanya.
Lebih kurang ada kemiripan
antara kondisi sekarang dan sebelum Dekrit Presiden. Partai dan politisi
bersikap semau-maunya, kesejahteraan rakyat semakin terpuruk.
Itulah yang membuat Bung
Karno pasca-Pemilu 1955 mencoba merumuskan ”konsepsi” yang berujung pada
Demokrasi Terpimpin. Politik dan partai dikubur hidup-hidup, orang-orang
profesional nonpartai dipercaya duduk di kabinet.
Demokrasi Terpimpin tidak
demokratis karena membungkam kebebasan politik dan pers. Pada masa tangan besi
ini, Bung Karno mulai membubarkan partai dan memberedel koran.
Ironisnya, beberapa puluh
tahun kemudian, dua pemimpin Asia Tenggara meniru Demokrasi Terpimpin dalam
bentuk agak lain: PM Malaysia Mahathir Mohamad dan PM Singapura Lee Kuan Yew.
Lihat sekarang hasilnya!
Tidak mudah bagi Prabowo
melicinkan jalan memimpin Indonesia karena, suka atau tidak, masih ada
berbagai kalangan yang ragu terhadap dia. Bahkan, tidak sedikit pula yang
coba menjegal dia.
Pencapresan 2014 lebih
seru dibandingkan empat tahun lalu karena untuk pertama kalinya sejak 2004
tak ada capres petahana. Namun, proses itu semestinya bisa berlangsung
konstruktif.
Cara kuliah umum yang
dilakukan SSS bisa dijadikan contoh menarik. Berbicaralah blakblakan langsung
kepada publik melalui media massa.
Prabowo sudah ngomong
blakblakan selama dua jam, tinggal menunggu giliran yang lain-lain. Semoga
melalui metode ini muncul segelintir capres yang mau bersikap sedikit
profetik.
Semoga mereka merasa
terpanggil menjalankan misi untuk kemaslahatan rakyat. Mereka menjadi capres
bukan lagi karena ingin meraih kekuasaan, privilese, atau kekayaan, tetapi
demi mempertahankan moralitas, etika, dan adiluhung.
Ciri profetik yang kita
harapkan dari mereka adalah, pertama, capres yang selama 2014-2019 bertekat
membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Kedua, tetap memperjuangkan dan
mempertahankan keberagaman.
Ketiga, memerangi
kemiskinan yang makin menggerogoti. Keempat, mempertahankan demokrasi—walau
kita sudah lelah berdemokrasi. ●
|
prabowo for president 2014
BalasHapus