Sabtu, 01 Desember 2012

Pesan Teror dari Papua


Pesan Teror dari Papua
Joko Riyanto ; Koordinator Riset Pusat Kajian dan Penelitian Kebangsaan (Puskalitba) Solo, Alumnus FH UNS
MEDIA INDONESIA, 01 Desember 2012
  

BUMI Papua belakang an terus menjadi ladang kekerasan. Penembakan yang mematikan terus saja berdatangan. Celakanya, warga dibiarkan hidup dalam ketakutan. Penembakan, misalnya, tidak lagi mengenal atribut korban. Ada anggota TNI dan Polri, turis asing, pegawai negeri sipil, hingga pelajar.

Terakhir, Kapolsek Pirime, Kabupaten Lany Jaya, Ipda Rofli Takugesi serta dua anggotanya, yakni Brigadir Jefry Rumkorem dan Briptu Daniel Makuker, meregang nyawa. Mereka gugur ketika sekitar 50 orang menyerbu dan membakar Polsek Pirime, Selasa (27/11). Selain menewaskan Ipda Rofli dan dua anak buahnya, penyerang membawa kabur revolver milik Rofli dan dua senjata laras panjang. Mereka diduga bagian dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Yani Tabuni.

Hanya sehari berselang, giliran rombongan Kapolda Papua Irjen Tito Karnavian menjadi sasaran serangan. Konvoi kendaraan Kapolda Papua yang tengah dalam perjalanan dari Wamena menuju Polsek Pirime ditembaki orang tak dikenal. Sempat terjadi adu tembak, tetapi tidak ada korban. Insiden tersebut menambah panjang daftar kekerasan di Papua (Editorial Media Indonesia, 30/11/2012).

Penembakan dan aksi kekerasan telah memunculkan kesan tidak ada lagi tempat aman di Papua. Polisi yang menjadi ujung tombak penegakan hukum dan memelihara ketertiban keamanan seolah tidak berdaya. Penembakan dan kekerasan di Bumi Cenderawasih akhir-akhir ini semakin membuktikan negara tidak hadir dan gagal dalam melin dungi warga negaranya (Papua). Apalagi, para pelaku diberikan impunitas sehingga sistem penegakan hukum tidak jalan.

Dalam Papua Road Map (2009), sumber konflik mencakup empat isu strategis.
Yaitu, sejarah integrasi Papua ke wilayah NKRI dan identitas politik orang Papua, kekerasan politik dan pelanggaran HAM, gagalnya pembangunan di Papua, dan inkonsistensi pemerintah dalam implementasi otonomi khusus Papua (otsus Papua) serta marginalisasi orang Papua.

Rangkaian tindak kekerasan di Papua paling tidak menyampaikan pesan kepada kita bahwa Provinsi Papua tetaplah menyimpan bara permasalahan yang bisa meledak kapan pun! Teror di Papua tentunya bisa dikonstruksikan sebagai pesan kepada Jakarta untuk kembali memperhatikan Papua. Berbeda dengan provinsi lain di Indonesia, Papua adalah provinsi yang menyandang status otonomi khusus. Dalam UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) ditegaskan, antara lain, adanya perlindungan terha dap hak masyarakat adat Papua. Soal penghor matan terhadap hak asasi manusia, soal ekonomi, juga ditegaskan da lam undang undang ter sebut. Tapi, selama 11 tahun UU No 21/2001 diterap kan, ter nyata belum memberikan perubahan yang signifikan terhadap pelaksanaan fungsi pemerintahan dalam hal melayani, membangun, dan memberdayakan masyarakat.

Sejak masuknya Papua menjadi bagian dari negara Republik Indonesia, rakyat Papua justru mengalami diskriminasi dalam pembangunan, yang mengakibatkan tertinggalnya rakyat Papua dalam bidang ekonomi, sosial, dan pendidikan, apabila dibandingkan dengan sesama daerah lainnya, khususnya dengan Indonesia Barat. Hal itu telah mengakibatkan semakin berkembangnya berbagai aspirasi yang menuntut pemisahan Papua dari Indonesia, yang awalnya hanya menjadi aspirasi sekelompok kecil pejuang Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Memang, rakyat Papua terus tersingkir dari tumpah darahnya dengan berbagai ketidakadilan. Inilah yang menyebabkan terjadinya konflik dan kekerasan di Papua, karena mereka merasa dianaktirikan dan tidak diperhatikan oleh pemerintah. Keadaan di Papua sekarang ini menuntut perhatian yang tidak biasa. Karena itu, penanganannya juga tidak boleh biasa-biasa saja. Pemerintah tidak boleh menyederhanakan persoalan Papua, seperti yang tampak saat ini.

Sikap menyederhanakan masalah itu tampak dari cara pemerintah menangani setiap aksi yang dilancarkan oleh kelompok yang menginginkan wilayah itu lepas dari NKRI dengan selalu mengandalkan pendekatan keamanan (kekuasaan), suatu cara yang selama ini sudah terbukti tidak ampuh untuk meredam potensi disintegrasi.

Presiden Yudhoyono perlu memberikan perhatian khusus terhadap `anak tiri yang tersingkir' (baca: Papua) sebagai bagian NKRI. Akar kekerasan dan konflik di Papua harus terus dicari sehingga kita bisa menemukan solusi yang paling tepat. Presiden dalam rangka HUT ke-66 Kemerdekaan RI di Gedung DPR mengatakan bahwa menata Papua dengan hati adalah kunci dari semua langkah untuk menyukseskan pembangunan Papua sebagai gerbang timur wilayah Indonesia.

Ada beberapa hal pokok yang perlu dilakukan demi terciptanya rasa aman dan damai di Papua. Pertama, pemerintah harus menata ulang manajemen keamanan di Papua. Persoalan keamanan sebaiknya diserahkan sepenuhnya kepada polisi. Termasuk, mengintensifkan operasi intelijen. Dengan rentetan penembakan dan kekerasan yang menimpa warga sipil dan militer seperti se karang ini, dinas intelijen Republik Indo nesia dituntut bekerja ekstra keras, cermat, dan optimal guna menuai hasil maksimal. Intinya, penyelesaian masalah melalui militer tetap harus berpegang dalam koridor demokrasi. Di sisi lain, Presiden harus tegas dan mengakhiri impunitas aparat maupun kelompok bersenjata.

Kedua, dialog Papua yang bermartabat dan setara mutlak dilakukan demi membangun kembali rasa damai dan keadilan. Solusi dialog harus diiringi dengan pendekatan kemanusiaan, sosial, kultural, dan kesejahteraan kepada Papua. Bila rakyat di Papua diperlakukan dengan baik dan adil, berbagai kekerasan dan konflik itu akan padam dengan sendirinya. Selanjutnya, penegakan hukum serta HAM juga dilakukan secara adil dan transparan.

Ketiga, meninjau kembali pelaksanaan otsus Papua karena terbukti tidak efektif membangun Papua, tetapi hanya menjadi ajang korupsi di kalangan elite Papua, atau mereka yang punya akses terhadap dana-dana tersebut. Implementasi otsus Papua belum memberikan kontribusi maksimal bagi peningkatan kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan warga Papua. Peninjauan otsus Papua harus segera dilakukan agar tidak lagi terjadi kecemburuan sosial, ketidakadilan ekonomi, serta benturan budaya hingga makin memperkuat integrasi seluruh wilayah Papua ke dalam pangkuan NKRI.
Terakhir, penyelesaian persoalan di Papua harus bersinggungan dengan kedaulatan rak yat Papua atas tanah dan kekayaan sumber daya alamnya. Namun, pendekatan sosiokultural juga diperlukan. Sikap peduli dan tulus terhadap Papua yang merupakan bagian integral bangsa Indonesia tetap diperlukan. Sikap tulus dan peduli itu juga menuntut adanya pengetahuan yang memadai perihal perbedaan pandangan, sikap, serta perkembangan sosial budaya penduduk di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar