Mimpi Besar
Utusan Tuhan
Media Zainul Bahri ; Postdoctoral Researcher of Alexander
von Humboldt Stiftung pada Department of Oriental Studies Universitas zu
Köln, Jerman;
Dosen UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Desember 2012
“CIVILIZATION will not last, freedom will not
survive, peace will not be kept, unless a very large community of mankind
unite together to defend them and show themselves possessed of a constabulary
power before which barbaric and atavistic forces will stand in awe”. (Winston Churchill)
RASANYA pernyataan Churchill itu masih relevan mengiringi
perayaan Natal tahun ini yang tidak jauh berbeda dengan Natal-Natal
sebelumnya, bahkan dalam satu dekade terakhir. Kita telah dan masih terus
bergulat dengan krisis kemanusiaan yang memilukan hati. Di saat perusahaan-perusahaan
besar teknologi dengan bangga meluncurkan produk baru tercanggih yang
disambut meriah kaum terdidik, sebagian umat manusia dengan keyakinan minor
di belahan lain harus berjuang mempertahankan keimanan mereka dari diktator
mayoritas.
Sebagian lain menangis dan ambruk di tanah lantaran
diberedel tentara negeri sendiri karena mempertahankan kebebasan dan
kehormatan. Dua negeri yang ‘diberkahi’ Tuhan, tempat para utusan-Nya lahir
dan memulai tugas nubuat mereka, malah terus terkoyak oleh konflik dan dendam
yang tak berujung. Kita gelisah dengan munculnya banyak pertanyaan. Sesungguhnya
hendak meluncur ke arah mana peradaban ke manusiaan kita? Apa yang salah
dengan tafsir kita atas kemanusiaan? Bukankah manusia dan kemanusiaan konon
selalu condong kepada kebenaran, keindahan, dan kedamaian? Akan tetapi,
apakah ada alasan lain yang lebih sublim sehingga manusia terus saling
mengobarkan perang? Mengapa di beberapa negeri teokrasi, yang kepada
rakyatnya dipertontonkan hukuman ‘primitif’ bagi para pendosa, mereka malah
bersorak gembira merayakan banalitas?
Selain condong kepada harmo ni, manusia kelihatannya
memiliki watak dasar yang juga menyenangi kekerasan, apalagi jika hal itu
dilakukan atas nama Tuhan atau ideologi lain yang di anutnya. Mencintai
manusia dan terus merawat harmoni, itulah salah satu tugas besar para utusan
Tuhan. Karena alasan itulah Yesus lahir dan Muhammad memulai tugas
kenabiannya. Kita tidak bisa membayangkan Yesus tanpa ajaran kasih-Nya
sebagai doktrin pokok. Muhammad ternyata diberi gelar sebagai nabiyurrahmah
(nabi kasih sayang) yang diutus dengan misi rahmat bagi semesta universal (al-mab’uts rahmatan lil ‘alamin). Bani
Israel sebagai bangsa dan komunitas tempat Yesus lahir memiliki sejarah
panjang penderitaan dan ratapan kesedihan karena selalu ‘dijajah’.
Perjalanan Panjang
Memang, bangsa itu--pada seribu tahun
sebelum Yesus lahir--pernah menikmati kejayaan politik, militer, dan budaya
pada masa tiga raja besar mereka, Saul, Daud, dan Sulayman. Namun, setelah
itu hanya bencana dan penderitaan panjang yang mereka ratapi. Hingga
menjelang awal abad Masehi, mereka terus menunggu datangnya ‘Pangeran
Penyelamat’, ‘Al-Masih’, ‘Putra Tuhan’, dan ‘Kerajaan Tuhan’. Pada mulanya itu
istilah-istilah politik demi menunggu seorang raja sekaliber raja Daud atau
Sulayman yang akan mengakhiri penderitaan mereka di bawah rezim monarki
Romawi. Apalagi terdapat
ramalan nubuat bahwa “Rakyat yang
berjalan dalam kegelapan akan melihat cahaya terang,“ kata Nabi Isaiah,
dan “mereka yang berada di tanah
bayang-bayang kematian, kepada mereka cahaya memancar.“ Itulah yang
disebut ramalan penebusan.
Namun, apa yang terjadi? Ketika Yesus datang dan
memproklamasikan sebagai Al-Masih, Anak Tuhan, dan menawarkan Kerajaan Tuhan,
ia tidak membawa terompet untuk memanggil perang dan berpakaian lengkap
militer. Ia malah berjalan memakai sandal dan baju selempang dengan ajarannya
tentang mencintai tetangga, mengasihi orang lemah dan miskin, serta
mengampuni mereka yang bersalah, bahkan kata dia, “Berbuat baik kepada orang yang telah berbuat baik bukan lah
kebaikan, melainkan membalas kebaikan. Berbuat baik adalah memberi kebaikan
kepada orang yang membencimu. Berilah maaf pada musuh musuhmu.“ Selain
mempraktikkan semua teladan kasih, Yesus tidak merasa hina ketika ia
berbicara dengan para pelacur, lintah darat, dan para pemberontak politik.
Dengan melangkah lebih jauh ia mengatakan bahwa seseorang
yang telah menghabiskan dengan sia-sia seluruh harta warisan bapaknya atau
seorang pegawai pajak yang mencuri uang pajak negara tetap diterima sebagai
hamba Tuhan jika memohon ampun karena belas kasih Tuhan begitu luasnya.
Bahkan selangkah lebih jauh lagi, Yesus mengatakan para pendosa itu masih
lebih utama di mata Tuhan dan lebih patut mendapat ampunan-Nya jika
dibandingkan dengan kaum Pha risi (sekte kun Yahudi) yang berkhotbah agama
dengan hanya membual, mencari kekayaan sembari memamerkan kebaikan mereka.
Dengan cerdik Yesus berkomunikasi dalam bahasa rakyat yang
haus akan perang; suatu bahasa sederhana, padahal ia sedang mewartakan ajaran
yang benar-benar baru dan luas. Yesus membawa mimpi besar bahwa tradisi
perang dan kekerasan harus diputus dengan ajaran kasih. Kekerasan selalu
diikuti dengan kekerasan baru. Tradisi kisas (hukum balas-membalas) dalam
Yahudi harus diganti dengan sentuhan kemanusiaan. Hanya dada lebar yang
berisi kasih yang akan membawa wajah baru bagi dunia baru.
Terbukti, betapa Mahatma Gandhi, Dalai Lama, dan Nelson
Mandela, misalnya, dengan meneladani Yesus dan Buddha Gautama dapat meredam
konflik yang akan melebar dan mentransformasikannya menjadi energi baru yang
lebih humanistis dan positif bagi bangsa masing-masing.
Kebesaran Jiwa
Nabi Muhammad SAW juga hidup dalam masyarakat yang gemar
dengan tradisi kekerasan fisik, balas dendam, dan perang. Muhammad lahir dan
besar dalam bangsa yang mengagungkan pedang, bahkan simbol itu dipakai
Kerajaan Arab Saudi hingga hari ini. Namun, sejak remaja Muhammad sudah
terobsesi oleh mimpi besar tentang harmoni dan kasih yang akan abadi. Ketika
suku-suku di negerinya bertikai dan berebut untuk meletakkan kembali hajar
aswad ke tempat semula karena rusak oleh suatu bencana sebagai simbol kebesar
an klan, Muhammad tampil dengan karisma dan sentuhan kasihnya.
Setiap pemimpin suku akhirnya dapat berjalan dengan
memegang batu hitam itu secara bersama-sama. Konflik yang akan meledak
menjadi perang dapat terhenti. Dalam Surah al-Syura: 39-42 terungkap jelas
kesamaan ajaran Islam dengan doktrin kasih yang dibawa Yesus. Orang Islam
yang dizalimi tidak dikenai dosa jika ia mau membalas dengan setimpal
kezaliman itu. Suatu kejahatan harus dibalas dengan perbuatan serupa (wa jaza sayyiatin sayyiatun mitsluha).
Namun biasanya, sikap balas dendam suka berlebihan. Karena itu, dalam ayat 40
al-Syura, Tuhan akhirnya mengetuk dada kaum muslim; jika ia mau memaafkan
musuhnya dan melakukan rekonsiliasi, hal itu jauh lebih agung jika
dibandingkan dengan harus balas dendam. Bukankah itu ajaran Yesus? Senada
dengan spirit Yesus, Muhammad kembali menyentak kebesaran jiwa kaum muslim.
Kata dia, “Tidaklah disebut orang yang menyambung (alwashil)--maksudnya menyambung tali
kekerabatan--seseorang yang membalas kunjungan. Yang disebut al-washil itu adalah ia yang dengan
besar hati rela menyambung tali yang putus karena diputus oleh saudaranya.”
Jadi, hadis itu menegaskan hal yang tidak biasa, yaitu
berkunjung ke rumah orang yang mengunjungi kita bukanlah silaturahim,
melainkan membalas kunjungan. Silaturahim ialah mau menyambangi saudara kita
yang memusuhi (memutus tali kekerabatan dengan) kita. Akhirnya, kembali kita
menyak sikan kebesaran jiwa Nabi Muhammad, ketika ia menaklukkan Kota Mekah
dan para penduduknya mulai meringis mengingat dulu mereka begitu kejam dalam
‘menghina’ dan ‘membantai’ Muhammad dan pengikutnya. Dalam keadaan putus asa,
penduduk Mekah itu berujar, “Hari ini adalah hari pembantaian, habis kita
akan dicincangnya (al-yawm yawmul
malhamah).”
Namun, pidato Muhammad di luar dugaan. Dengan nada
bergetar Muhammad justru berseru, “Hari ini adalah hari kasih sayang (al-yawm yawmul marhamah), kalian
kumaafkan, kalian semua bebas (antum
althulaqa).” Tentu saja, meledak tangis haru sebagian agitator dan musuhnya.
Yesus dan Muhammad tidak datang membawa nuklir atau
peralatan teknologi yang paling canggih saat itu. Mereka hanya membawa mimpi
besar mengenai kasih kemanusiaan untuk dunia baru yang tenteram dan bahagia.
Terbukti, kebencian, senjata, dan perang makin memperparah ratap tangis umat
manusia. Tentu, kasih yang akan membawa perubahan cerah bukan semata dalam
pengertiannya yang ‘naif’ atau ‘pasif’. Namun, pesan profetik kasih dan
energi kreatifnya yang di apresiasi secara luas itulah yang akan menggerakkan
dan menyatukan manusia melawan sadisme dan barbarisme seperti yang
diisyaratkan Churchill tadi. Itulah kasih kreatif yang akan melestarikan
peradaban, harmoni, dan kebebasan, yang ledakannya mungkin akan lebih dahsyat
daripada nuklir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar