DKPP dan
Kredibilitas Pemilu
Achmad Maulani ; Research Associate di
Pusat Studi Asia Pasifik
UGM
Yogyakarta, Staf Ahli DPR
|
SUARA
MERDEKA, 01 Desember 2012
KELAHIRAN Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP) sebagai salah satu lembaga yang bertugas menciptakan sekaligus
mengawal proses pemilu yang demokratis adalah sejarah baru dan terobosan
penting dalam sistem perpolitikan di negeri ini. Kehadiran dewan itu
diharapkan mampu memberi roh dan harapan baru akan keterciptaan pemilu yang
demokratis. Selain itu, mampu menciptakan pemilu yang memenuhi rasa keadilan,
kredibel, dibarengi integritas pelaksanaan.
Dalam mengawal proses pemilu,
DKPP menjadi semacam peradilan etik untuk menegakkan dan menjaga kemandirian,
integritas, dan kredibilitas penyelenggara pemilu. Karena itu, secara yuridis
ia akan memeriksa, mengadili, dan memutuskan pengaduan atau laporan dugaan
pelanggaran kode etik yang dilakukan penyelenggara pemilu.
Keterciptaan pemilu demokratis,
mandiri, bermartabat, sekaligus berintegritas adalah keniscayaan di tengah
semangat mendirikan partai baru yang hingga saat ini belum memudar.
Banyak partai baru mendaftar ke KPU merupakan bukti yang tak bisa dibantah.
Realitas itu sah karena memang salah satu karakteristik dasar negara
demokratis, sebagaimana dikemukakan Robert A Dahl (1971), yakni ada kebebasan
membentuk organisasi, termasuk partai politik.
Kemunculan beberapa partai baru
sehingga memunculkan sistem multipartai di samping digerakkan oleh proses
demokratisasi yang terus bergulir, juga didasari realitas kemajemukan
masyarakat Indonesia. Mereka tidak hanya terpilahkan secara kelompok tapi
juga oleh beragam kepentingan. Di titik inilah dibutuhkan upaya untuk
benar-benar menciptakan akuntabilitas dalam proses politik, salah satunya
melalui pemilu yang betul-betul punya integritas dalam pelaksanaannya.
Dalam negara modern, demokrasi
ditandai tiga prasyarat; yakni kompetisi dalam memperebutkan dan
mempertahankan kekuasaan, partisipasi masyarakat, dan ada jaminan hak-hak
sipil dan politik. Karena itu, komitmen mewujudkan pemilu yang punya
akuntabilitas dalam seluruh proses, demokratis, dan berintegritas tinggi
merupakan adalah sesuatu yang tak bisa ditawar. Pembentukan DKPP adalah ikhtiar
untuk mewujudkan itu semua.
Sebagai contoh, beberapa hari
terakhir kita melihat DKPP menggelar beberapa kali sidang dugaan pelanggaran
kode etik yang dilakukan KPU. Sidang digelar untuk mengambil keputusan
menyikapi aduan yang dilakukan Bawaslu terhadap KPU atas pelanggaran kode
etik. Hal ini secara jelas ingin menunjukkan bahwa dalam seluruh proses dan
penyelenggaraan pemilu tak boleh ada satu lembaga yang mencederai nilai
demokrasi dalam tahapan dan proses pemilu itu sendiri.
Hal utama dan penting, yang
sesungguhnya perlu kita pikirkan ke depan, adalah terkait kemunculan beberapa
partai baru. Realitas itu memunculkan pertanyaan tentang anutan arah sistem
kepartaian. Setelah keruntuhan Orde Baru kita cenderung menganut sistem
multipartai. Hanya ketika dikaitkan dengan efektivitas dan stabilitas
pemerintahan yang terbentuk, pertanyaan selanjutnya juga muncul: sistem
multipartai seperti apa yang hendak dibangun?
Pertanyaan tidak bisa lepas
dari pandangan bahwa jumlah partai yang memperoleh kursi di lembaga
perwakilan akan berpengaruh terhadap pemerintahan yang dibangun, sebagaimana
di negara yang menganut sistem parlementer; dan sejauh mana eksekutif
memperoleh dukungan dalam sistem presidensial.
Mengawal Hasil
Di Indonesia, sistem
multipartai yang moderat menjadi pilihan yang dikehendaki, rasional, dan bisa
diterima berbagai kalangan. Sistem ini, seperti ditulis Giovanni Sartori
(1976), bukan hanya jumlah yang terbatas melainkan juga dari segi ideologi
yang tidak terpolarisasi secara tajam.
Hal ini terlihat dengan
penerapan electoral threshold. Konsep ini akan menentukan apakah suatu partai
berhak mengikuti pemilu berikutnya atau tidak.
Di dalam literatur mengenai
sistem pemilihan (electoral system), threshold berarti dukungan suara minimal
yang harus dimiliki oleh partai untuk memperoleh kursi di parlemen. Mekanisme
ini guna menciptakan sistem perwakilan dan sistem kepartaian yang stabil.
Pada akhirnya sistem ini diyakini bisa membawa pemerintahan yang lebih stabil
dan efektif.
Keterciptaan sebuah pemilu yang
benar-benar demokratis, punya integritas tinggi, dan bisa mengembangkan
akuntabilitas dalam seluruh proses dan pelaksanaannya, diharapkan dapat
meningkatkan kualitas demokrasi, bukan hanya tertib prosedural semata
melainkan juga ke arah demokrasi substansial.
Kehadiran DKPP dalam tonggak
sejarah ketatanegaraan negeri ini diharapkan dapat mengawal seluruh
proses pemilu dengan seluruh hasilnya. Harapannya, wakil rakyat yang terpilih
tidak berjalan dengan agendanya sendiri. Dengan demikian tidak terjadi
disconnect electoral antara pemilih dan yang dipilih.
Selain itu, pemilu masa depan
diharapkan melahirkan apa yang oleh Richard Mulgan (2003) disebut
akuntabilitas yang bersifat vertikal sekaligus horizontal. Akuntabilitas
vertikal berkaitan dengan relasi antara pemilih dan pejabat yang terpilih.
Sementara akuntabilitas horizontal berkaitan dengan relasi lembaga-lembaga
yang menjadi tempat pejabat terpilih, misalnya antara eksekutif dan
legislatif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar