Sabtu, 22 Desember 2012

Aceng Fikri dan Psikomasokisme Perempuan


Aceng Fikri dan Psikomasokisme Perempuan
Bhetty Nur Evan ;  Penggiat Perempuan dan Pemberdayaan
SINAR HARAPAN, 20 Desember 2012


Perilaku Aceng Fikri, Bupati Garut yang menceraikan Fani Oktara, perempuan yang dinikahi siri melalui SMS dengan alasan keperawanan menuai kecaman publik. Aceng dinilai publik sebagai pejabat yang tidak memiliki etika moral dan sikap keteladanan.
Perilaku Aceng Fikri tersebut juga dipersepsi sebagai wujud tindakan pelecehan martabat perempuan. Perempuan seolah dianggap "komoditas" untuk kepentingan laki-laki. Menurut cerita, perilaku Aceng Fikri tersebut tidak hanya tertuju kepada sosok gadis berumur 18 tahun Fani Oktara, banyak perempuan yang menjadi korban Aceng dengan modus serupa.

Perilaku yang tidak memartabatkan perempuan dari sosok pejabat publik, Bupati Garut Aceng Fikri oleh kalangan penggiat kesetaraan gender dinilai sebagai wujud kekerasan sosiologis terhadap perempuan. Komnas Perempuan bahkan menganggap Aceng sebagai sosok yang agresif melakukan pelanggaran hak asasi perempuan (HAP).

Mendagri Gamawan Fauzi dalam rilis media bahkan menyebut Aceng Fikri sebagai kepala daerah (pejabat publik) yang perbuatannya melanggar etika dan aturan UU No 32 Tahun 2004 dan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut Fauzi, Aceng Fikri bisa dianggap melanggar Undang-Undang 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No 1/1974 tentang Perkawinan.

Sebagai kepala daerah, Aceng bersumpah untuk menaati peraturan perundangan (Kompas, 8 Desember 2012).
Salah satu aturan dalam UU 1/1974 adalah setiap pernikahan harus didaftarkan kepada negara. Selain itu, Pasal 27 Huruf f UU 32/2004 mewajibkan kepala daerah memelihara etika dalam penyelenggaraan

pemerintahan. Adapun Pasal 29 Huruf e UU 32/2004 menyebutkan, sebab-sebab pemberhentian kepala daerah adalah tidak melaksanakan kewajibannya secara etika.
Namun, apakah semua pelanggaran ini akan menjadi poin yang menjatuhkan Bupati Garut, Gamawan menyerahkan sepenuhnya kepada DPRD Garut. Di sisi lain, tim Kementerian Dalam Negeri juga ikut mengecek apakah memang ada pelanggaran peraturan perundangan.

Psikomasokisme

Perilaku Aceng Fikri yang “doyan" nikah siri kemudian menceraikan istrinya dengan dalih "keperawanan", "kemampuan seksualitas", dan "dalih ketidaksetiaan" adalah bentuk psikomasokisme psikologis dan sosiologis terhadap perempuan.

Psikomasokisme adalah konstruksi kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan (pasangannya) karena dilandasi ego eksistensi sebagai laki-laki. Kekerasan tersebut dilakukan untuk menunjukkan bahwa perempuan lemah dan layak dijadikan korban.

Psikomasokisme psikologis adalah tindakan kekerasan terhadap perempuan dengan merendahkan martabat perempuan dan seolah menjadikan perempuan sebagai "komoditas" yang bisa diberlakukan semena-mena dan dihargai dengan materi yang melanggar hak hidup perempuan. Perempuan distandardisasi dengan regulasi moralitas yang absurd. Moralitas perempuan dikerangkeng dalam definisi "keperawanan", "kepatuhan", "kesetiaan", dan sebagainya, sementara para laki-laki tidak diukur moralitasnya dengan standar “keperjakaan”, "kesetiaan", dan "pengabdian".

Apa yang dilakukan Aceng Fikri sungguh merendahkan mentalitas perempuan. Perempuan ditandai sebagai objek penderita kepuasaan tentang moralitas dan seksualitas. Hal tersebut menegaskan Aceng Fikri adalah representasi sikap patriarki kepemimpinan daerah yang sesungguhnya amoral dan asusila.

Psikomasokisme sosiologis adalah pernyataan dan sikap merendahkan perempuan sebagai komunitas yang seolah bisa di-niagakan untuk kepentingan "perkawinan". Perkawinan yang tidak didasari nilai ksetaraan, tali kasih sayang dan sikap menghargai.

Aceng Fikri menjadikan komunitas perempuan sebagai objek perbuatan yang melanggar etika pemerintahan, hukum, dan tata kebijakan publik yang seharusnya sensitif gender.

Harus Dilawan

Apa yang dilakukan Aceng Fikri harus dilawan dengan gerakan pro kesetaraan gender dan pemihakan nasib perempuan. Melawan perbuatan melanggar etika dan menindas hak asasi perempuan yang dilakukan aceng Fikri adalah dilakukan dengan berbagai langkah strategis yakni:

Pertama, elemen gerakan perempuan perlu mendesak kepada DPRD Kabupaten Garut, Kemendagri untuk mencopot Aceng Fikri dari jabatan publik karena tidak bisa menjadi suri teladan pemimpin yang menghargai martabat perempuan.

Catatan penting: jumlah pemilih perempuan dalam Pilkada Garut yang menjadi momen naiknya duet Aceng-Dicky Candra sebagai penguasa adalah 59 persen dan diperkirakan 60 persen perempuan memilih duet Aceng-Dicky karena popularitas dan ketampanan. Hal tersebut menunjukkan Aceng Fikri menodai dan mengingkari "jasa" kaum perempuan.

Kedua, saat ini diperlukan standardisasi regulasi politik lokal yang mengamanatkan pejabat publik untuk serius menghormati dan menghargai hak asasi perempuan. Standardisasi tersebut harus definitif dan memiliki legitimasi hukum-politik.

Ketiga, masyarakat Garut harus cerdas dan kritis, jangan sampai terbawa retorika "keagamaan sempit" yang mempersepsikan perbuatan nista, amoral dan menindas perempuan yang dilakukan Aceng sudah memenuhi hukum agama. Bagaimanapun perbuatan Aceng Fikri adalah melanggar moralitas agama, sosial, dan etika pemerintahan.

Kesadaran untuk melawan pelecehan martabat perempuan oleh Aceng Fikri adalah sebuah problem nasional yang bersifat lokal terkait dengan perempuan. Hal tersebut harus ditindaklanjuti sebagai kebijakan yang melindungi hak perempuan.

Sudah saatnya konsepsi ideologi mainstreaming gender diterapkan secara aktual, sistematis, dan mengikat pada pengambil kebijakan publik ditingkat lokal/nasional.
Jangan sampai ada pejabat publik yang merendahkan martabat perempuan karena perempuan dalam posisi politik elektoral saat ini sangat penting, urgent, dan menentukan. Hormati hak perempuan. Titik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar