Kamis, 23 Agustus 2012

Mobil Listrik Solusi Masalah BBM?


Mobil Listrik Solusi Masalah BBM?
Pekik Argo Dahono ;  Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, ITB
KOMPAS, 23 Agustus 2012


Saat ini pemerintah sedang menyiapkan program mobil listrik nasional. Perguruan tinggi, lembaga penelitian, badan usaha milik negara, dan swasta diminta bekerja sama mendukung program ini. Salah satu alasan pemerintah menjalankan program mobil listrik adalah mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak (BBM).

Untuk menghitung efisiensi energi mobil listrik, kita harus menghitung efisiensi secara keseluruhan, mulai dari energi keluar dari sumur minyak atau gas sampai menjadi energi gerak di roda mobil. Efisiensi mesin mobil konvensional biasanya 15-20 persen. Jika kita perhitungkan energi yang hilang di kilang minyak, sepanjang distribusi, dan sistem transmisi mobil, efisiensi totalnya 12-17 persen.

Sebaliknya, pada mobil listrik, yang efisiensinya rendah adalah pembangkit listriknya. Dengan menggunakan pembangkit listrik berbasis gas dan uap, efisiensi bisa 50-60 persen. Dengan memperhitungkan energi yang hilang di saluran transmisi, distribusi listrik, dan motor listrik, efisiensi keseluruhan mobil listrik bisa 21-29 persen. Jadi, efisiensi total mobil listrik dua kali efisiensi mobil konvensional.

Selain itu, energi listrik bisa dibangkitkan dari sumber energi nonfosil. Energi listrik bisa berasal dari energi air, panas bumi, energi angin, energi matahari, nuklir, dan sumber-sumber nonfosil lainnya. Dengan demikian, penggunaan mobil listrik bisa membantu mengatasi polusi dan pemanasan global.

Akan tetapi, mengapa program mobil listrik di banyak negara maju gagal? Mengapa kita tidak memilih mobil hibrida yang juga hemat BBM?

Bukan Barang Baru

Sebenarnya orang sudah mengenal mobil listrik sejak tahun 1930-an. Namun, banyak negara Barat baru serius mengembangkan mobil listrik setelah krisis energi pertama tahun 1970-an.

Teknologi mobil listrik semakin maju dengan kemajuan teknologi elektronika daya pada tahun 1980-an. Dengan waktu pengembangan yang sudah lama, secara umum teknologi mobil listrik sudah siap.

Namun, mobil listrik belum juga menggantikan mobil konvensional karena faktor baterai. Seandainya mobil listrik tidak memerlukan baterai, penulis yakin orang akan lebih memilih mobil listrik. Contoh mobil listrik tanpa baterai yang sukses adalah kereta listrik.

Baterai menjadi masalah karena sampai saat ini—untuk yang paling modern sekalipun—rapat energi (energi per satuan berat) dari baterai masih jauh lebih rendah dibandingkan BBM. Akibatnya, untuk berat atau volume yang sama, satu tangki BBM mengandung energi yang jauh lebih tinggi dibandingkan baterai.

Untuk mengisi baterai mobil hingga penuh, biasanya diperlukan waktu 5-6 jam, itu pun hanya sanggup menempuh jarak sekitar 100 kilometer. Adapun untuk mengisi penuh satu tangki BBM, hanya perlu waktu sekitar 10 menit dan bisa menempuh jarak sampai 500 kilometer.

Saat ini, berbagai negara berlomba untuk memecahkan masalah baterai ini. Salah satunya adalah dengan kemunculan mobil hibrida. Tenaga gerak mobil hibrida berasal dari mesin mobil dan motor listrik. Baterai motor listrik diisi oleh mesin yang juga menggerakkan mobil, jadi energi berasal dari BBM. Dengan cara ini, mesin mobil bisa selalu bekerja pada pembebanan optimum sehingga efisiensi naik.

Mobil hibrida yang sudah beredar di Indonesia adalah Toyota Camry dan Prius. Di Amerika berkembang pula mobil hibrida jenis plug-in. Pada mobil ini, baterai bisa diisi dari luar dengan menggunakan battery charger ataupun mesin mobil itu sendiri. Dengan cara ini, kita bisa banyak mengurangi penggunaan BBM.

Dengan tetap menggunakan mesin konvensional, kita tidak menghadapi masalah terbatasnya energi yang bisa disimpan baterai. Hibrida dan hibrida plug- in dianggap sebagai solusi sementara sebelum teknologi baterai yang cocok ditemukan.

Teknologi Nano

Banyak lembaga riset dunia sedang mengembangkan teknologi baterai dengan kerapatan energi tinggi dan baterai yang bisa diisi dengan cepat. Salah satu solusi yang menjanjikan adalah pemanfaatan teknologi nano.

Baterai mobil yang mempunyai rapat energi paling tinggi saat ini adalah baterai berbahan lithium-ion. Saat ini para peneliti bekerja keras mencari bahan pengganti karena lithium hanya terkonsentrasi di beberapa negara, terutama China.

Masalah baterai lain yang harus diselesaikan adalah pengisian. Ambil contoh mobil listrik nasional yang sedang dikembangkan dan diuji coba di Indonesia, yaitu Molini. Mobil ini menggunakan baterai berkapasitas 21 kWh. Untuk mengisi penuh baterai perlu waktu 5 jam. Dengan demikian, diperlukan pengisi baterai yang mempunyai kapasitas 21/5 > 4,2 kW atau 4.200 watt. Jadi, untuk bisa mengisi baterai di rumah, instalasi listrik rumah minimum berkapasitas 4.200 watt.

Jika di Jakarta terdapat 100.000 mobil listrik semacam ini, kapasitas sistem transmisi dan distribusi di Jakarta harus bertambah paling tidak 4.200 MW, berarti 20 persen kapasitas pembangkit di Jawa saat ini. Ini baru Jakarta, bagaimana dengan Bandung, Surabaya, dan kota-kota lain?

Salah satu solusi lain yang ditawarkan adalah menyediakan tempat-tempat penggantian baterai, mirip dengan penggantian tabung gas. Cara ini jika distandarkan bisa membuat penggantian baterai hanya perlu waktu sekitar 10 menit. Sayangnya, teknik ini memerlukan konstruksi baterai yang standar untuk semua mobil dan ini bukan masalah mudah.

Berdasarkan pembahasan di atas, masalah baterai dan pengisiannya merupakan faktor penting yang harus dipikirkan agar program mobil listrik nasional bisa sukses. Di luar baterai, semua teknologi mobil listrik sudah siap dan sudah terbukti.

Akan tetapi, walaupun baterai belum siap, tidak berarti program mobil listrik nasional harus ditunda. Pengembangan harus tetap dilakukan karena akan terlambat jika kita hanya mengembangkan mobil listrik setelah baterai siap. Yang harus disadari adalah semua masih dalam tahap penelitian, jangan berharap mendapatkan solusi kilat.

Selain itu, yang juga mesti kita ingat, keberadaan mobil listrik bukan untuk memecahkan masalah kemacetan transportasi. Perlu solusi lain untuk memecahkan masalah transportasi nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar