Kamis, 23 Agustus 2012

Bung Hatta, Bung Bendahara


Bung Hatta, Bung Bendahara
Hariqo Wibawa Satria ;  Alumnus Paramadina Graduate School of Diplomacy
SINDO, 23 Agustus 2012


Riwayat Mohammad Hatta yang lahir di Bukittinggi pada 12 Agustus 1902 telah banyak dikupas.Karena itu, tulisan ini memfokuskan pada kiprahnya sebagai bendahara organisasi.

Pilihan ini terinspirasi dari terkuaknya berbagai penyelewengan di sekitar kita yang ternyata berpangkal dari sikap manipulatif atau ketidakjujuran bendahara. Sehingga, penting disajikan keteladanan seorang bendahara visioner yang pernah dimiliki Indonesia, Mohammad Hatta atau biasa dipanggil Bung Hatta. Pada usia 16 tahun, Hatta disepakati rekan sejawatnya sebagai bendahara Jong Sumatera Bond (JSB) cabang Padang (1918–1919).Kecakapan administrasi Hatta terlihat ketika ia berhasil merapikan pembukuan JSB.

Hatta lalu hijrah ke Jakarta dan ia kembali dipercaya menjadi bendahara JSB merangkap penulis majalah Pedoman Besarmilik JSB.Tidak sekadar bendahara,Hatta juga berperan sebagai ideolog yang menjelaskan nilai-nilai di balik kegiatan pengumpulan uang. Sebab itu,Hatta terus mengingatkan anggotanya akan tujuan JSB dan memperkenalkan iuran anggota. Ia bahkan mengeluarkan “daftar hitam” berisi nama-nama anggota JSB yang menunggak.

Hanya setahun, ia sukses menertibkan administrasi organisasi, dan hasilnya JSB mampu melunasi utang sebanyak f1.000 pada percetakan, bahkan menyisakan saldo f1.200 pada akhir kepengurusan (1920). (Deliar Noer.1990:44). Inilah yang menjelaskan mengapa Hatta kembali didaulat sebagai bendahara Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda (1922–1925).Ia juga dipercaya sebagai dewan redaksi Majalah PI yang bernama ”Indonesia Merdeka”, setelah itu barulah Hatta dipercaya menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia 1925–1930.

Lantas apa pelajaran dari seorang Hatta sepanjang 1918–1930? Pertama, kejujuran. Bung Hatta membuktikan kejujuran dalam pengelolaan uang organisasi menjadikan anggota tidak ragu membayar iuran anggota meski di masa sulit. Pendidikan agama yang diterimanya saat masa kecil di Bukittinggi menjadi fondasi perilaku Hatta dalam menyikapi uang. Dalam kisah Nabi Yusuf dijelaskan, kejujuran dan ilmu pengetahuan adalah syarat utama menjadi bendahara, Alquran menyebutkan “Dia (Yusuf) berkata, jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga (jujur) dan berpengetahuan”( Q.S:Yusuf:55).

Pelajaran mulia soal bendahara dan kejujuran juga dapat dibaca dalam Lukas. 16:1-9, terang di situ diperingatkan bahwa seorang ketua/pimpinan akan mengalami masalah besar dalam hidupnya jika dia memilih bendahara yang tidak jujur. Bendahara yang tidak jujur akan merugikan pimpinan, organisasi, anggota, dirinya sendiri dan peradaban. Yesus berkata ”Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi, tetapi kumpulkanlah bagimu harta di surga” (Matius 6:19,20).

Kedua, bendahara adalah pemimpin organisasi. Banyak referensi bersepakat organisasi minimal memiliki ketua, sekretaris dan bendahara. Ketiganya pada hakikatnya adalah pemimpin, hanya berbeda fungsinya–leadership is action not position (Donald H. McGannon). Jika satu di antara yang tidak jujur terutama bendahara, maka organisasi tersebut sedang menggali liang lahatnya. Meski bukan ketua, Hatta memperlihatkan aksinya melalui kepemimpinan administratif yang melegenda.

Ketiga, iuran anggota menciptakan iklim sama rata sama rasa dan sepenanggungan (gotong royong) dalam organisasi. Iuran anggota merupakan akad dan pengikat antara anggota dan organisasi. Agar iuran anggota tidak macet, Hatta memulai dengan membangun kesadaran anggota tentang tujuan organisasi (ideologisasi). Iuran anggota juga menumbuhkan kecintaan pada organisasi dan semangat kontrol terhadap pengeluaran organisasi, dan inilah yang kabur dari cara kita berorganisasi hari ini. Lihat betapa organisasi mahasiswa/kepemudaan, ormas, parpol mempraktikkan demokrasi mahal dalam momentum suksesi yang sepi kritik dari dalam. Hal ini terjadi karena organisasi terlalu sering disiram uang dalam jumlah banyak oleh beberapa orang saja. Sehingga, lahir anggapan “kan bukan uang kita”.

Keempat, pengelolaan uang organisasi. Ketika menjadi bendahara JSB, Hatta juga meminta sumbangan dari para tetua Sumatera di Jakarta, namun hal itu dilakukan setelah iuran anggota menjadi tradisi. Di sini berlaku prinsip ketika organisasi mempraktikkan prinsip keterbukaan dalam pengelolaan organisasi, maka lahirlah kepercayaan, dan orang mau terus berdonasi jika kepercayaan selalu dijaga.

Kelima, produksi. Majalah dan buletin merupakan produk wajib organisasi di masa itu, sejak di JSB, Perhimpunan Indonesia kemudian di PNI, Hatta dan kawan-kawannya menggunakan sebagian iuran anggota untuk memproduksi majalah organisasi. Terbitnya majalah adalah terbitnya kebahagiaan anggota karena mereka merasa bagian yang dilibatkan dalam proses produksi. Majalah itu kemudian dijual untuk menambah pemasukan organisasi.

Kita masih bisa melihat buktinya hingga hari ini karena arsipnya terdokumentasi dengan baik dalam buku Daulat Rakyat buku 1 dan 2. Pada halaman pertama majalah Daulat Rakyat edisi 20 September 1931 tertulis “terbit 10 hari sekali, pengarang di europa: Hatta, Sjarir dan Suparman, harga langganan 1 tahoen f 6.— ; 3 boelan f 1.50. pembajaran lebih dahoeloe. Advertentie 20 sen satoe baris. Berlangganan lebih moerah dan boleh berdamai. ( Yayasan Hatta.2002: 1)

Demikian sedikit pelajaran dari sang Bendahara bagi segenap organisasi dan perkumpulan di negeri ini. Menjadi bendahara di zaman itu tentu tidak seindah bendahara organisasi di masa sekarang, namun Hatta berhasil menjadikannya cerita indah untuk generasi berikutnya. Dari Hatta kita paham bahwa untuk bendahara lebih diutamakan loyalitas pada tujuan besar daripada loyalitas pada pimpinan, maka percayakanlah bendahara kepada orang jujur bukan sekadar loyal, sebab kebohongan itu menenggelamkan kapal besar. Pada akhirnya kita harus berjanji melahirkan kembali ribuan Hatta baru di seluruh pelosok negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar