Jenderal,
Pimpinlah Perang Ini!
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
KOMPAS,
08 Agustus 2012
Betapapun kuat komitmen
pemerintah dalam memberantas korupsi, seperti tampak pada pernyataan Presiden
SBY yang berulang-ulang menegaskan hal tersebut, kita (baca: rakyat)
menyaksikan bagaimana sesungguhnya korupsi itu justru tampak tak peduli.
Ia berjalan dengan
ketelengasan dan kecerdasannya sendiri. Bukan hanya melecehkan amanat
presiden, ia juga seperti mengatakan, ”Dalam soal korupsi, tidak pakai maaf,
ente bukanlah presiden ane!”
Korupsi berjalan terus,
tak perlu kabinet, presiden, mahkamah atau parlemen sebagaimana kita maknai
sendiri. Ia sudah menjadi sebuah sistem dengan tradisi, kebiasaan, bahkan rules of the game-nya sendiri. Ia
memiliki aparatus sendiri, punya pejabatnya sendiri. Lebih menarik lagi:
mereka, para pelaku sistem korupsi, adalah juga para birokrat (dan
antek-anteknya) dari sistem formal yang ada.
Manusia-manusia itu
memainkan peran ganda. Di permukaan, atau level formal, mereka memainkan
peran yang cantik untuk menampilkan diri sebagai tokoh atau pejabat pahlawan
rakyat dengan berbagai ide, janji, bahkan bukti kerja yang membuai kesadaran
publik yang mentah dan naif. Di level lain ”bersembunyi”, mereka bergiliran
memanipulasi sistem, menipu, dan mengkhianati rakyat dengan menggunakan
fasilitas yang diberikan rakyat untuk kepentingan pribadi.
Apa yang ironis bahkan
tragis adalah dunia yang sembunyi itu sebenarnya tidaklah sembunyi
seluruhnya. Ia sesungguhnya ada di depan mata, bahkan secara fisis
sebagaimana para pelaku yang ada di hadapan kita: di halaman koran, tabung
televisi, radio, hingga ruang-ruang kantor megah yang mungkin kerap kita
kunjungi untuk mendapatkan fasilitas, katabelece, dan mungkin sedikit
potongan kue dari korupsi yang dilakukan pejabat itu.
Ciptakan Perang Terbuka
Kasus yang saat ini
membelit antara KPK dan Polri jadi sebuah contoh dari realitas di atas.
Realitas yang bukan hanya menggelikan juga tragis. Sekaligus membuktikan
betapa kita jadi begitu pandirnya berhadapan dengan kecerdasan sistem dan
konspirasi koruptif di kepolisian itu. Terlihat bagaimana seorang Menko
Polhukam (atasan kerja dari institusi itu) bahkan presiden (atasan hukum)
seperti hanya bisa berbuat sebatas kata-kata.
Kepolisian kini seperti
jadi salah satu lembaga terbaik dalam mewakili negara yang dikaramkan oleh
”pemerintahan para koruptor” itu. Perselisihan kewenangan dengan KPK
menggambarkan dengan jelas bagaimana polisi seakan ingin merebut sebuah
”wilayah otoritas” di mana dunia formal tidak boleh ikut campur. Bahkan,
rakyat yang konon pemegang kedaulatan tertinggi pun tidak akan bisa berbuat
apa-apa bila pertikaian ini pada akhirnya dimenangi kepolisian. Apalagi
presiden!
Kita ingat peristiwa pada
masa almarhum Gus Dur, presiden keempat RI, yang memerintahkan dengan
tegas—bahkan disiarkan media massa—agar Kapolri Bimantoro (saat itu)
menangkap Tommy Winata. Apa yang terjadi? Gus Dur, presiden negara yang besar
ini, tidak punya daya apa-apa ketika sang ”bawahan” tidak menjalankan tugas
itu.
Semua itu membuktikan
bukan hanya ada yang salah dalam kerja sistem birokrasi dan demokrasi kita.
Lebih dari itu, sebelum perbaikan komprehensif sistemik itu kita mulai,
sebuah pemerintahan tandingan sudah muncul dengan sangat perkasanya.
Apa yang kemudian menggiriskan,
bukan hanya kepolisian di dalam pemerintahan kita yang telah menjadi sarang
atau ”wilayah otoritas”-sembunyi dari pemerintahan koruptif itu. Di antaranya
yang ”terbaik”, kita mafhum, terdapat juga dalam parlemen (DPR) juga beberapa
institusi pemerintahan lainnya, seperti Kementerian Agama, Kejaksaan Agung,
Mahkamah Agung, dan lembaga-lembaga pemerintahan daerah.
Oleh karena itu, tidak ada
cara lain, wilayah formal yang berada di wilayah kebudayaan mesti menyatakan
perang secara terbuka. Taktik, strategi, serdadu bahkan senjata harus
disiapkan. Semua elemen kebangsaan mesti disatukan secara sinergi untuk
”peperangan” unik ini. Unik karena ia melawan musuh yang sembunyi: sembunyi
di hadapan kita dan sembunyi dalam diri kita sendiri.
Mungkin semua usaha tidak
akan memusnahkan total korupsi dalam hidup kita sebagai bangsa dan negara.
Akan tetapi, perang itu akan mereduksi secara signifikan praktik tersebut.
Lebih penting lagi: meruntuhkan pemerintahan Da’jal yang berpetak-umpet
dengan mata dan kesadaran kita itu.
Para pemimpin perang ini
di semua lapisan harus membuktikan hasil peperangan itu. Bahkan, secara
individual. Ia harus menunjukkan dalam perilaku, nafsu, dan kekuatan koruptif
dalam dirinya sudah lenyap, berganti dengan kekuatan perlawanan yang dahsyat
untuk memerangi nafsu busuk itu tanpa pandang bulu.
Kita harus berani mengakui
bahwa korupsi yang dilakukan oleh kerabat dekat adalah bagian dari kesalahan
dan kelemahan kita sebagai manusia. Akan tetapi, di saat bersamaan, kita
membuktikan kepada rakyat sebuah kemenangan besar: kemenangan rakyat banyak
dengan menghukum tegas kerabat yang menjadi pengkhianat rakyat. Sikap seperti
ini sudah sangat cukup untuk membuktikan komitmen perjuangan dan peperangan,
tanpa perlu seseorang (pejabat) mundur dari tugasnya sebagai jenderal perang.
Harus keras dan Tegas
Dalam kasus konflik
wewenang atau perebutan ”wilayah otoritas” antara KPK dan kepolisian ini,
seorang atasan harus keras dan tegas menempatkan masalah dalam proporsi
hukumnya, dalam dunia formal-kultural yang dibelanya. Ia harus memerintahkan
pemimpin lembaga pemerintah yang menghalang-halangi upaya pemberantasan
korupsi untuk dipecat. Bukan dinonaktifkan. Bila tidak mampu, ya, pemimpin
lembaga itu yang harus dipecat atau mundur.
Resistensi pasti terjadi.
Namun, bila resistensi itu berbasis pembelaan terhadap dunia batil, terhadap
dunia korupsi yang berisi virus mematikan, tidak ada kata lain: perang!
Siapa yang akan mendukung
perang ini pun jelas. Korupsi akan dibela para komprador, pemilik uang dan
modal, baik kartal maupun virtual. Dunia formal segera didukung oleh pihak
yang paling merasa muak dan dirugikan oleh korupsi: rakyat! Bila pemimpin
formal tidak percaya dengan kekuatan dukungan itu, tidak percaya kepada
rakyat, baik, tetapi silakan mundur segera.
Saya kira, inilah jalan
berdasar kenyataan yang saat ini paling realistis dan idealistis. Tidak bisa
lagi korupsi diatasi dengan aturan dan penegakan hukum yang lemah gemulai,
banci, retorik, dan sebagian berisi kepengecutan. Perang harus dilakukan betapapun
korban harus dijatuhkan.
Bukankah semua perubahan
besar dan radikal terjadi selalu dengan cara itu? Bukankah negeri menjadi
negara juga dengan modus seperti itu? Bukankah presiden, SBY, juga
mempelajari dan memahami itu? Bukankah presiden ingin meninggalkan warisan
dari dua periode kekuasaannya? Tidak lain, jadilah jenderal sesungguhnya.
Pimpinlah perang ini! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar