Rabu, 08 Agustus 2012

HUT ASEAN Ke-45 dan Indonesia


HUT ASEAN Ke-45 dan Indonesia
PLE Priatna ; Pemerhati ASEAN, Alumnus FISIP UI dan Monash University-Australia 
SINDO, 08 Agustus 2012


ASEAN memasuki usia ke-45 di hari bersejarah, 8 Agustus 2012 ini. Peringatan hari jadi ASEAN ke-45 ini dikibarkan dari ujung Hanoi, Pnom Penh, Vientienne, Bangkok hingga Jakarta.

Dari Myanmar, Singapura, Malaysia hingga Brunei Darussalam. Perjalanan panjang ASEAN hingga Indonesia menjadi ketua ASEAN 2011 membuahkan hasil positif, terjaganya stabilitas dan kegairahan kerja sama di tingkat bilateral maupun regional. Bahkan ASEAN melalui Bali Concord III 2011 menggulirkan platform politik pascaterbentuknya komunitas ASEAN 2015. ASEAN terus bergerak maju sekalipun menghadapi dinamika tantangan internal maupun eksternalnya. Enam bulan sejak Januari tahun ini, Kamboja menjadi ketua ASEAN 2012.

Mata rantai informasi tentang perkembangan ASEAN ke Tanah Air pun seakan terputus. Gaung kepemimpinan Kamboja 2012 ini tidak mampu menembus ruang publik, pembicaraan tentang relevansi masa depan ASEAN bagi kita memasuki komunitas ASEAN 2015. Komunikasi publik menyangkut kiprah ASEAN terasa tersendat dan jalan di tempat, ia hanya hidup dalam satelit dan orbit yang lain. Masyarakat dikejutkan dan menjadi sadar ketika kabar pertemuan para menlu ASEAN ke-45 Juli lalu di Kamboja tidak menghasilkan konsensus soal Laut China Selatan, yang dituangkan dalam komunike bersama.

Untuk pertama kalinya setelah 45 tahun, para menlu ASEAN gagal mencapai kesepakatan soal Laut China Selatan sehingga menimbulkan kemelut baru. Tidak hanya menyangkut materi substansi soal Laut China Selatan, tapi juga tidak adanya posisi bersama ASEAN yang bisa menyatukan suara, itu bisa menimbulkan spekulasi dan miskalkulasi. Setelah mendapat laporan lengkap dari Menlu RI, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pun menginstruksikan untuk mengambil langkah cepat. Presiden RI dalam pernyataan pers di Istana menangkap mispersepsi tentang ASEAN akibat tidak mencapai konsensus karena satu komunike itu (16/7).

Banyak pekerjaan rumah, banyak masalah tapi tidak berarti ASEAN pecah, begitulah pendek kata. Kecepatan menjadi elemen penting dalam diplomasi. Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa menggagas tur diplomatik soal Laut China Selatan, selama 36 jam, di tengah tak adanya komunike bersama ASEAN. Indonesia menggagas pertemuan informal dengan para menlu ASEAN di Manila, Hanoi, Kamboja dan Singapura, 18–19 Juli 2012, selain melakukan pembicaraan telepon dengan para menlu ASEAN lainnya.

Modal 

Isu Laut China Selatan dalam AMM ke-45 di Kamboja lalu tidak saja membenturkan ASEAN-China, tapi juga malah ASEAN-Kamboja. Posisi Indonesia, sebagai non-claimant state memiliki keunggulan yang tak dimiliki negara lain. Posisi netral ini tentu menjadi nilai tambah untuk menyatukan perbedaan yang ada. Switzerland (Swiss), sebagai contoh, memiliki kredibilitas dan tingkat akseptabilitas yang tinggi atas status netralitasnya.

Saat ASEAN bergerak dari implementasi Deklarasi Perilaku di Laut China Selatan tahun 2002 itu dan setelah delapan tahun vakum, bergerak maju ke arah perumusan elemen kode perilaku (code of conduct), justru di AMM ke-45 itu, untuk pertama kalinya, ASEAN gagal menandatangani komunike bersama. Mengapa soal itu menjadi masalah penting bagi ASEAN ? Sesungguhnya, kemajuan ASEAN tidak bergerak hanya berdasar kumpulan dokumen komunikasi bersama ini, tetapi tidak ditandatanganinya komunike itu, menimbulkan berbagai spekulasi.

“Tidak adanya posisi bersama ASEAN tentang Laut-China Selatan itu berpotensi mengganggu. Bagaimana ASEAN bisa berperan secara sentral di kawasan jika tidak punya posisi bersama,” demikian penjelasan Menlu RI di depan para wartawan di Pejambon-Jakarta (16/7).

Indonesia Pemersatu

Spekulasi dan mispersepsi bukan pada soal sengketa para claimant states atas Laut China Selatan dengan Tiongkok, tapi tidak mampunya ASEAN menetapkan suara bersama, itu yang lebih mengkhawatirkan dan menjadi keprihatinan. Untuk itu diperlukan inisiatif diplomatik membuka kebuntuan. Posisi bersama ASEAN adalah amanat dari Piagam ASEAN membangun sebuah arsitektur baru, ekuilibrium dinamis di kawasan. Tanpa posisi bersama ASEAN itu, muatan kepentingan nasional menjadi pendulum yang mengemuka sekaligus bisa menyandera kemandirian ASEAN.

Bagaimana tidak. Disadari bersama bahwa laut China Selatan, Spratly, dan Paracel itu sudah menjadi keprihatinan sejak 2002. Pernyataan bersama melalui Deklarasi Perilaku di Laut China Selatan itu pun sudah tegas mengatur prinsip berperilaku. Traktat Kerja Sama dan Persahabatan ASEAN (1976) dengan 5 prinsip koeksistensi damai adalah norma dasar mengelola perbedaan. Ditambah membangun sikap saling percaya sekalipun ada kebebasan bernavigasi dan lintas udara di Laut China Selatan, termasuk menghormati Konvensi Hukum Laut PBB (1982).

Sikap menahan diri, penyelesaian sengketa melalui jalan damai, tanpa ancaman penggunaan kekerasan serta konsultasi dan negosiasi yang bersahabat adalah prinsip bersama yang sudah disepakati. Itu semua agar eskalasi ketegangan tidak meluas.ASEAN sudah berkali-kali mengubah potensi konflik menjadi kerja sama. ASEAN sudah membekali banyak pihak untuk sepakat menghormatinya, tidak hanya untuk keluarga ASEAN, tapi juga mitra wicara, termasuk Tiongkok, AS, Rusia, India,Jepang dan lainnya.

Oleh sebab itu, Menlu RI Marty Natalegawa berkali-kali menegaskan bahwa langkah provokatif di Laut China Selatan, cara mengumbar adu kekuatan, tidak akan menambah bobot klaim (hukum) yang mereka miliki di Laut China Selatan. ASEAN way, berupa tradisi konsensus, konsultasi, dan dialog informal, berikut model pertemuan retreat di tingkat menlu maupun kepala negara, adalah mekanisme ASEAN yang masih efektif untuk mengupas berbagai soal pelik. Inisiatif shuttle diplomacy, misi diplomatik Menlu RI secara maraton ini sebuah langkah perlu di tengah situasi yang tepat.

Mengapa? Karena meskipun Kamboja sebagai ketua ASEAN saat ini, posisi Kamboja bagi sebagian negara (Filipina dan Tiongkok) dianggap tidak netral, berpihak dan bahkan bisa menguntungkan pihak lain. Sikap netral dan netralitas Indonesia, dalam gaya tidak mendominasi tapi dengan inisiatif yang solutif, akan menjadi pendulum bagi masa depan ASEAN. ASEAN harus mampu menyatukan suara.

Konsensus bukan instrumen masa lalu, tapi sebuah kekuatan bagi masa depan ASEAN. Indonesia dapat berperan lebih besar di ASEAN, posisi seperti ini tidak dimiliki negara anggota ASEAN lainnya.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar