Gonjang-ganjing
Republik Kedelai
Khudori ; Pegiat Asosiasi
Ekonomi Politik Indonesia (AEPI);
Anggota
Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
KOMPAS,
07 Agustus 2012
Selama tiga hari, 25-27
Juli, tahu dan tempe menghilang dari pasaran. Bukan lantaran beracun dan
ditarik dari pasaran, melainkan karena produsen tahu dan tempe mogok kerja.
Mereka menuntut pemerintah
mengambil alih tata niaga kedelai yang kini harganya melambung. Kenaikan harga
kedelai memang jauh dari toleransi. Dibanding Januari lalu, harga kedelai naik
49 persen (Kompas, 23/7/2012).
Solusi menekan margin
keuntungan dan menciutkan kapasitas produksi, mengurangi ukuran, dan menurunkan
mutu produk tidak lagi menolong. Dari sisi input, semua bahan perantara
industri ini harganya naik, seperti minyak goreng, terigu, gula, dan telur.
Menaikkan harga, produsen terkendala daya beli yang rendah. Lagi pula, tak
seperti sektor yang entry-exit barrier-nya
tinggi, konsumen sektor ini peka harga (price
elastic). Ketika harga naik, permintaan turun. Satu-satunya jalan hanya
menutup usaha.
Jika tak ada solusi dalam
jangka pendek, dipastikan barisan penganggur akan bertambah. Sektor ini telah
menghidupi ratusan ribu rakyat jelata: dari petani kedelai, produsen tempe-tahu-kecap,
pedagang tahu-tempe hingga penjual gorengan. Bagi konsumen, lenyapnya
tahu-tempe dari pasar adalah kerugian besar. Dari sisi harga, protein
tempe-tahu jauh lebih murah ketimbang telur dan daging.
Gonjang-ganjing kedelai saat
ini bukan yang pertama. Kejadian serupa pernah terjadi pada 2008 saat krisis
pangan mengoyak. Dalam setahun, harga kedelai naik 218 persen.
Produsen/pedagang tempe-tahu mogok dan demo. Akhirnya pemerintah membebaskan
bea masuk dan menyubsidi kedelai kepada produsen tahu-tempe Rp 1.000 per
kilogram selama tiga bulan. Tidak ada kebijakan berdimensi jangka panjang
sebagai antisipasi bila kejadian serupa terulang. Kealpaan mengambil pelajaran
pada 2008 itu berbuah pahit saat ini.
Gonjang-ganjing kedelai tak
mungkin diselesaikan dengan cara-cara ad hoc dan jangka pendek. Solusi harus
menusuk jantung masalah, meminjam istilah Prof Pantjar Simatupang (2012), yaitu
fenomena ”dekedelaisasi”. Dekedelaisasi terjadi lantaran tiga segitiga ini:
penurunan hasil relatif kedelai, penurunan harga relatif, dan serbuan impor.
Penurunan hasil relatif
kedelai terjadi karena daya saing kedelai terhadap jagung, tebu, dan padi
merosot. Produktivitas dan harga relatif menurun. Ujung-ujungnya usaha tani
kedelai tidak menguntungkan. Ini yang membuat petani domestik meninggalkan
kedelai.
Emoh menanam kedelai ini
sudah amat gawat. Pada 1992, luas panen kedelai masih 1.665.706 hektar dan
tinggal 620.928 hektar pada 2011. Karena produktivitas naik lambat,
konsekuensinya produksi pun merosot: dari 1,869 juta ton (1992) tinggal 0,843
juta ton (2011). Ini terjadi karena jalinan dua faktor: liberalisasi serta
kesenjangan hasil penelitian dan adopsi petani.
Sejak jadi ”pasien”
IMF
Meski sudah terjadi sejak
1992, fenomena dekedelaisasi meningkat drastis setelah Indonesia jadi pasien
IMF pada 1997-1998. Saat itu, Indonesia harus meliberalisasi pasar pangan,
termasuk kedelai. Tak hanya subsidi, benteng pertahanan dari serbuan impor pun
dilucuti. Saat yang sama, perhatian pada kedelai mengendur. Fokus kebijakan
saat itu—dan berlanjut hingga kini—semua bias pada beras.
Hasil-hasil riset tak
memadai. Jika pun ada, tidak serta-merta diadopsi petani. Di sisi lain,
produktivitas negara produsen utama kedelai terus membaik. Saat ini,
produktivitas kedelai Indonesia kurang dari setengah produktivitas AS, Kanada,
Brasil, Argentina, dan Italia.
Penurunan harga relatif
terjadi karena tidak ada kebijakan dukungan harga pada kedelai, seperti halnya
pada beras atau gula. Pada saat yang sama, produk impor lebih murah. Efek
spiral merosotnya daya saing antarkomoditas dan daya saing internasional saling
menguatkan, serta ini membuat kedelai masuk lingkaran setan dekedelaisasi.
Bersinergi dengan proteksi
(tarif dan nontarif) yang minimal membuat ketergantungan Indonesia pada impor
kedelai kian sempurna. Jika pada 1990-an kita swasembada, kini produksi
domestik hanya mampu memasok 30 persen kebutuhan.
Serbuan impor kedelai, yang
mayoritas transgenik, didorong oleh inkonsistensi kebijakan kedelai transgenik
dan beleid ofensif AS lewat subsidi (langsung dan ekspor). Produksi kedelai
transgenik dilarang, di sisi lain impor yang 90 persen dari AS nyaris tak ada
pembatasan. Beleid ofensif AS itu membuat harga kedelai impor amat murah.
Inilah yang sering jadi
alasan banyak pihak melegalisasi impor ketimbang membeli kedelai petani
domestik. Argumen di balik kebijakan ini adalah soal daya saing. Argumen ini
ceroboh dan sesat. Harga komoditas di pasar dunia tidak bisa jadi ukuran daya
saing karena harga itu terdistorsi oleh subsidi. Di AS, kedelai adalah 1 dari
20 komoditas yang dilindungi dan disubsidi.
Menyimak problem struktural
di atas, ke depan dibutuhkan perubahan kebijakan sistematis. Paling mendasar
adalah menghentikan liberalisasi pasar kedelai karena ini jadi malapetaka bagi
kemandirian dan kedaulatan pangan. Proteksi bisa dilakukan dengan
mengombinasikan tarif dan nontarif, termasuk pengaturan ketat impor kedelai
transgenik.
Kebijakan ini harus
disinergikan dengan beleid harga yang memungkinkan petani kembali mau menanam
kedelai. Pada saat yang sama, perluasan lahan kedelai tak bisa ditawar-tawar.
Terakhir, tidak ada salahnya menjadikannya bagian dari kebijakan stabilisasi
dengan beleid stok. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar