Kamis, 23 Agustus 2012

Cara Membuat Malu Koruptor


Cara Membuat Malu Koruptor
Muhammad Taufiq ;  Advokat, Kandidat Doktor Ilmu Hukum FH-UNS
SINDO, 23 Agustus 2012


Saat ini lembaga antikorupsi KPK tengah disibukkan hajatan membuat seragam baru bagi pesakitan koruptor. Langkah-langkah teknis itu memang diambil sebagai pilihan bagi KPK untuk menjawab tudingan mandul atas sejumlah pengungkapan megakorupsi, seperti Century dan BLBI. Rencana Komisi Pemberantasan Korupsi ini sesungguhnya bukan hal atau ide yang baru. Di masa Antasari Azhar ide ini pernah akan dicoba namun urung dilakukan karena banyak yang menentang. Komisi Pemberantasan Korupsi menyiapkan tak kurang dari 200 baju tahanan bagi tersangka kasus korupsi. 

Baju itu konon akan dikenakan baik saat diperiksa atau di dalam tahanan. Pernyataan itu menguatkan sikap kehati-hatian Komisi Pemberantasan Korupsi, bahwa seragam itu tidak akan dikenakan pada saat tersangka atau terdakwa menjalani persidangan. Memakaikan seragam bagi koruptor tidak sesimpel orang berupacara mengenakan seragam daerah layaknya acara 17-an atau karnaval hari jadi sebuah kota. Asas hukum pidana yang dianut secara universal menyebutkan bahwa suspect atau tersangka adalah orang yang masih memiliki hak perdata sebagaimana warga masyarakat lain.

Artinya, belum ada hukuman tambahan yang bisa dikenakan kepadanya sebelum majelis hakim di dalam persidangan terbuka telah membuktikan kesalahannya dan menjatuhkan hukuman. Karena itu, wajar ada masyarakat yang menolak karena soal seragam tahanan bukan monopoli kalangan penegak hukum semata. Masyarakat yang sangat pintar hukum sekalipun tidak bisa mengesampingkan apa yang disebut kekuatan publik atau public opinion, sebab ia berada pada wilayah tersendiri. Kekuatan itu berada pada masyarakat yang tidak bisa ditepis oleh komunitas hukum semata seperti KPK.

Masyarakat punya hak menilai kinerja KPK dalam hal pemberantasan korupsi. Sama seperti penilaian awam mereka soal seragam dan pemberantasan korupsi sudah tepat apa belum. Sebab,dalam hukum formal dikenal asas presumption of innocent yang juga diadopsi dalam KUHP kita sebagai asas praduga tidak bersalah. Oleh karena itu, pengenaan seragam atau baju khusus bagi koruptor harus pula mempertimbangkan hal teknis hukum seperti kapan seragam itu dipakai, apa tulisan yang boleh dicantumkan pada seragam tersebut, dan apa ada aspek legal yang mengaturnya.

Warga masyarakat mana pun boleh mendukung ide itu tak terkecuali ICW (Indonesia CorruptionWatch). Jauh-jauh hari ICW telah menyiapkan tidak kurang delapan contoh seragam. Namun, yang menolak tentu saja juga boleh. Sebab, persoalan mendasar bagi pemberantasan korupsi di Indonesia sesungguhnya bukan pada seragam atau baju atau cara berdandan seorang tersangka atau terdakwa.Tetapi, pada sikap dasar aparat penegak hukum itu sendiri, khususnya perangkat KPK, seperti jaksa, hakim, dan penyidik KPK.

Tidak bisa dimungkiri, mayoritas penyidik KPK yang berasal dari kepolisian dan kejaksaan sesungguhnya juga merupakan produk dari seleksi di masa kepolisian dan kejaksaan yang korup. Alhasil banyak kasus penanganan korupsi jalan di tempat justru oleh sikap mendua dan tebang pilih para penyidik KPK. Kondisi ini semakin buruk manakala eksponen KPK yang kebanyakan dari unsur lembaga swadaya masyarakat terkesan gemar berpolemik dan mencari dukungan lewat media massa ketimbang berupaya mengembalikan kerugian negara dengan membuat terobosan hukum.

Coba, misalnya, KPK mengumumkan apa yang telah disita dari Miranda Goeltom, Nazaruddin, Nunun Nurbaety,dll. Pada bagian lain tumpang tindih rekrutmen hakim di Pengadilan Tipikor yang dilakukan Mahkamah Agung Republik Indonesia berakibat rendahnya kualitas pemidanaan bagi terdakwa kasus korupsi, hal ini bisa diukur dengan banyaknya koruptor yang bebas. Pada bagian lain KPK masih terkesan pandang bulu dan cari aman.

Dalam kasus tutup buku BLBI, KPK hanya berani menyentuh pada level Urip Tri Gunawan, sementara Jaksa Agung Muda lainnya yang terungkap dalam persidangan ikut membantu skenario pelarian Arthalyta Suryani alias Ayin sama sekali tidak dijadikan tersangka hingga sekarang. Dalam rangka percepatan korupsi tugas KPK yang utama selain memenjarakan pelaku korupsi sesungguhnya adalah mengembalikan harta hasil korupsi ke negara. Pasal 10 KUHP tentang sanksi tambahan jika dimaksimalkan KPK sudah cukup efektif untuk membuat malu koruptor dan koleganya. Sebab, pasal tersebut memungkinkan KPK untuk mengumumkan harta negara yang dikorup.

Harta itu tidak saja hanya yang berada pada pelaku, tetapi juga pada menantu, anak, istri, kolega bisnis dan mungkin istri simpanan serta partainya yang menaunginya. Dengan demikian, cara-cara sensasional yang ditempuh KPK seperti mengumumkan saweran rencana gedung baru, tampil di beberapa acara talk show, jangan terkesan sekedar alat mencari popularitas agar dikenal. KPK bukan tempat berkumpulnya selebriti hukum. KPK adalah lembaga superbody atau perangkat negara yang dibentuk guna menangkap koruptor dan mengembalikan harta koruptor ke kas negara.

Saya yakin masyarakat akan mendukung jika KPK menampilkan langkah ”berani” yakni lewat media massa mengumumkan harta para koruptor saat dia ditangkap pertama kali. Dengan cara ini keluarga dan para kroni malu karena telah ikut menikmati harta negara yang didapat dari hasil korupsi. Juga semakin memperjelas bahwa musuh KPK cuma satu, koruptor, bukan lembaga lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar