Berpikir
di Belakang Kurva
Rhenald Kasali ; Ketua Program MM UI
SINDO,
02 Agustus 2012
Gejala berpikir “di belakang kurva” semakin menonjol belakangan
ini. Gejala ini ditandai dengan keputusan-keputusan yang bersifat reaktif,
instan, short term (jangka pendek),
jalan pintas, populis, emosional, dan tentu saja tidak visioner.
Tidak visioner, tidak terkoordinasi satu dengan lainnya. Tidak
didasarkan pada fakta-fakta yang mendalam tentang keadaan di masa depan (intelligence data gathering), tidak menyatu,
tidak didukung leadership yang kuat,
dan tentu saja tidak kritis. Bangsa-bangsa yang besar atau yang merdeka memilih
kemandirian. Dan kemandirian berarti hidup “di depan kurva” dengan
mengantisipasi persoalan- persoalan yang akan dihadapi di depan untuk menyelamatkan
bangsa dari persoalan-persoalan yang lebih buruk.
The Pain or The Gain
Dalam literatur strategic thinking dikenal istilah “ahead of the curve” yang berarti menduduki posisi 10% teratas. Kalau sebuah data besar dipetakan, maka biasanya posisi 10% teratas ada di sisi sebelah kanan. Dan mereka yang duduk di posisi 10% teratas itu disebut berada di kepala kurva. Bangsa-bangsa yang duduk di kepala kurva diketahui memiliki cara berpikir jauh ke depan (thinking ahead) dan berani menghadapi “pain” (rasa sakit) untuk mendapatkan “gain” (manfaat di kemudian hari).
Sebaliknya, mereka yang menduduki posisi 10% di sebelah kiri punya kecenderungan berpikir di belakang kurva seperti yang saya sebut di atas. Orang-orang yang berpikir di belakang kurva punya kecenderungan enggan bertarung melawan kesulitan, dan bila menghadapi tantangan selalu melihat rasa sakit (pain) yang besar ketimbang potensi “gain”di masa depan.
Seperti itulah Philip Delves Broughton (2008) menggambarkan mahasiswa Harvard yang kelak memimpin perusahaan-perusahaan besar dan rela membayar USD175.000 selama dua tahun di Boston, plus kurang tidur dan bertarung melawan rasa khawatir. Bukunya Ahead of The Curve (Two Years at Havard Business School) bercerita tentang apa-apa saja yang ia hadapi selama dua tahun di Harvard.
Buku itu berbeda dengan kajian yang dilakukan oleh Joseph H Ellis (2007) yang walaupun berjudul sama lebih berbicara tentang perilaku data hari ini yang cenderung membingungkan, dengan indikator-indikator saling bertentangan, persis seperti data polling pilkada, serta petunjuk-petunjuk yang menyesatkan.
Ellis menempatkan data-data itu pada konteksnya dan berkesimpulan, hanya bila seseorang berani melepaskan jiwanya dari sejarah dan kegalauan, maka ia baru bisa menjelajahi kurva baru di masa depan. Tentu saja hidup di depan kurva bagi kedua penulis itu adalah hidup yang penuh tantangan yang bila dijalankan akan membawa bangsa itu terus ke depan. Sementara yang menganut cara berpikir di belakang kurva akan terus menjadi bodoh, dan sering tertawa sendiri menertawakan kesulitannya.
Tempe, Mobnas, dan BBM
Ada benang merah yang sama antara pengambilan keputusan tentang pembebasan bea masuk kedelai saat pengusaha tempe mogok produksi dengan rangkaian kebijakan sejumlah pihak pada produksi mobil-mobil nasional yang marak belakangan ini (dan segera setelah itu menjadi museum) dengan keributan para politisi tentang subsidi BBM. Semua solusi yang diambil jelas sekali mencerminkan cara berpikir jangka pendek, instan, populis, reaktif, dan jalan pintas.
Tidak banyak pemimpin yang berpikir bahwa cara terbaik mendapatkan kedelai untuk kepentingan industri tempe adalah mengembalikan kemerdekaan para petani. Namun karena para petani tersebar luas di seantero Nusantara (dan kebijakannya ada di tangan para gubernur dan bupati), dan urusan pembenahan pertanian membutuhkan strategi menyeluruh memerangi para mafia (mulai dari mafia pupuk, importir, pestisida dan irigasi) sungguh merepotkan, maka diambillah jalan paling sederhana, yaitu memangkas habis bea masuk yang sudah kecil itu (5%). Lantas apakah dampaknya bagi ketersediaan kedelai dan masa depan pertanian Indonesia?
The Pain or The Gain
Dalam literatur strategic thinking dikenal istilah “ahead of the curve” yang berarti menduduki posisi 10% teratas. Kalau sebuah data besar dipetakan, maka biasanya posisi 10% teratas ada di sisi sebelah kanan. Dan mereka yang duduk di posisi 10% teratas itu disebut berada di kepala kurva. Bangsa-bangsa yang duduk di kepala kurva diketahui memiliki cara berpikir jauh ke depan (thinking ahead) dan berani menghadapi “pain” (rasa sakit) untuk mendapatkan “gain” (manfaat di kemudian hari).
Sebaliknya, mereka yang menduduki posisi 10% di sebelah kiri punya kecenderungan berpikir di belakang kurva seperti yang saya sebut di atas. Orang-orang yang berpikir di belakang kurva punya kecenderungan enggan bertarung melawan kesulitan, dan bila menghadapi tantangan selalu melihat rasa sakit (pain) yang besar ketimbang potensi “gain”di masa depan.
Seperti itulah Philip Delves Broughton (2008) menggambarkan mahasiswa Harvard yang kelak memimpin perusahaan-perusahaan besar dan rela membayar USD175.000 selama dua tahun di Boston, plus kurang tidur dan bertarung melawan rasa khawatir. Bukunya Ahead of The Curve (Two Years at Havard Business School) bercerita tentang apa-apa saja yang ia hadapi selama dua tahun di Harvard.
Buku itu berbeda dengan kajian yang dilakukan oleh Joseph H Ellis (2007) yang walaupun berjudul sama lebih berbicara tentang perilaku data hari ini yang cenderung membingungkan, dengan indikator-indikator saling bertentangan, persis seperti data polling pilkada, serta petunjuk-petunjuk yang menyesatkan.
Ellis menempatkan data-data itu pada konteksnya dan berkesimpulan, hanya bila seseorang berani melepaskan jiwanya dari sejarah dan kegalauan, maka ia baru bisa menjelajahi kurva baru di masa depan. Tentu saja hidup di depan kurva bagi kedua penulis itu adalah hidup yang penuh tantangan yang bila dijalankan akan membawa bangsa itu terus ke depan. Sementara yang menganut cara berpikir di belakang kurva akan terus menjadi bodoh, dan sering tertawa sendiri menertawakan kesulitannya.
Tempe, Mobnas, dan BBM
Ada benang merah yang sama antara pengambilan keputusan tentang pembebasan bea masuk kedelai saat pengusaha tempe mogok produksi dengan rangkaian kebijakan sejumlah pihak pada produksi mobil-mobil nasional yang marak belakangan ini (dan segera setelah itu menjadi museum) dengan keributan para politisi tentang subsidi BBM. Semua solusi yang diambil jelas sekali mencerminkan cara berpikir jangka pendek, instan, populis, reaktif, dan jalan pintas.
Tidak banyak pemimpin yang berpikir bahwa cara terbaik mendapatkan kedelai untuk kepentingan industri tempe adalah mengembalikan kemerdekaan para petani. Namun karena para petani tersebar luas di seantero Nusantara (dan kebijakannya ada di tangan para gubernur dan bupati), dan urusan pembenahan pertanian membutuhkan strategi menyeluruh memerangi para mafia (mulai dari mafia pupuk, importir, pestisida dan irigasi) sungguh merepotkan, maka diambillah jalan paling sederhana, yaitu memangkas habis bea masuk yang sudah kecil itu (5%). Lantas apakah dampaknya bagi ketersediaan kedelai dan masa depan pertanian Indonesia?
Hal serupa juga tampak dalam langkah-langkah produksi mobil-mobil
nasional yang belum mempersiapkan banyak hal, atau subsidi BBM yang ternyata
hanya dinikmati rakyat Indonesia bagian barat dan sebagian di tengah. Rakyat
yang hidup di bagian timur yang justru memiliki cadangan sumber daya energi
besar justru harus membayar BBM empat kali lebih mahal dari harga subsidi
karena infrastruktur di daerah-daerah itu tidak sebaik di Pulau Jawa.
Kalau diurut dari belakang ke depan, maka cara-cara bekerja serupa tampak jelas dalam banyak kasus. Mulai dari bagaimana Pemda DKI memindahkan para penziarah di makam Mbah Priok, sampai penutupan terminal bayangan di jalan tol Jatibening. Dari pembuatan iklan parawisata Indonesia di stasiun televisi BBC (yang sekadar muncul) sampai kebijakan impor beras dan aneka pangan lainnya.
Dari upaya menggantikan BBM dengan BBG yang dilakukan tanpa persiapan sampai impor garam besar-besaran. Ada kesan kuat bangsa ini telah terperangkap oleh cara berpikir yang reaktif dengan sudut pandang di belakang kurva. Ini berarti ketidakpastian di masa depan yang harusnya bisa dilihat, telah diabaikan karena macam-macam sebab. Sebab pertama, para pemimpin “buta” melihat fakta, atau “takut” memandang realita yang harus dihadapi.
Kedua, Indonesia telah tersandera oleh sistem politik yang mengarah pada kegagalan bertindak. Ketiga, negeri ini telah dikuasai oleh para mafia yang mengambil keuntungan dari kesempatan-kesempatan yang terabaikan oleh negara. Keempat, tidak ada “integrator” yang berperan menyatukan seluruh gerak vertikal – horizontal dalam sistem manajemen pemerintahan pusat maupun daerah.
Atau, keempat itu semuanya hadir karena absennya strategic planning dalam pembangunan yang menyatukan seluruh gerak bangsa dengan kepemimpinan yang kuat. Pembicaraan saya dengan para CEO menyimpulkan, keadaan yang terakhir itulah yang sangat dirasakan. “Stakeholder” Indonesia “sangat bermain” dan “liar”. Kinilah saatnya untuk memotong semua “Red Tapes” yang membelenggu Indonesia. Melahirkannya kembali, memerdekakan dari belenggu yang mengikat pikiran di belakang kurva. ●
Kalau diurut dari belakang ke depan, maka cara-cara bekerja serupa tampak jelas dalam banyak kasus. Mulai dari bagaimana Pemda DKI memindahkan para penziarah di makam Mbah Priok, sampai penutupan terminal bayangan di jalan tol Jatibening. Dari pembuatan iklan parawisata Indonesia di stasiun televisi BBC (yang sekadar muncul) sampai kebijakan impor beras dan aneka pangan lainnya.
Dari upaya menggantikan BBM dengan BBG yang dilakukan tanpa persiapan sampai impor garam besar-besaran. Ada kesan kuat bangsa ini telah terperangkap oleh cara berpikir yang reaktif dengan sudut pandang di belakang kurva. Ini berarti ketidakpastian di masa depan yang harusnya bisa dilihat, telah diabaikan karena macam-macam sebab. Sebab pertama, para pemimpin “buta” melihat fakta, atau “takut” memandang realita yang harus dihadapi.
Kedua, Indonesia telah tersandera oleh sistem politik yang mengarah pada kegagalan bertindak. Ketiga, negeri ini telah dikuasai oleh para mafia yang mengambil keuntungan dari kesempatan-kesempatan yang terabaikan oleh negara. Keempat, tidak ada “integrator” yang berperan menyatukan seluruh gerak vertikal – horizontal dalam sistem manajemen pemerintahan pusat maupun daerah.
Atau, keempat itu semuanya hadir karena absennya strategic planning dalam pembangunan yang menyatukan seluruh gerak bangsa dengan kepemimpinan yang kuat. Pembicaraan saya dengan para CEO menyimpulkan, keadaan yang terakhir itulah yang sangat dirasakan. “Stakeholder” Indonesia “sangat bermain” dan “liar”. Kinilah saatnya untuk memotong semua “Red Tapes” yang membelenggu Indonesia. Melahirkannya kembali, memerdekakan dari belenggu yang mengikat pikiran di belakang kurva. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar