Kamis, 02 Agustus 2012

Skandal LIBOR


Skandal LIBOR
J Soedradjad Djiwandono ; Profesor Nanyang Technological University, Singapura; Mantan Gubernur Bank Indonesia
KOMPAS, 02 Agustus 2012


Penentuan suku bunga antarbank London, dikenal sebagai LIBOR, yang dilakukan pada waktu terjadi krisis keuangan global bulan Juni lalu, ternyata menjadi skandal heboh dunia yang memprihatinkan.

Skandal itu terbuka pada waktu Barclays mengaku kepada otoritas pengawasan bank bahwa bank terbesar keempat di dunia ini sejak tahun 2007 berkali-kali menyerahkan laporan suku bunga yang lebih rendah dari yang sebenarnya kepada panel bank- bank yang menentukan tingkat LIBOR. Untuk itu, Barclays diharuskan membayar denda sekitar 450 juta dollar AS. Skandal ini juga menyebabkan pemberhentian sang chairman (Marcus Agius) dan pemecatan CEO (Robert Diamond).

British Bankers’ Association London Interbank Offered Rate, disingkat BBA LIBOR atau LIBOR, adalah suku bunga rata-rata yang dihitung dari biaya meminjam (cost of funds) dana jangka pendek tanpa agunan (unsecured) yang harus dibayar bank anggota asosiasi perbankan Inggris untuk memperoleh dana jangka pendek dari bank-bank lain. Setiap hari bank-bank terpilih ini menyerahkan laporan perkiraan cost of funds masing-masing. Kelompok ini beranggotakan 16 bank raksasa, seperti Barclays, Citibank, JP Morgan, HSBC, dan UBS.

LIBOR dihitung dari rata-rata semua suku bunga yang dilaporkan setelah menghilangkan empat yang paling atas dan empat yang paling bawah. Setiap hari Thomson Reuters, perusahaan penyedia jasa informasi keuangan dan perusahaan, atas nama BBA mengumumkan angka LIBOR untuk 15 jenis pinjaman yang dibedakan menurut jangka waktu pengembalian (tenor)— dari pinjaman satu hari (over night) sampai satu tahun—dan meliputi 10 jenis mata uang, termasuk dollar AS, euro, poundsterling, dan franc Swiss.

LIBOR digunakan sebagai referensi (benchmark) untuk suku bunga jangka pendek praktis di seluruh dunia. Kebanyakan produk-produk finansial, derivatif, dan bermacam-macam sekuritas, kontrak-kontrak keuangan, seperti kartu kredit, pinjaman, hipotek, dan sebagainya, menggunakan LIBOR sebagai acuan. Nilai keseluruhan produk finansial dan transaksi keuangan yang menggunakan LIBOR dalam penentuan harga mereka diperkirakan ratusan triliunan dollar AS (ada yang menyebutkan sampai 800 triliun dollar AS).

Karena LIBOR menunjukkan biaya yang harus dibayar bank-bank terpercaya di dunia, suku bunga itu merupakan biaya pinjaman terendah yang berlaku. Suku bunga produk keuangan lain yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga keuangan perusahaan maupun transaksi keuangan yang terjadi antarpihak diukur dengan besarnya selisih di atas LIBOR, dihitung dalam satuan basis poin, di mana 1 persen adalah 100 basis poin.

Memunculkan Distorsi

Mengapa menjadi skandal yang menghebohkan dan memprihatinkan? Yang terjadi adalah bahwa Barclays menyerahkan angka suku bunga yang lebih rendah daripada yang seharusnya. Dalam ketentuan yang mengatur memang angka yang diserahkan adalah suatu perkiraan, bukan realisasi. Artinya, kalau bank yang melaporkan ini benar meminjam, mungkin harus membayar bunga yang berbeda dengan yang dilaporkan untuk penghitungan LIBOR. Namun, angka yang diserahkan juga bisa tidak benar karena unsur kesengajaan untuk memperoleh keuntungan dari ketidakbenaran tersebut.

Kalau angka yang dilaporkan tidak benar, LIBOR yang dihitung dari angka tersebut juga tidak benar. Padahal, angka ini setelah menjadi LIBOR digunakan sebagai acuan suku bunga di seluruh dunia. Kalau ini terjadi, transaksi keuangan di dunia dilaksanakan dengan menggunakan acuan yang tidak benar, yang bohong. Ini jelas suatu masalah.

Teori ekonomi mengajarkan bahwa harga yang tidak benar akan menimbulkan distorsi. Dalam hal ini, biaya meminjam berdasarkan LIBOR yang lebih rendah dari yang sebenarnya juga menjadi lebih murah. Keadaan ini akan mendorong orang untuk meminjam lebih besar dari yang semestinya. Secara umum, keadaan ini mendorong orang mengambil risiko yang lebih besar dari yang mampu dipikul dan orang menjadi kurang hati-hati dengan berbagai implikasi buruknya.

Skandal Barclays terjadi pada waktu berlangsungnya krisis keuangan. Penyebutan angka LIBOR yang lebih rendah dari yang sebenarnya bisa dipandang menguntungkan publik karena suku bunga yang rendah tadi memberi isyarat bahwa bank- bank di mana masyarakat menitipkan dana mereka dalam kondisi baik tidak bermasalah. Secara umum, perbankan dan keuangan stabil. Masyarakat merasa bahwa dana mereka di bank aman dan bank run tidak terjadi. Ini jelas merupakan kepentingan otoritas moneter dan perbankan yang berfungsi menjaga kestabilan sistem keuangan dan pembayaran.

Kemungkinan Tuntutan

Namun, yang sekarang masih ditakutkan adalah bahwa kelompok bank yang menentukan tingkat LIBOR mungkin harus menghadapi tuntutan-tuntutan hukum dari pihak yang merasa dirugikan karena mereka telah melakukan transaksi keuangan dengan menggunakan LIBOR yang tidak benar sebagai acuan. Selain itu, dewasa ini juga masih ada sejumlah bank yang menghadapi pemeriksaan otoritas pengawasan keuangan. Tidak mustahil akan ada bank-bank lain yang harus menghadapi masalah serupa dengan Barclays, membayar denda ratusan juta dollar AS dan harus berbenah diri untuk memperbaiki kredibilitasnya yang telah rusak. Suatu ketidakpastian yang bisa merugikan.

Mengikuti apa yang berkembang dalam penyelidikan komisi perbankan di parlemen Inggris mengenai skandal LIBOR juga menumbuhkan keprihatinan terhadap otoritas perbankan di Inggris dan dalam batas tertentu di Amerika Serikat.

Sebagai ekonom moneter yang pernah menjadi pengelola bank sentral dan senang mengamati perkembangan sektor ini, saya termasuk memperlakukan indikator seperti LIBOR sebagai acuan yang tidak bisa ditawar-tawar, mendekati infallible. Namun, akhir-akhir ini, mengikuti berita dan mendengar jawaban-jawaban otoritas perbankan, seperti Deputi Gubernur Bank of England dalam komisi penyidikan parlemen mengenai masalah ini dan berita tentang apa yang diketahui dan dilakukan oleh Fedres yang menyangkut masalah ini, saya merasa seperti orang yang dikibuli.

LIBOR yang kita terima setengah keramat ternyata diputuskan dengan cara yang sangat kasual, kalau tidak bisa dikatakan seenaknya, termasuk mungkin dijadikan sumber cari untung.

Para pemegang otoritas perbankan waktu menghadapi pilihan dilematis; mengaku mengetahui semua yang terjadi waktu itu dan harus bertanggung jawab atau mengatakan tidak tahu dan terbebas dari tanggung jawab, rupanya memilih yang terakhir untuk selamat (meskipun menanggung risiko dikatakan bodoh). Suatu hal yang memprihatinkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar