Merentang
Ruang Toleransi di Kelas
Sidharta Susila ; Pendidik, Tinggal di Muntilan, Magelang
SUMBER : KOMPAS, 4
Juni 2012
Pembelajaran mesti memberdayakan hidup. Siswa
mesti dibantu untuk kian mampu hidup sebagai manusia bermartabat, bersama
manusia lain, dan memperlakukan mereka dengan bermartabat pula.
Ini suatu keniscayaan bagi pendidikan di
negeri kita yang pluralis ini. Ketika pendidikan gagal melahirkan pribadi yang
toleran, maka kekerasan antarwarga menjadi dinamika hidup harian. Kecurigaan dan
prasangka pun terus terjadi.
Akibatnya akan selalu ada upaya kelompok
membentengi diri dengan menaklukkan liyan (orang lain) secara arogan. Sementara
kelompok lain terus curiga dan berprasangka dikuasai.
Modal Toleransi
Salah satu penyebab curiga dan prasangka
adalah kebodohan. Kebodohan bisa disebabkan oleh kurangnya informasi. Karena
kebodohan, seseorang atau kelompok tak bisa berpikir dan bersikap alternatif.
Hidup mereka reaktif dan karena itu mudah dihasut.
Ketika merasa sebagai kelompok mayoritas,
mereka cenderung mudah diajak melakukan tindak arogansi terhadap liyan. Jika
mereka merasa sebagai minoritas, mereka mencurigai liyan yang terus berniat
menindas.
Tak berlebihan apabila pendidikan bisa
menjadi ruang tindak kenabian menyelamatkan kehidupan. Pendidikan mestinya
tidak hanya mentransfer sejumlah pengetahuan. Pendidikan mesti menghadirkan
beragam pengetahuan yang membantu siswa menemukan aneka persepsi atas sebuah
realitas. Pada akhirnya, pendidikan mesti melahirkan manusia pembelajar, yang kritis
dengan apa yang telah diajarkan dan diketahui di kelas.
Rasanya inilah tantangan pendidik di negeri
ini yang tertakdir pluralis. Pluralisme mestinya dipandang sebagai berkat,
kemurah-hatian Tuhan atas bangsa ini. Betapa tidak! Pluralisme menjanjikan sebuah
pemahaman yang utuh atas mozaik keagungan Tuhan dan kehidupan.
Realitas pluralisme budaya dan suku di negeri
ini adalah representasi kekayaan-kearifan manusia mengolah kehidupan dan alam.
Demikian juga pluralisme agama di negeri ini adalah berkat indah untuk memahami
dengan lebih utuh siapakah Tuhan itu. Perjumpaan bangsa ini dalam realitas
pluralisme mestinya membantu bangsa ini menjadi manusia yang cerdas, arif,
toleran, dan bijaksana.
Kalau faktanya kita masih sering melihat
tindak kekerasan antarkelompok masyarakat, juga perasaan ditindas oleh kelompok
masyarakat lain, pasti ada yang perlu dibenahi dalam pembelajaran realitas
pluralisme kita. Dunia pendidikan mestinya bertanggung jawab atas perilaku
tidak beradab ini.
Ruang Bersama
Toleransi hanya dapat dibangun ketika ada
perjumpaan antarkelompok masyarakat dalam kesetaraan. Akan tetapi, bagaimanakah
membangun kesadaran hadir bersama liyan dalam kesetaraan, bukan penaklukan atau
penyelamatan liyan?
Penaklukan terhadap liyan bisa dipicu oleh
kesadaran bahwa dirinya paling benar, serentak bersama itu merasa wajib
meluruskan yang lain yang tidak sepaham. Dalam dunia pendidikan, khususnya
dalam pembelajaran agama, pendidik mesti menghindari kecenderungan memberikan
pengajaran kebenaran pewahyuan (kebenaran vertikal dalam relasi dengan Tuhan)
secara berlebihan dan tunggal.
Pendidikan agama yang baik dalam konteks
kehidupan yang pluralis mesti mempertimbangkan aspek kehidupan bersama. Peserta
didik juga harus dibantu untuk menyadari kebenaran lain, juga tentang pewahyuan
Tuhan yang dialami agama lain.
Di negeri pluralis, pendidikan agama mesti
mampu membimbing siswa untuk menyadari bahwa pewahyuan dan pengalaman tentang
keilahian adalah pengalaman universal. Pada pengalaman keilahian yang universal
itu ada isi iman.
Isi iman dirumuskan secara unik oleh setiap
kelompok masyarakat. Hal ini terjadi karena pewahyuan dan pengalaman keilahian
itu terjadi di berbagai tempat dan waktu yang berbeda. Pewahyuan dan pengalaman
keilahian bersentuhan dengan unsur budaya dan alam, ruang dan waktu. Karena
itu, rumusan pengalaman keilahian pastilah tak dapat menjelaskan
kemaha-sempurnaan yang Ilahi.
Dengan demikian, isi iman mestinya menjadi
ruang dan bahasa bersama dalam pembelajaran agama di negeri pluralis.
Pembelajaran agama tak boleh hanya mengajarkan rumusan, dogma, atau pengalaman
iman yang faktanya parsial. Pembelajaran agama mesti membantu siswa menemukan
isi iman dari beragam rumusan ajaran agama.
Pembelajaran demikian akan membantu siswa
memahami mengapa Muslim mengajarkan Allah yang tauhid, sementara Kristianitas
mengajarkan Allah yang trinitaris, atau juga memahami mengapa Hindu memiliki
kekayaan tradisi sesaji.
Pembelajaran agama semacam ini akan
melahirkan pribadi beriman mendalam, rendah hati, toleran, dan penuh welas asih. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar