Sinetron
yang Tidak Mendidik
Th
Rosid Ahmad, ALUMNUS PENDIDIKAN JURUSAN BAHASA INGGRIS
IKIP NEGERI SEMARANG (KINI UNNES) 1984, MANTAN GURU BAHASA INGGRIS SMK NEGERI 9
SEMARANG
SUMBER : SUARA MERDEKA, 24 Maret 2012
"Sebagai wakil
pemerintah, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) seyogianya lebih berperan
melindungi pemirsa sinetron yang tidak berdaya"
PERNAHKAH terbayangkan
begitu banyak anggota masyarakat kita, terutama ibu-ibu rumah tangga dan
anak-anak, menghabiskan sebagian besar waktunya di depan televisi? Padahal
berbagai tayangan, khususnya sinetron, sarat dengan sajian penuh intrik, tindak
kekerasan, dan hal lain yang kurang mendidik.
Di negeri tercinta ini, tiap hari pemirsa televisi dicekoki sinetron kejar tayang yang digarap dengan jadwal terburu-buru dan menguras waktu. Bagaimana ide yang bernas bisa dihasilkan di tengah tuntutan rutinitas kerja yang padat? Skenario pun kadang baru siap beberapa jam sebelum syuting. Pun, sering berubah di tengah jalan lantaran salah seorang pemain sakit dan tidak datang ke lokasi. Akibatnya, alur cerita jadi tidak karuan.
Hebatnya, cerita sinetron bisa diulur-ulur hingga lebih dari 300 episode per putaran dan ceritanya melebar ke mana-mana. Meski begitu, tampaknya penonton tetap menikmati. Diakui, sinetron Indonesia mungkin paling hebat di dunia. Hasil produksi kejar tayang dan minim kualitas, tapi mampu meraup jumlah penonton luar biasa banyak. Inilah potret masyarakat kita, tak pernah protes meski disuguhi tayangan minim kualitas.
Di lain pihak, film mancanegara umumnya tampil dengan kualitas gambar prima dan alur cerita runtut. Isi cerita pun menarik, dan sangat mendidik. Lihat saja film Home Alone yang hampir tiap musim liburan sekolah di tayang ulang di layar kaca. Di sana diperlihatkan bagaimana anak kecil mampu mengalahkan penjahat dewasa. Sebaliknya, di Indonesia, ditayangkan seorang ibu yang sudah cukup umur begitu mudah diperdaya wanita muda yang berpura-pura hamil. Itu berlangsung sekian lama tanpa terbongkar. Teramat konyol.
Contoh tindakan sadis lain, seorang pemain dengan semena-mena menendang, menampar, bahkan dengan membakar wanita lawan mainnya di dalam mobil. Di mata anak-anak, apa yang mereka tonton sehari-hari terekam di otak, seakan satu pembenaran bahwa hal itu normal dan layak ditiru. Masuk akal jika akhirnya ada anak tumbuh liar dan brutal.
Hiburan Murah
Harus diakui, banyak cerita sinetron cenderung merusak dan tidak patut diteladani. Dari segi pendidikan, ini benar-benar memprihatinkan. Anehnya, meski berisiko bagi pertumbuhan jiwa anak, nyaris tak pernah terdengar ada protes, apalagi dari wakil rakyat kita di Senayan.
Semestinya, masyarakat bukannya tidak menyadari alur cerita yang tidak keruan itu. Tapi karena tak ada pilihan lain, kualitas seperti apa pun tetap lahap disantap. Boleh saja berkilah, ’’Cerita sinetron itu cermin realitas yang ada di sekitar kita.’’ Tetapi, bukankah lewat tayangan bisa diberikan sajian yang cerdas dan lebih mendidik? Bahkan kita bisa menjual tempat-tempat wisata andalan bila syuting dilakukan di lokasi pelesiran yang bagus.
Disadari sepenuhnya, rakyat kita butuh hiburan murah. Sementara, fasilitas yang mereka punya amat terbatas. Kalau saja mampu, pasti memilih saluran televisi berbayar dengan iming-iming program penuh variasi dan berkualitas. Memang yang berbayar umumnya lebih bagus. Tapi uang langganan tiap akhir bulan pun bisa sepertiga upah minimum regional buruh di negeri ini.
Sejujurnya, tidak sedikit tayangan televisi yang cukup berbahaya bagi perkembangan jiwa anak-anak yang dalam masa pertumbuhan. Ingat, generasi muda adalah aset bangsa yang diharapkan menjadi pemimpin masa depan. Maka selayaknya semua pihak peduli. Sungguh berisiko bila hal itu dibiarkan. Agar tidak kebablasan, pemerintah mesti segera turun tangan. Tidak ada kata terlambat untuk langkah pembenahan. Sebagai wakil pemerintah, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) seyogianya lebih berperan melindungi pemirsa sinetron yang tidak berdaya. ●
Di negeri tercinta ini, tiap hari pemirsa televisi dicekoki sinetron kejar tayang yang digarap dengan jadwal terburu-buru dan menguras waktu. Bagaimana ide yang bernas bisa dihasilkan di tengah tuntutan rutinitas kerja yang padat? Skenario pun kadang baru siap beberapa jam sebelum syuting. Pun, sering berubah di tengah jalan lantaran salah seorang pemain sakit dan tidak datang ke lokasi. Akibatnya, alur cerita jadi tidak karuan.
Hebatnya, cerita sinetron bisa diulur-ulur hingga lebih dari 300 episode per putaran dan ceritanya melebar ke mana-mana. Meski begitu, tampaknya penonton tetap menikmati. Diakui, sinetron Indonesia mungkin paling hebat di dunia. Hasil produksi kejar tayang dan minim kualitas, tapi mampu meraup jumlah penonton luar biasa banyak. Inilah potret masyarakat kita, tak pernah protes meski disuguhi tayangan minim kualitas.
Di lain pihak, film mancanegara umumnya tampil dengan kualitas gambar prima dan alur cerita runtut. Isi cerita pun menarik, dan sangat mendidik. Lihat saja film Home Alone yang hampir tiap musim liburan sekolah di tayang ulang di layar kaca. Di sana diperlihatkan bagaimana anak kecil mampu mengalahkan penjahat dewasa. Sebaliknya, di Indonesia, ditayangkan seorang ibu yang sudah cukup umur begitu mudah diperdaya wanita muda yang berpura-pura hamil. Itu berlangsung sekian lama tanpa terbongkar. Teramat konyol.
Contoh tindakan sadis lain, seorang pemain dengan semena-mena menendang, menampar, bahkan dengan membakar wanita lawan mainnya di dalam mobil. Di mata anak-anak, apa yang mereka tonton sehari-hari terekam di otak, seakan satu pembenaran bahwa hal itu normal dan layak ditiru. Masuk akal jika akhirnya ada anak tumbuh liar dan brutal.
Hiburan Murah
Harus diakui, banyak cerita sinetron cenderung merusak dan tidak patut diteladani. Dari segi pendidikan, ini benar-benar memprihatinkan. Anehnya, meski berisiko bagi pertumbuhan jiwa anak, nyaris tak pernah terdengar ada protes, apalagi dari wakil rakyat kita di Senayan.
Semestinya, masyarakat bukannya tidak menyadari alur cerita yang tidak keruan itu. Tapi karena tak ada pilihan lain, kualitas seperti apa pun tetap lahap disantap. Boleh saja berkilah, ’’Cerita sinetron itu cermin realitas yang ada di sekitar kita.’’ Tetapi, bukankah lewat tayangan bisa diberikan sajian yang cerdas dan lebih mendidik? Bahkan kita bisa menjual tempat-tempat wisata andalan bila syuting dilakukan di lokasi pelesiran yang bagus.
Disadari sepenuhnya, rakyat kita butuh hiburan murah. Sementara, fasilitas yang mereka punya amat terbatas. Kalau saja mampu, pasti memilih saluran televisi berbayar dengan iming-iming program penuh variasi dan berkualitas. Memang yang berbayar umumnya lebih bagus. Tapi uang langganan tiap akhir bulan pun bisa sepertiga upah minimum regional buruh di negeri ini.
Sejujurnya, tidak sedikit tayangan televisi yang cukup berbahaya bagi perkembangan jiwa anak-anak yang dalam masa pertumbuhan. Ingat, generasi muda adalah aset bangsa yang diharapkan menjadi pemimpin masa depan. Maka selayaknya semua pihak peduli. Sungguh berisiko bila hal itu dibiarkan. Agar tidak kebablasan, pemerintah mesti segera turun tangan. Tidak ada kata terlambat untuk langkah pembenahan. Sebagai wakil pemerintah, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) seyogianya lebih berperan melindungi pemirsa sinetron yang tidak berdaya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar