Korupsi
Membentuk Generasi
Falasifatul
Falah,
Dosen
Psikologi Sosial Unissula Semarang,
Master
of Arts in Women Study Flinders University of South Australia
SUMBER : SUARA MERDEKA, 24 Maret 2012
BERAWAL dari
rasa ingin tahu dan sedikit iseng, suatu hari saya melontarkan pertanyaan pada
sekitar 60 mahasiswa yang menghadiri sebuah forum akademik, untuk mengetahui
bagaimana sikap mereka terhadap korupsi dan perilaku lain. Setiap mahasiswa
menyatakan sikap pribadinya secara tertulis dan anonim; dan hasilnya mayoritas
menilai bahwa korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik dan aparat negara
adalah hal yang memalukan, tetapi tindakan memberi suap pada polisi lalu lintas
dan saling memberi contekan dalam ujian akademik, menurut sebagian mahasiswa
adalah perbuatan lumrah (wajar).
Sikap mahasiswa itu merupakan potret dari ketidakkonsistenan nilai pribadi mereka (meskipun secara metodologis belum bisa digeneralisasikan). Kontradiktif karena perilaku korupsi, menyuap polisi lalu lintas, dan mencontek sama-sama merupakan manifestasi dari ketidakjujuran dan pelanggaran amanah. Kalau boleh berhipotesis, saya menduga aktivis mahasiswa yang gemar berdemo menghujat terduga koruptor pun tidak semuanya mengharamkan contek-mencontek jawaban ujian dalam praktik kehidupan akademik sehari-hari.
Padahal menghindari perilaku mencontek di kampus tidak lebih sulit dibandingkan upaya mensterilkan diri dari budaya korupsi bagi mereka yang terjebak di dalam sistem yang korup. Bila dalam kehidupan sehari-harinya saja mahasiswa tidak mampu melawan godaan untuk mencontek, mungkinkah mereka sanggup melawan teror korupsi yang lebih dahsyat? Bila anak-anak muda itu suatu saat mendapat kesempatan dan kewenangan mengelola sumber daya milik bangsa, apakah mereka akan konsisten ’’berkata tidak pada korupsi’’?
Tidak ada jaminan bahwa mereka, yang saat ini menganggap korupsi sebagai tindakan memalukan, akan tetap menolak godaan itu bila mendapat kesempatan. Apalagi kita telah melihat contoh, beberapa tokoh yang pada masa mudanya terkenal sebagai aktivis yang berani, mulai memperlihatkan gejala memudarnya idealisme sejak menjadi bagian dari lingkaran kekuasaan dan birokrasi.
Konformitas
Penelitian psikologi sosial menunjukkan bahwa sikap, yang didefinisikan sebagai penilaian seseorang terhadap suatu objek, tidak selalu sejalan dengan perilaku nyata. Artinya, orang yang menilai korupsi secara negatif pun memiliki kemungkinan korupsi meskipun hal itu bertentangan dengan keyakinannya. Ada beberapa faktor yang memengaruhi ketidakkonsistenan antara sikap dan perilaku, salah satunya adalah tekanan situasi. Makin kuat tekanan yang ditimbulkan oleh suatu situasi, makin besar pula potensi melemahnya sikap individu.
Studi yang dipresentasikan oleh peneliti University of Birmingham Heather Marquette tahun 2011 membuktikan teori tersebut. Penelitian yang dilakukan di beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa individu-individu yang menganggap dirinya religius dan menilai korupsi sebagai dosa, ternyata tidak bisa mengelakkan diri dari korupsi, misalnya menyuap aparat, dengan dalih tekanan situasi yang tidak mungkin dihindari.
Konflik batin dan perasaan berdosa diredam melalui mekanisme rasionalisasi: mengasumsikan bahwa tindakan individual tidak akan menimbulkan perbedaan bagi sistem dan komunitas, serta menganggap bahwa melakukan tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan sosial justru akan terlihat konyol. Individu pun melakukan konformitas, yaitu menyerah pada pengaruh sosial dan mengubah sikap atau perilaku pribadinya agar sesuai dengan tuntutan lingkungan.
Menyimak deskripsi itu bagai memandang cermin, karena fenomena tersebut juga terjadi pada kita. Tidak banyak dari kita yang bisa menyatakan bahwa dirinya menerima dana negara —misalnya untuk biaya penelitian— secara utuh tanpa harus dipotong atau ditebus dengan ’’biaya administrasi’’ yang tidak jelas untuk apa dan siapa. Kita merelakan pengeluaran yang tidak jelas tersebut karena menganggapnya sebagai keharusan. Kebimbangan atau keraguan akan ditinggalkan, diganti dengan konformitas.
Pengakuan seorang mantan pegawai pajak dalam sebuah program berita televisi, bahwa sejak awal masa kerjanya, atasan langsung memberikan briefing mengenai ’’cara main’’ di lingkungan perpajakan, seolah menegaskan bahwa budaya korupsi telah menjelma menjadi kekuatan mahadahsyat, yang menghisap tiap individu yang mendekati radius aktivitasnya (Metrotv, 08/03/12). Bila hal ini dibiarkan berjalan terus maka kita akan mencetak ulang generasi yang dengan pasrah menerima korupsi sebagai bagian dari budaya dan tradisi.
Memutus Rantai
Perang melawan korupsi harus tetap berlanjut sehingga tidak ada pilihan selain memutus rantai regenerasi pelaku budaya korupsi. Studi menunjukkan bahwa penolakan terhadap tekanan untuk melakukan konformitas bisa dilakukan oleh individu yang memiliki keinginan kuat akan individuasi, yaitu kebutuhan untuk menegaskan dirinya sebagai sosok unik.
Selama ini kebutuhan akan individuasi pada bangsa yang menganut budaya kolektivitas, seperti bangsa Indonesia, memang cenderung rendah. Meskipun budaya kolektivitas tidak sepenuhnya negatif, tampaknya kita perlu belajar memilah-milah situasi dan membatasi penerapan budaya kolektivitas ini hanya pada hal-hal yang positif. Kebiasaan berjamaah harus dibuang jauh-jauh bila itu menyangkut hal negatif seperti korupsi atau contek-mencontek jawaban ujian.
Pendidikan karakter yang bermuara pada pembentukan sikap antikorupsi tak pelak merupakan suatu keharusan mendesak. Pendidikan karakter tidak boleh melupakan aspek keberanian sebagai salah satu unsur penting yang membentuk kepribadian kuat. Hanya individu yang memiliki keberanian yang mampu membongkar budaya korupsi yang telah menggurita. ●
Sikap mahasiswa itu merupakan potret dari ketidakkonsistenan nilai pribadi mereka (meskipun secara metodologis belum bisa digeneralisasikan). Kontradiktif karena perilaku korupsi, menyuap polisi lalu lintas, dan mencontek sama-sama merupakan manifestasi dari ketidakjujuran dan pelanggaran amanah. Kalau boleh berhipotesis, saya menduga aktivis mahasiswa yang gemar berdemo menghujat terduga koruptor pun tidak semuanya mengharamkan contek-mencontek jawaban ujian dalam praktik kehidupan akademik sehari-hari.
Padahal menghindari perilaku mencontek di kampus tidak lebih sulit dibandingkan upaya mensterilkan diri dari budaya korupsi bagi mereka yang terjebak di dalam sistem yang korup. Bila dalam kehidupan sehari-harinya saja mahasiswa tidak mampu melawan godaan untuk mencontek, mungkinkah mereka sanggup melawan teror korupsi yang lebih dahsyat? Bila anak-anak muda itu suatu saat mendapat kesempatan dan kewenangan mengelola sumber daya milik bangsa, apakah mereka akan konsisten ’’berkata tidak pada korupsi’’?
Tidak ada jaminan bahwa mereka, yang saat ini menganggap korupsi sebagai tindakan memalukan, akan tetap menolak godaan itu bila mendapat kesempatan. Apalagi kita telah melihat contoh, beberapa tokoh yang pada masa mudanya terkenal sebagai aktivis yang berani, mulai memperlihatkan gejala memudarnya idealisme sejak menjadi bagian dari lingkaran kekuasaan dan birokrasi.
Konformitas
Penelitian psikologi sosial menunjukkan bahwa sikap, yang didefinisikan sebagai penilaian seseorang terhadap suatu objek, tidak selalu sejalan dengan perilaku nyata. Artinya, orang yang menilai korupsi secara negatif pun memiliki kemungkinan korupsi meskipun hal itu bertentangan dengan keyakinannya. Ada beberapa faktor yang memengaruhi ketidakkonsistenan antara sikap dan perilaku, salah satunya adalah tekanan situasi. Makin kuat tekanan yang ditimbulkan oleh suatu situasi, makin besar pula potensi melemahnya sikap individu.
Studi yang dipresentasikan oleh peneliti University of Birmingham Heather Marquette tahun 2011 membuktikan teori tersebut. Penelitian yang dilakukan di beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa individu-individu yang menganggap dirinya religius dan menilai korupsi sebagai dosa, ternyata tidak bisa mengelakkan diri dari korupsi, misalnya menyuap aparat, dengan dalih tekanan situasi yang tidak mungkin dihindari.
Konflik batin dan perasaan berdosa diredam melalui mekanisme rasionalisasi: mengasumsikan bahwa tindakan individual tidak akan menimbulkan perbedaan bagi sistem dan komunitas, serta menganggap bahwa melakukan tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan sosial justru akan terlihat konyol. Individu pun melakukan konformitas, yaitu menyerah pada pengaruh sosial dan mengubah sikap atau perilaku pribadinya agar sesuai dengan tuntutan lingkungan.
Menyimak deskripsi itu bagai memandang cermin, karena fenomena tersebut juga terjadi pada kita. Tidak banyak dari kita yang bisa menyatakan bahwa dirinya menerima dana negara —misalnya untuk biaya penelitian— secara utuh tanpa harus dipotong atau ditebus dengan ’’biaya administrasi’’ yang tidak jelas untuk apa dan siapa. Kita merelakan pengeluaran yang tidak jelas tersebut karena menganggapnya sebagai keharusan. Kebimbangan atau keraguan akan ditinggalkan, diganti dengan konformitas.
Pengakuan seorang mantan pegawai pajak dalam sebuah program berita televisi, bahwa sejak awal masa kerjanya, atasan langsung memberikan briefing mengenai ’’cara main’’ di lingkungan perpajakan, seolah menegaskan bahwa budaya korupsi telah menjelma menjadi kekuatan mahadahsyat, yang menghisap tiap individu yang mendekati radius aktivitasnya (Metrotv, 08/03/12). Bila hal ini dibiarkan berjalan terus maka kita akan mencetak ulang generasi yang dengan pasrah menerima korupsi sebagai bagian dari budaya dan tradisi.
Memutus Rantai
Perang melawan korupsi harus tetap berlanjut sehingga tidak ada pilihan selain memutus rantai regenerasi pelaku budaya korupsi. Studi menunjukkan bahwa penolakan terhadap tekanan untuk melakukan konformitas bisa dilakukan oleh individu yang memiliki keinginan kuat akan individuasi, yaitu kebutuhan untuk menegaskan dirinya sebagai sosok unik.
Selama ini kebutuhan akan individuasi pada bangsa yang menganut budaya kolektivitas, seperti bangsa Indonesia, memang cenderung rendah. Meskipun budaya kolektivitas tidak sepenuhnya negatif, tampaknya kita perlu belajar memilah-milah situasi dan membatasi penerapan budaya kolektivitas ini hanya pada hal-hal yang positif. Kebiasaan berjamaah harus dibuang jauh-jauh bila itu menyangkut hal negatif seperti korupsi atau contek-mencontek jawaban ujian.
Pendidikan karakter yang bermuara pada pembentukan sikap antikorupsi tak pelak merupakan suatu keharusan mendesak. Pendidikan karakter tidak boleh melupakan aspek keberanian sebagai salah satu unsur penting yang membentuk kepribadian kuat. Hanya individu yang memiliki keberanian yang mampu membongkar budaya korupsi yang telah menggurita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar