Yang
Terlarang Bersujud
Saidiman Ahmad, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber
: JIL, 9 Januari 2012
Seorang
teman pengunjung berbisik,”masalahnya bukanlah bahwa anggota-anggota Jemaat
Ahmadiyah ini memiliki keyakinan yang sama dengan umumnya orang Islam.
Sekalipun mereka sungguh berbeda, mereka tetap memiliki hak yang sama untuk
berkeyakinan dan beribadah.” Saya mengangguk setuju.
Kami masih menyusuri lorong-lorong kota. Di
langit, matahari bersinar terang. Dua tiga orang di jalan. Menepi dan berpeluh.
Kota Makassar seperti terbakar.
“Apa penjelasan mereka?” tiba-tiba supir
taksi bersuara. Pertanyaan yang membuat saya, mungkin juga yang lain,
tercengang.
“Mereka sudah lama dilarang, tapi tetap saja
beraktivitas.” Apa pentingnya supir taksi yang kami sewa untuk mengantar kami
menyusuri jalan-jalan kota Makassar ini mengajukan pertanyaan itu? Tapi
baiklah.
“Emang aktivitas yang dilarang itu apa, pak?”
Tak sabar, saya bertanya balik.
“Ya, mereka itu sudah lama dilarang. Mereka
dilarang karena akidah mereka berbeda, menyimpang. Tapi tetap saja mereka
menjalankan,” dia coba memberi penjelasan.
“Kalau berbeda atau menyimpang, lantas kenapa
harus dilarang? Bukankah kita semua saling berbeda?” Saya tidak tahu pasti
apakah yang saya jelaskan ini dia mengerti atau tidak.
Setelah agak lama berpikir atau mungkin juga
sedang berkonsentrasi menghindari motor yang tiba-tiba muncul dari arah depan,
dia menjawab sekenanya, “ya tidak bisa itu.”
“Aktivitas yang mereka lakukan kan sembahyang
dan mengaji juga mengajar anak-anak membaca Quran. Masa itu dilarang? Masa
sembahyang dilarang? Masa mengaji dilarang? Masa belajar membaca Quran
dilarang?” Saya semakin bersemangat.
Dia mengerutkan kening. Maaf, sebenarnya saya
tidak tahu pasti apakah dia mengerutkan kening. Saya duduk tepat di
belakangnya. Saya menduga dia mengerutkan kening. Berpikir keras. Lalu sampai
pada kesimpulan. Akhirnya dia berujar, “memang mereka beribadah. Tapi mereka
bohong. Mereka menyebarkan ajaran di situ. Masyarakat tidak suka. Mereka juga
bohong karena bilang masyarakat mengganggu mereka. Mana ada masyarakat yang
mengganggu. Kita hidup rukun.”
“Orang lain juga bisa menyebarkan ajaran
kepada mereka. Menyebarkan ajaran yang dianggap baik kan tidak dilarang,”
kalimat saya diinterupsi suara klakson yang ia tekan keras-keras entah untuk
apa. Mungkin ada motor yang memotong jalannya. Saya tidak lihat.
Saya lanjutkan, “kalau bapak bilang
masyarakat tidak suka, masyarakat di sekitar situ tidak terganggu kok. Mereka
hidup damai bertahun-tahun. Kalau musim kemarau, warga sekitar malah bergantung
sumber air dari masjid mereka. Yang datang menyerbu itu dari luar Annuang.”
Kami memang baru berkunjung ke jalan Annuang.
Sejak pagi hingga siang kami berada di masjid dan kantor Jemaat Ahmadiyah
Makassar, Jl. Annuang No. 112. Kunjungan itu dilakukan oleh sekitar 30an orang
yang sebagian besar terdiri dari para jurnalis kampus sekota Makassar dan
Pare-Pare. Selain itu, ikut pula dalam kunjungan beberapa jurnalis dan aktivis,
antara lain Mardiana Rusli (Ketua Aliansi Jurnalis Independen/AJI Makassar dan
jurnalis ANTV), Ahmad Junaidi (Koordinator Serikat Jurnalis untuk
Keberagaman/SEJUK dan redaktur The Jakarta Post), Budhi Kurniawan (aktivis anak
dan mantan jurnalis KBR68H), Rifah Zainani (aktivis Lembaga Studi Agama dan Filsafat/LSAF),
Frizka (aktivis pemantauan keuangan), Muhammad Husni Thamrin dan Reiner Erkens
(Friedrich Naumann Stiftung/ FNS) dan lain-lain. Kunjungan ini dikoordinir oleh
Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).
***
Tidak ada yang istimewa pada bangunan itu. Ia
berdiri dihimpit bangunan-bangunan lain yang berjejal-jejal di sepanjang jalan
Annuang yang sempit. Selintas ia seperti bangunan rumah toko (Ruko) berlantai
dua. Lantai satu dipergunakan sebagai kantor atau sekretariat. Lantai dua
digunakan sebagai tempat ibadah. Kami diarahkan ke lantai dua, ke masjid. Semua
sandal dan sepatu kami lepas dan letakkan ke tempat penitipan sandal. Di lantai
atas itu kami bisa menyaksikan atap rumah-rumah penduduk di sekitar Annuang.
Atap sambung menyambung menjadi satu seperti satu bangunan besar yang atapnya
saling menindih. Tak rapi.
Satu per satu peserta kunjungan memasuki
ruang masjid. Seperti masuk ke sebuah museum, para peserta mengamat-amati
ruangan. Tak ada yang luput dari pengamatan. Papan pengumuman. Foto yang
terpampang. Jendela. Karpet. Mimbar. Sebuah televisi diletakkan menghadap ke
ruang tengah.
Tiba-tiba ada keributan. Koordinator SEJUK
sedang bergaya di atas mimbar. Di bawahnya, beberapa juru foto dadakan sibuk
mengabadikan. Ada tulisan melingkar pada mimbar itu “Jamaah Ahmadiyah Indonesia
Propinsi Sulawesi Selatan.” Di tengahnya terdapat tulisan-tulisan kaligrafi
dari huruf-huruf Arab yang rumit. Seperti dikomando, satu persatu peserta
kunjungan bergantian berpose di atas mimbar dengan beragam gaya. Ada yang
menunjuk ke atas. Ada yang mengepalkan tangan sambil mulut seolah berteriak
tapi tak ada suara. Ada yang merentang tangan seperti berdoa. Ada yang bergaya
a la Soekarno, mengarahkan telunjuk ke arah suara jepretan. Jepret. Jepret.
Jepret.
Kegaduhan yang sudah mengarah kepada narsisme
parah ini harus segera diredam. “Mari berkumpul, acara akan segera dimulai,”
suara saya tenggelam oleh suara gaduh. Para pengurus Jemaat Ahmadiyah Makassar
telah pula berkumpul.
Saya sekali lagi memersilakan para peserta
kunjungan duduk dan segera saya buka acara. “Maksud kedatangan kami ke sini
adalah untuk menyambung tali silaturrahim.” Saya mulai dengan basa-basi. Saya
perkenalkan satu persatu rombongan pengunjung. Anggota jemaat Ahmadiyah yang
hadir menyambut sekitar 10 orang.
Setelah dipersilakan, ketua Jemaat Ahmadiyah
Makassar kemudian menyatakan bahwa kunjungan kami adalah suatu kehormatan buat
mereka.Dia berterima kasih. Lalu ia mulai menjelaskan kondisi jemaat Ahmadiyah
Makassar saat ini dan kronologi penyerangan yang berkali-kali menimpa mereka.
Dia menerangkan bagaimana mereka menghadapi situasi yang sulit ketika
segerombolan orang berjubah menyambangi kantor dan masjid mereka. Dia
menceritakan bagaimana mereka berusaha mencari perlindungan kepada polisi. Dia
juga memaparkan status mereka yang legal.
Untuk memperkuat keterangannya, dia meminta
salah satu jemaat Ahmadiyah memutar film penyerbuan itu. Para peserta segera
berkerumun di depan televisi. Pada film itu tampak orang-orang berjubah tanpa
sopan santun berteriak-teriak di depan halaman kantor Ahmadiyah. Mereka
menuntut penutupan kantor dan masjid Ahmadiyah. Beberapa orang yang tak tahu
adat bahkan memanjat papan nama dan menghapus kalimat syahadat yang tertera.
Kalimat syahadat itu kemungkinan besar adalah kalimat yang juga mereka ucapkan
sehari-hari. “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi Muhammad
adalah utusan Allah.” Orang-orang itu terus berteriak-teriak.
Petantang-petenteng mengumbar amarah. Aroma kebencian menyeruak dari mulut mereka.
Ada pula yang menuding-nuding sambil menyemburkan kata “sesat,” “bubarkan.”
Kata-kata itu keluar begitu saja dari lubuk hati yang kotor.
Pada gambar yang lain tampak beberapa jemaat
Ahmadiyah. Wajah-wajah mereka sama dengan wajah-wajah yang sekarang menyambut
kedatangan kami. Mereka berangkulan satu sama lain. Wajah mereka sendu. Ada air
mengalir dari ujung mata mereka. Suara mereka setengah merintih setengah
menghiba. Mereka terus berangkulan. Beberapa personil polisi sedang berusaha
membujuk mereka agar mau meninggalkan tempat. Mereka berkukuh tidak akan
meninggalkan tanah milik mereka. Mereka memohon kepada polisi untuk melindungi
mereka. Beberapa aparat negara itu mulai tak sabar. Mulai ada satu dua polisi
menarik-narik lengan dan baju warga Ahmadiyah. Mereka dievakuasi dari kantor
dan bangunan yang mereka bangun sendiri. Mereka dipaksa aparat negara. Mereka
menangis. Menjerit.
Pemandangan itu sangat berbeda dengan yang
terjadi di luar pagar bangunan. Di situ wajah-wajah beringas para penyerbu
masih saja bebas mengintimidasi. Tak ada polisi yang coba meredam umbar
kebencian itu. Tak ada polisi yang coba menutup mulut mereka. Tak ada polisi
yang coba menarik mereka. Tak ada polisi yang coba menghalau mereka.
Sementara itu… Ah, sudahlah. Ini bukan kali
pertama mereka terusir dari tanah sendiri. Mereka diusir karena ada penyerbu
yang datang. Yang mengusir mereka adalah polisi. Mereka mengalaminya di Jawa
Barat, Banten, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, dan di lain-lain tempat. Di
Makassar sendiri, mereka mengalami intimidasi sejak Januari, Juli dan medio
Agustus 2011.
Maaf, saya agak emosional. Astaghfirullah. Belum selesai betul film berjalan, para
peserta mulai berisik. Mereka bergerombol mengitari anggota-anggota Ahmadiyah.
Dengan senyum yang tak pernah lepas, para anggota Jemaat Ahmadiyah yang malang
itu menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Tentu saja pertanyaan yang paling
banyak muncul adalah seputar kepercayaan mengenai nabi, kitab suci, syahadat,
ada pula tentang arah kiblat. Dengan nada mantap, yang ditanya menjawab bahwa
nabi mereka adalah Muhammad SAW, kitab suci mereka adalah Quran, mereka
mengucapkan syahadat yang sama dengan umumnya umat Islam, dan arah kiblat
mereka adalah ka’bah.
Seorang teman pengunjung berbisik,”masalahnya
bukanlah bahwa anggota-anggota Jemaat Ahmadiyah ini memiliki keyakinan yang
sama dengan umumnya orang Islam. Sekalipun mereka sungguh berbeda, mereka tetap
memiliki hak yang sama untuk berkeyakinan dan beribadah.” Saya mengangguk
setuju.
Beberapa peserta lain mengerubuti seorang
anak berseragam sekolah usia sepuluh tahunan. Ia didampingi ibunya. Macam-macam
pertanyaan muncul. Dijawab singkat oleh sang anak. Dia bersekolah. Dia ingin
seperti anak-anak lain yang menikmati kebebasan bersekolah. Dia belajar mengaji
di masjid itu. Masjid yang kini diberi pita kuning bertulis “dilarang melintas,
garis polisi” di pagarnya.
Pertemuan siang itu dilanjutkan dengan salat
bersama. Para peserta dan jemaat Ahmadiyah berbaur dalam barisan salat. Mereka
bertakbir, rukuk, sujud dan bersimpuh bersama. Pada ritual ini, sama sekali tak
tampak perbedaan.
Seusai salat, kami disuguhi beberapa
penganan. Kami mengucapkan terima kasih. Kami pamit. Beberapa peserta masih
memanfaatkan sisa-sisa waktu untuk kembali berpose. Saya ikut serta. Kami dan
anggota jemaat membaur berpose bersama. Beberapa kali jepretan dalam pelbagai
gaya.
Para peserta sudah mencatat banyak hal. Kami
sadar, anggota jemaat Ahmadiyah juga manusia. Mereka juga adalah warga negara.
***
Hari menjelang petang. Pembicaraan mengenai
Ahmadiyah terhenti. Perhatian kami beralih ke jalan lurus pantai Losari yang
mulai ramai. Sang supir taksi membawa kami terus ke arah Fort Rotterdam.
Benteng tertutup buat pengunjung. Sedang ada perbaikan. Sang supir kemudian
mengarahkan kami ke jalan Nusantara. Lampu-lampu di jalan itu mulai menyala.
Aktivitas malam segera dimulai. Kami belok kanan ke sebuah lorong. Tujuan kami
satu. Membeli oleh-oleh. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar