Selasa, 10 Januari 2012

Tentang Iman dan Anti-Theodise


Tentang Iman dan Anti-Theodise
Evi Rahmawati, STAF JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
PROGRAM LEMBAGA STUDI AGAMA DAN FILSAFAT
Sumber : JIL, 9 Januari 2012


Bagi Moqsith, sikap yang ditampilkan GM melalui patahan-patahan kata yang terkadang muram itu, justru tampak sebagai sebuah upaya untuk mengatasi arogansi manusia dalam membahasakan Tuhan. 

Menurut Moqsith, jika seseorang mengerti bahasa Arab, maka ia akan tahu bahwa arti dari Allahu Akbar bukanlah “Allah maha besar” sebagaimana sering diterjemahkan kebanyakan orang. Allahu Akbar, menurut Moqsith, memiliki arti “Allah lebih besar.” Lantas dengan cergas Moqsith menafsirkan Allahu Akbar sebagai Allah yang lebih besar, termasuk lebih besar dari segala konsep yang dirumuskan manusia tentang-Nya.

“Sang interogator mengambil keputusan: Sri dan si pengkhianat ditelanjangi dan dipukuli. Sri tetap tak mau mengaku. Hari semakin malam. Kedua orang itu pun diikat tergantung di sebatang pohon, dengan kaki hampir menyentuh tanah. Sampai pagi. Tapi tetap saja Sri Ambar tak mengaku. Berhari-hari penyiksaan berlangsung, dan tak ada hasilnya. Opsir di tempat tahanan itu, Acep, memerintahkan seorang petugas menghunjamkan sebilah pisau ke pantat kiri Sri Ambar. Seorang tahanan lain yang melihat itu jatuh pingsan tak tahan melihat begitu banyak darah keluar. Tapi Sri seperti tak merasakan sakit. Ia malah berteriak, “Kamu sadis!”, dan dengan setengah sadar mengatupkan luka tubuhnya itu agar darah tertahan mengalir. Acep tak menghentikan siksaan. Ia memerintahkan si penikam melakukannya sekali lagi di pantat Sri yang kanan. Perempuan setengah baya itu akhirnya pingsan, karena terlalu banyak darah mengalir.” (Petikan dari buku Goenawan Mohamad, Debu, Duka, dsb.: Sebuah Pertimbangan Anti-Theodise)

Siapapun akan terkesiap manakala pekikan Sri Ambar yang diulas begitu lugasnya dalam buku Goenawan Mohamad (selanjutnya disingkat GM) dibacakan Septemmy E. Lakawa dengan khidmat. Maka terpahamilah manakala Septemmy meyakini bahwa kisah ini adalah “penubuhan” dari apa yang disebut sebagai ringkihnya hipotesa akan “kebaikan Tuhan” atau anti-theodise GM. Kisah tersebut menguraikan tentang Sri Ambar, perempuan pesakitan yang mengalami penyiksaan sangat keji dari militer karena dipandang mengkhianati Pancasila dengan statusnya sebagai aktivis Gerwani. Anti-theodise yang merupakan gejala pesimisme akan kemahabijakan dan adilnya Tuhan itu dapat kita iyakan (afirmasi) melalui jerit pedih Sri Ambar dalam menjalani kisah tragisnya. Apalagi, ketika Septemmy dengan lirih membacakan Chairil Anwar tentang Isa yang seolah ia dengar melalui kisah tersebut dalam debu, duka, dsb.:

ISA
Itu Tubuh
Mengucur darah
Mengucur darah
Roboh
Patah
Mendampar Tanya: aku salah?
Kulihat Tubuh mengucur darah
Aku berkaca dalam darah
Terbayang terang di mata masa
Bertukar rupa ini segera
Mengatup luka
Aku bersuka
Itu Tubuh
Mengucur darah
Mengucur darah

“Anti-theodise bukanlah persoalan yang benar-benar baru dalam tradisi Kristiani”, demikan ungkap Septemmy, yang menjadi pembicara dalam diskusi dengan tajuk, Iman dan Anti-Theodise. Diskui ini diselenggarakan di Serambi Salihara dalam rangka membedah dua buku GM, Debu, Duka, dsb. dan Teks dan Iman pada 14 Desember 2011 lalu. Bagi Septemmy, membedah buku GM memiliki tingkat kesulitan tersendiri, terutama dalam menjabarkan kata-kata rumit yang kerap dimunculkannya. Karenanya, Septemmy mencoba bersikap rileks dengan membiarkan buku tersebut membedah dirinya sendiri, lepas dari segala keidentikan penulisnya dan latar belakang Septemmy sebagai pembacanya, sehingga, dengan sendirinya buku tersebut membantu Septemmy bahkan membedah teologinya sendiri (Protestan).

“Yang khas dari Goenawan Mohamad ketika membicarakan anti-theodise adalah caranya menulis melalui bahasa, syair, puisi, disertai ungkapan-ungkapan yang seringkali membuat orang tercengang sembari bertanya-tanya, apakah kata-kata yang dimunculkannya itu benar-benar ada? Dengan kata lain, GM kerap menghadirkan kata (bahkan memproduksinya, mungkin) yang tak biasa, tak umum di masyarakat,” ungkap Septemmy.
 
Untuk lebih memahami persoalan yang disingkapkan melalui buku GM tersebut, Septemmy mengawali langkahnya dengan bertolak dari pertanyaan-pertanyaan mengenai eksistensi teologi Kristiani tanpa theodise serta kemungkinan kebermaknaan iman seorang Kristen, khususnya Protestan, yang mendasarkan diri pada sola scriptura, sola fide, dan sola gratia. Pertanyaannya: Apa artinya teologi Kristen, khususnya teologi Protestan dalam garis Calvinisme, tanpa theodise? Apa artinya membicarakan teologi tanpa bisa mengasumsikan bahwa Tuhan itu adil? Apa artinya jika dalam tradisi Calvinisme menjadi tidak mungkin lagi membicarakan Tuhan itu maha kuasa mengatasi segala sesuatunya di hadapan realitas penderitaan? Lantas, apakah iman orang Kristen yang sifatnya tekstual (sola scriptura) masih bisa bermakna tanpa theodise?

Bertolak dari pertanyaan-pertanyaan tersebut Septemmy akhirnya berpandangan bahwa Goenawan Mohammad membaca teks kitab suci dengan cara berbeda. Sebuah cara yang ingin berkelit dari kepercayaan Leibniz mengenai keadilan Tuhan. Dalam tesisnya di buku tersebut, menurut Septemmy, GM tidak setuju dengan Leibniz yang dengan theodise-nya menyatakan bahwa Tuhan itu adil dan harus dibela sifat keadilannya di hadapan fakta adanya evil (kejahatan dan penderitaan). Tuhan harus diberi maaf sebesar-besarnya, bahkan di hadapan penderitaan yang tidak terperikan. Inilah yang disebut theodise.

Melalui kisah-kisah dan lirih kata yang dihadirkan GM, tidak menutup kemungkinan seorang pembaca akan merasa digiring untuk bertanya-tanya, di manakah letak keadilan Tuhan? Mungkin dari sanalah benih anti-theodise mulai menjangkiti kepercayaan seseorang.

Buku Debu, Duka, dsb. yang ditulis GM terkait dengan pristiwa tsunami Aceh 24 Desember 2004 silam itu merupakan sebuah penolakan atas kepercayaan orang-orang masa itu yang mengasalkan bencana besar tersebut sebagai akibat dari ketidakpatuhan manusia atas ketentuan Tuhan. Dengan sendirinya tesis yang dibangun tersebut membentuk sebuah kepercayaan theodise yang ingin disangkal oleh GM.
Dalam hal ini, kemudian Septemmy mengambil posisi tersendiri: tetap mengusulkan “middle-space” yang dengan begitu bisa mempertimbangkan akibat dari konstruk yang ingin dibangun anti-theodise; betapa iman dan teks telah demikian ditutup. Lantas Septemmy mengutip GM:
 
“Maka lebih baik kita hidup dengan keterbatasan karena bahasa, dengan kata lain hidup dengan janji. Kelak ada Makna Terang yang akan datang –betapapun mustahil. Hidup dengan janji berarti hidup dalam iman, tetapi bukan iman pada Tuhan yang telah selesai diketahui.”

Bagi Septemmy, kata-kata GM yang menjadi favoritnya itu menggiringnya pada satu kesimpulan: teologi harus berganti fungsi, dia bukan lagi seperti hakim di ruang sidang yang mengontrol apa yang benar, apa yang salah. Agama harus berganti fungsi. Ini merupakan paradigma pergeseran dalam teologi Kristen, yang semula berujud truth menjadi good lalu bergeser pada ruang-ruang yang disebut beauty, mystic-poetic. 

“Karena itulah dua buku GM tengah membedah teologi saya,” ujar Septemmy.
Septemmy menutup pembicaraannya dengan kisah Maria Magdalena pada hari kebangkitan Yesus. Ketika Maria Magdalena melihat kehadiran Yesus, nalurinya menuntun ia untuk memeluk Yesus, namun kalimat pertama yang diungkapkan Yesus justru: “Jangan sentuh aku!”
 
“Bagi saya ini adalah sebuah penolakan terhadap teologi. Teologi selalu berusaha menangkap, merumuskan. Agama selalu berusaha mengungkung yang sangat transenden itu, lalu mengatur sedemikian rupa. Padahal pasca kebangkitan, pesan Sang Ilahi justru: Jangan, jangan sentuh aku!
 
“Ini iman dalam kekurangan dan keda’ifan –ikhtiar yang tak henti-hentinya, sabar dan tawakal, karena Tuhan adalah Tuhan yang akan datang, Tuhan dalam ketidakhadiran,” demikian Septemmy mengutip kalimat GM. Ini adalah teologi via negativa. Kerinduan untuk menyentuh Tuhan, namun penolakannya untuk disentuh dapat menjadi metafor yang lain tentang teologi, sebagai ekspresi dari rindu rasa, rindu rupa yang ditolak oleh Tuhan justru di dalam kehadiran Tuhan sebagai saksi atas karibnya kematian dengan kehidupan.
 
“Jika demikian, maka dalam berteologi saya mesti belajar lagi bertutur dalam bahasa yang retak, bahasa yang rindu untuk menyentuh Tuhan yang hidup. Itu tubuh mengucur darah, “demikian Septemmy menutup ulasannya yang sangat khidmat dalam diskusi tersebut, sebagaimana sang pendeta menyampaikan khutbahnya.

Pada kesempatan itu, hadir pula pembicara selanjutnya, Abdul Moqsith Ghazali, yang memperkuat ulasan Septemmy tentang ketaktersentuhan Tuhan oleh realitas bahasa. Sembari mengungkapkan kekagumannya atas GM yang selalu memberi titik tekan berbeda ketika membicarakan konsep ketuhanan, Moqsith merujuk pemikiran GM dalam tulisan GM tentang konsep keimanan yang disodorkan al-Ghazali. Bagi Moqsith, GM selalu memiliki pandangan tersendiri manakala mengulik konsep ketuhanan yang disuguhkan al-Ghazali, yang karenanya orang bisa memahami mengapa kemudian GM lebih memilih sikap seperti al-Ghazali dan al-Hallaj ketimbang Ibn Arabi yang sibuk mengkonseptualisasikan Tuhan secara rasional.

Soal pembahasaan Tuhan itu, kemudian Moqsith mengutip GM: “Maka tiap kali Tuhan kita sebut, maka sebenaranya kita tak menyebutnya.” Ini selaras dengan kutipan lain yang berasal dari sebuah Sutra dalam kepercayaan Budha.  Moqsith mengutip demikian: “Budha bukanlah Budha, dan sebab itu ia Budha.” Ketaktersentuhan Tuhan oleh bahasa memang kerap kita baca pada tulisan-tulisan GM yang tersebar luas selama ini. Termasuk dalam buku ini, inti dari anti-theodise yang ingin dikemukakan GM tampaknya berlabuh pada sebuah gerak yang lebih leluasa dalam menangguhkan makna Tuhan yang paten, yang telah selesai. Kita bisa melihatnya dari ungkapan jujur GM: ”Konsepsi manusia tentang Tuhan adalah fantasi manusia tentang Tuhan itu sendiri.”

Bagi Moqsith, sikap yang ditampilkan GM melalui patahan-patahan kata yang terkadang muram itu, justru tampak sebagai sebuah upaya untuk mengatasi arogansi manusia dalam membahasakan Tuhan.  ”Ketika kita menyadari bahwa Budha atau Tuhan yang kita acu dalam kata itu sebenarnya tak terwakili oleh kata tersebut, maka kita pun akan menyadari tentang Sang Budha dan Sang Tuhan yang tak terwakili olehnya. Ini berarti bahwa energi para filsuf dan para teolog dalam merumuskan sebuah konsepsi tentang ketuhanan memang tak akan pernah selesai, karena kata-kata selalu terbatas untuk menjangkau kemisteriusan Tuhan,” demikian Moqsith menambahkan.
 
Lalu, telah menjadi khas Moqsith membawa persoalan pada akar bahasanya, terutama persoalan dalam Islam yang dirujukkan ke dalam bahasa Arab. Mencoba mengaitkan dengan theodise, Moqsith memberi paparan mengenai sebuah kata yang begitu agung dan teramat sering diserukan orang Islam: Allahu Akbar. Menurut Moqsith, jika seseorang mengerti bahasa Arab, maka ia akan tahu bahwa arti dari Allahu Akbar bukanlah “Allah maha besar” sebagaimana sering diterjemahkan kebanyakan orang. Allahu Akbar, menurut Moqsith, memiliki arti “Allah lebih besar.” Lantas dengan cergas Moqsith menafsirkan Allahu Akbar sebagai Allah yang lebih besar, termasuk lebih besar dari segala konsep yang dirumuskan manusia tentang-Nya.

Di samping itu, Moqsith memaparkan ayat al-Quran yang mengungkapkan bahwa kata Allah sendiri sesungguhnya telah mengakar kuat dalam tradisi ketuhanan masyarakat Arab, jauh sebelum Islam datang: “Wa la in sa-altahum man khalaqa as-samawati wal ardla, la yaqulunnallah”  (Apabila kamu, Muhammad, bertanya kepada masyarakat sebelum Islam, siapa yang menciptakan langit dan bumi, pastilah mereka akan menjawab: Alah). Panggilan untuk Tuhan masyarakat Arab pada masa itu adalah Alah, belum ditebalkan: Allah. Lalu, Moqsith menambahkan, ketika kemudian Islam datang, 

Muhammad menghendaki penggunaan kata lain untuk menyebut Tuhan, lantas turun wahyu yang juga masih menyebut Alah. Hingga Umar bin Khattab mengajukan keberatan mengenai kesamaan nama Tuhannya dengan Tuhan yang disembah umat lain, maka berubahlah kata Alah yang dibaca tipis tersebut menjadi Allah. Lalu, pada perkembangan selanjutnya, dalam al-Quran muncul kata al-Rahman. Menjawab keheranan masyarakat akan nama Tuhan yang berganti-ganti itu, maka turunlah ayat: “Qul id’ullaha aw id’urrahman” (berdoalah dengan menyebut nama Allah atau al-Rahman). “Kalau begitu,” demikian Moqsith menegaskan, “kata Allah sendiri itu sebenarnya adalah ruang kosong, yang makna dan pengertiannya sangat ditentukan oleh subjek pembaca itu sendiri, tergantung bagaimana kita mengisinya.”

Demikian juga, dalam pandangan Moqsith, Tuhan bisa pula menghadirkan diri sebagai yang antagonis, Tuhan yang maha ganas; al-jabbar al-muntaqim, syadidul ‘iqab. Ini adalah Tuhan yang hadir pada Bani Israil misalnya, atau Tuhan yang hadir pada nabi-nabi sebelum Islam, yang ketika menemukan manusia melanggar ketentuan-Nya, maka serta merta mereka dijungkirbalikkan, dibumihanguskan. “Oleh karena itu, Tuhan kemudian bergerak di antara dua ketegangan, antara hadir-Nya sebagai yang protagonis dan antagonis,” urai Moqsith.
 
Karena keterbatasan bahasa yang dimiliki manusia, maka tak mengherankan jika pemaknaan Tuhan yang merupakan hasil dari perjumpaan akal manusia dengan bahasa itu pun melahirkan pengertian yang berbeda-beda. Dengan kata lain, pemaknaan Tuhan kemudian menjadi sangat subjektif. Jika Tuhan Rabiah Adawiyah adalah Tuhan yang penuh cinta, lain halnya dengan Tuhan yang hadir di antara para ahli fikih yang terkesan ganas dan buas. Tuhan yang seakan-akan hadir untuk memberikan sanksi kepada manusia yang tidak memenuhi kewajiban-Nya. “Tetapi,” lanjut Moqsith, “selalu para sufi menghadirkan jenis Tuhan yang lain. Begitu pula para teolog. Yakni, bukan Tuhan yang buas, tetapi Tuhan yang penuh kasih dan penyayang.

Karena itulah, kembali Moqsith menegaskan, bahwa Tuhan tidak bisa dirumuskan dan dikerucutkan maknanya melalui proses pembahasaan. Ia mengamini ungkapan GM, “Masalah bahasa itulah yang membuat aqidah dan teologi menjadi problematik.” Moqsith pun mengutip Al-Busthamy yang menyatakan: “Taubatun nas min dzunubihim, wa taubaty min qauli la ilaha illa allah, li anna allaha kharijun ‘an al hurufi wa al-alat.” (Manusia lumrah bertaubat dari dosa-dosanya. Tetapi aku [Al-Busthami] bertaubat dari perkataan la ilaha illa allah). Karena begitu kita mengkonseptualisasikan tuhan ke dalam sebuah kata, maka sebenarnya allah, dzat yang tak bernama itu, telah keluar dari kata-kata itu. Karenanya, bagi Moqsith, mengkonseptualisasikan Tuhan ke dalam sebuah kata, sebuah bahasa, hanya akan membatasi Tuhan itu sendiri, sebagaimana termaktub dalam hadis qudsi, Kuntu kanzan makhfiyan (Aku adalah khazanah kesunyian).

Moqsith menutup ulasannya dengan mensarikan ajaran Islam yang teramat luhur, jika dipahami dan dihayati dengan baik pula: Islam menganjurkan agar umat muslim membaca bismillahirrahmanirrahim dalam memulai segala aktivitasnya. Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan penyayang, dengan begitu, orang Islam yang baik tidak akan menggunakan kekerasan atas nama Tuhan, karena Tuhan kemudian dipahami sebagai yang maha pengasih dan penyayang. Oleh karena itu, umat Islam yang menggunakan kekerasan atas nama Tuhan, maka Tuhan mereka itu bukanlah arrahman dan arrahim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar