Tentang
Iman dan Anti-Theodise
Evi Rahmawati, STAF JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
PROGRAM LEMBAGA STUDI
AGAMA DAN FILSAFAT
Sumber
: JIL, 9 Januari 2012
Bagi
Moqsith, sikap yang ditampilkan GM melalui patahan-patahan kata yang terkadang
muram itu, justru tampak sebagai sebuah upaya untuk mengatasi arogansi manusia
dalam membahasakan Tuhan.
Menurut
Moqsith, jika seseorang mengerti bahasa Arab, maka ia akan tahu bahwa arti dari
Allahu Akbar bukanlah “Allah maha besar” sebagaimana sering diterjemahkan
kebanyakan orang. Allahu Akbar, menurut Moqsith, memiliki arti “Allah lebih
besar.” Lantas dengan cergas Moqsith menafsirkan Allahu Akbar sebagai Allah
yang lebih besar, termasuk lebih besar dari segala konsep yang dirumuskan
manusia tentang-Nya.
“Sang interogator mengambil keputusan: Sri
dan si pengkhianat ditelanjangi dan dipukuli. Sri tetap tak mau mengaku. Hari
semakin malam. Kedua orang itu pun diikat tergantung di sebatang pohon, dengan
kaki hampir menyentuh tanah. Sampai pagi. Tapi tetap saja Sri Ambar tak
mengaku. Berhari-hari penyiksaan berlangsung, dan tak ada hasilnya. Opsir di
tempat tahanan itu, Acep, memerintahkan seorang petugas menghunjamkan sebilah
pisau ke pantat kiri Sri Ambar. Seorang tahanan lain yang melihat itu jatuh
pingsan tak tahan melihat begitu banyak darah keluar. Tapi Sri seperti tak
merasakan sakit. Ia malah berteriak, “Kamu sadis!”, dan dengan setengah sadar
mengatupkan luka tubuhnya itu agar darah tertahan mengalir. Acep tak
menghentikan siksaan. Ia memerintahkan si penikam melakukannya sekali lagi di
pantat Sri yang kanan. Perempuan setengah baya itu akhirnya pingsan, karena
terlalu banyak darah mengalir.” (Petikan dari buku Goenawan Mohamad, Debu,
Duka, dsb.: Sebuah Pertimbangan Anti-Theodise)
Siapapun akan terkesiap manakala pekikan Sri
Ambar yang diulas begitu lugasnya dalam buku Goenawan Mohamad (selanjutnya
disingkat GM) dibacakan Septemmy E. Lakawa dengan khidmat. Maka terpahamilah
manakala Septemmy meyakini bahwa kisah ini adalah “penubuhan” dari apa yang
disebut sebagai ringkihnya hipotesa akan “kebaikan Tuhan” atau anti-theodise
GM. Kisah tersebut menguraikan tentang Sri Ambar, perempuan pesakitan yang
mengalami penyiksaan sangat keji dari militer karena dipandang mengkhianati
Pancasila dengan statusnya sebagai aktivis Gerwani. Anti-theodise yang
merupakan gejala pesimisme akan kemahabijakan dan adilnya Tuhan itu dapat kita
iyakan (afirmasi) melalui jerit pedih Sri Ambar dalam menjalani kisah
tragisnya. Apalagi, ketika Septemmy dengan lirih membacakan Chairil Anwar
tentang Isa yang seolah ia dengar melalui kisah tersebut dalam debu, duka,
dsb.:
ISA
Itu Tubuh
Mengucur darah
Mengucur darah
Roboh
Patah
Mendampar Tanya: aku salah?
Itu Tubuh
Mengucur darah
Mengucur darah
Roboh
Patah
Mendampar Tanya: aku salah?
Kulihat Tubuh mengucur darah
Aku berkaca dalam darah
Terbayang terang di mata masa
Bertukar rupa ini segera
Mengatup luka
Aku bersuka
Itu Tubuh
Mengucur darah
Mengucur darah
Aku berkaca dalam darah
Terbayang terang di mata masa
Bertukar rupa ini segera
Mengatup luka
Aku bersuka
Itu Tubuh
Mengucur darah
Mengucur darah
“Anti-theodise bukanlah persoalan yang
benar-benar baru dalam tradisi Kristiani”, demikan ungkap Septemmy, yang
menjadi pembicara dalam diskusi dengan tajuk, Iman dan Anti-Theodise. Diskui
ini diselenggarakan di Serambi Salihara dalam rangka membedah dua buku GM,
Debu, Duka, dsb. dan Teks dan Iman pada 14 Desember 2011 lalu. Bagi Septemmy,
membedah buku GM memiliki tingkat kesulitan tersendiri, terutama dalam
menjabarkan kata-kata rumit yang kerap dimunculkannya. Karenanya, Septemmy
mencoba bersikap rileks dengan membiarkan buku tersebut membedah dirinya
sendiri, lepas dari segala keidentikan penulisnya dan latar belakang Septemmy
sebagai pembacanya, sehingga, dengan sendirinya buku tersebut membantu Septemmy
bahkan membedah teologinya sendiri (Protestan).
“Yang khas dari Goenawan Mohamad ketika
membicarakan anti-theodise adalah caranya menulis melalui bahasa, syair, puisi,
disertai ungkapan-ungkapan yang seringkali membuat orang tercengang sembari bertanya-tanya,
apakah kata-kata yang dimunculkannya itu benar-benar ada? Dengan kata lain, GM
kerap menghadirkan kata (bahkan memproduksinya, mungkin) yang tak biasa, tak
umum di masyarakat,” ungkap Septemmy.
Untuk lebih memahami persoalan yang disingkapkan melalui buku GM tersebut,
Septemmy mengawali langkahnya dengan bertolak dari pertanyaan-pertanyaan
mengenai eksistensi teologi Kristiani tanpa theodise serta kemungkinan
kebermaknaan iman seorang Kristen, khususnya Protestan, yang mendasarkan diri
pada sola scriptura, sola fide, dan sola gratia. Pertanyaannya: Apa artinya
teologi Kristen, khususnya teologi Protestan dalam garis Calvinisme, tanpa
theodise? Apa artinya membicarakan teologi tanpa bisa mengasumsikan bahwa Tuhan
itu adil? Apa artinya jika dalam tradisi Calvinisme menjadi tidak mungkin lagi
membicarakan Tuhan itu maha kuasa mengatasi segala sesuatunya di hadapan
realitas penderitaan? Lantas, apakah iman orang Kristen yang sifatnya tekstual
(sola scriptura) masih bisa bermakna tanpa theodise?
Bertolak dari pertanyaan-pertanyaan tersebut
Septemmy akhirnya berpandangan bahwa Goenawan Mohammad membaca teks kitab suci
dengan cara berbeda. Sebuah cara yang ingin berkelit dari kepercayaan Leibniz
mengenai keadilan Tuhan. Dalam tesisnya di buku tersebut, menurut Septemmy, GM
tidak setuju dengan Leibniz yang dengan theodise-nya menyatakan bahwa Tuhan itu
adil dan harus dibela sifat keadilannya di hadapan fakta adanya evil (kejahatan
dan penderitaan). Tuhan harus diberi maaf sebesar-besarnya, bahkan di hadapan
penderitaan yang tidak terperikan. Inilah yang disebut theodise.
Melalui kisah-kisah dan lirih kata yang
dihadirkan GM, tidak menutup kemungkinan seorang pembaca akan merasa digiring
untuk bertanya-tanya, di manakah letak keadilan Tuhan? Mungkin dari sanalah
benih anti-theodise mulai menjangkiti kepercayaan seseorang.
Buku Debu, Duka, dsb. yang ditulis GM terkait
dengan pristiwa tsunami Aceh 24 Desember 2004 silam itu merupakan sebuah
penolakan atas kepercayaan orang-orang masa itu yang mengasalkan bencana besar
tersebut sebagai akibat dari ketidakpatuhan manusia atas ketentuan Tuhan.
Dengan sendirinya tesis yang dibangun tersebut membentuk sebuah kepercayaan
theodise yang ingin disangkal oleh GM.
Dalam hal ini, kemudian Septemmy mengambil posisi tersendiri: tetap mengusulkan “middle-space” yang dengan begitu bisa mempertimbangkan akibat dari konstruk yang ingin dibangun anti-theodise; betapa iman dan teks telah demikian ditutup. Lantas Septemmy mengutip GM:
Dalam hal ini, kemudian Septemmy mengambil posisi tersendiri: tetap mengusulkan “middle-space” yang dengan begitu bisa mempertimbangkan akibat dari konstruk yang ingin dibangun anti-theodise; betapa iman dan teks telah demikian ditutup. Lantas Septemmy mengutip GM:
“Maka lebih baik kita hidup dengan keterbatasan karena bahasa, dengan kata lain
hidup dengan janji. Kelak ada Makna Terang yang akan datang –betapapun
mustahil. Hidup dengan janji berarti hidup dalam iman, tetapi bukan iman pada
Tuhan yang telah selesai diketahui.”
Bagi Septemmy, kata-kata GM yang menjadi
favoritnya itu menggiringnya pada satu kesimpulan: teologi harus berganti
fungsi, dia bukan lagi seperti hakim di ruang sidang yang mengontrol apa yang
benar, apa yang salah. Agama harus berganti fungsi. Ini merupakan paradigma
pergeseran dalam teologi Kristen, yang semula berujud truth menjadi good lalu
bergeser pada ruang-ruang yang disebut beauty, mystic-poetic.
“Karena itulah
dua buku GM tengah membedah teologi saya,” ujar Septemmy.
Septemmy menutup pembicaraannya dengan kisah
Maria Magdalena pada hari kebangkitan Yesus. Ketika Maria Magdalena melihat
kehadiran Yesus, nalurinya menuntun ia untuk memeluk Yesus, namun kalimat
pertama yang diungkapkan Yesus justru: “Jangan sentuh aku!”
“Bagi saya ini adalah sebuah penolakan terhadap teologi. Teologi selalu
berusaha menangkap, merumuskan. Agama selalu berusaha mengungkung yang sangat
transenden itu, lalu mengatur sedemikian rupa. Padahal pasca kebangkitan, pesan
Sang Ilahi justru: Jangan, jangan sentuh aku!
“Ini iman dalam kekurangan dan keda’ifan –ikhtiar yang tak henti-hentinya,
sabar dan tawakal, karena Tuhan adalah Tuhan yang akan datang, Tuhan dalam
ketidakhadiran,” demikian Septemmy mengutip kalimat GM. Ini adalah teologi via
negativa. Kerinduan untuk menyentuh Tuhan, namun penolakannya untuk disentuh
dapat menjadi metafor yang lain tentang teologi, sebagai ekspresi dari rindu
rasa, rindu rupa yang ditolak oleh Tuhan justru di dalam kehadiran Tuhan
sebagai saksi atas karibnya kematian dengan kehidupan.
“Jika demikian, maka dalam berteologi saya mesti belajar lagi bertutur dalam
bahasa yang retak, bahasa yang rindu untuk menyentuh Tuhan yang hidup. Itu
tubuh mengucur darah, “demikian Septemmy menutup ulasannya yang sangat khidmat
dalam diskusi tersebut, sebagaimana sang pendeta menyampaikan khutbahnya.
Pada kesempatan itu, hadir pula pembicara
selanjutnya, Abdul Moqsith Ghazali, yang memperkuat ulasan Septemmy tentang
ketaktersentuhan Tuhan oleh realitas bahasa. Sembari mengungkapkan kekagumannya
atas GM yang selalu memberi titik tekan berbeda ketika membicarakan konsep
ketuhanan, Moqsith merujuk pemikiran GM dalam tulisan GM tentang konsep
keimanan yang disodorkan al-Ghazali. Bagi Moqsith, GM selalu memiliki pandangan
tersendiri manakala mengulik konsep ketuhanan yang disuguhkan al-Ghazali, yang
karenanya orang bisa memahami mengapa kemudian GM lebih memilih sikap seperti
al-Ghazali dan al-Hallaj ketimbang Ibn Arabi yang sibuk mengkonseptualisasikan
Tuhan secara rasional.
Soal pembahasaan Tuhan itu, kemudian Moqsith
mengutip GM: “Maka tiap kali Tuhan kita sebut, maka sebenaranya kita tak
menyebutnya.” Ini selaras dengan kutipan lain yang berasal dari sebuah Sutra
dalam kepercayaan Budha. Moqsith mengutip demikian: “Budha bukanlah
Budha, dan sebab itu ia Budha.” Ketaktersentuhan Tuhan oleh bahasa memang kerap
kita baca pada tulisan-tulisan GM yang tersebar luas selama ini. Termasuk dalam
buku ini, inti dari anti-theodise yang ingin dikemukakan GM tampaknya berlabuh
pada sebuah gerak yang lebih leluasa dalam menangguhkan makna Tuhan yang paten,
yang telah selesai. Kita bisa melihatnya dari ungkapan jujur GM: ”Konsepsi
manusia tentang Tuhan adalah fantasi manusia tentang Tuhan itu sendiri.”
Bagi Moqsith, sikap yang ditampilkan GM
melalui patahan-patahan kata yang terkadang muram itu, justru tampak sebagai sebuah
upaya untuk mengatasi arogansi manusia dalam membahasakan Tuhan. ”Ketika
kita menyadari bahwa Budha atau Tuhan yang kita acu dalam kata itu sebenarnya
tak terwakili oleh kata tersebut, maka kita pun akan menyadari tentang Sang
Budha dan Sang Tuhan yang tak terwakili olehnya. Ini berarti bahwa energi para
filsuf dan para teolog dalam merumuskan sebuah konsepsi tentang ketuhanan
memang tak akan pernah selesai, karena kata-kata selalu terbatas untuk
menjangkau kemisteriusan Tuhan,” demikian Moqsith menambahkan.
Lalu, telah menjadi khas Moqsith membawa persoalan pada akar bahasanya,
terutama persoalan dalam Islam yang dirujukkan ke dalam bahasa Arab. Mencoba
mengaitkan dengan theodise, Moqsith memberi paparan mengenai sebuah kata yang
begitu agung dan teramat sering diserukan orang Islam: Allahu Akbar. Menurut
Moqsith, jika seseorang mengerti bahasa Arab, maka ia akan tahu bahwa arti dari
Allahu Akbar bukanlah “Allah maha besar” sebagaimana sering diterjemahkan
kebanyakan orang. Allahu Akbar, menurut Moqsith, memiliki arti “Allah lebih
besar.” Lantas dengan cergas Moqsith menafsirkan Allahu Akbar sebagai Allah
yang lebih besar, termasuk lebih besar dari segala konsep yang dirumuskan
manusia tentang-Nya.
Di samping itu, Moqsith memaparkan ayat
al-Quran yang mengungkapkan bahwa kata Allah sendiri sesungguhnya telah
mengakar kuat dalam tradisi ketuhanan masyarakat Arab, jauh sebelum Islam
datang: “Wa la in sa-altahum man khalaqa as-samawati wal ardla, la
yaqulunnallah” (Apabila kamu, Muhammad, bertanya kepada masyarakat
sebelum Islam, siapa yang menciptakan langit dan bumi, pastilah mereka akan
menjawab: Alah). Panggilan untuk Tuhan masyarakat Arab pada masa itu adalah
Alah, belum ditebalkan: Allah. Lalu, Moqsith menambahkan, ketika kemudian Islam
datang,
Muhammad menghendaki penggunaan kata lain untuk menyebut Tuhan, lantas
turun wahyu yang juga masih menyebut Alah. Hingga Umar bin Khattab mengajukan
keberatan mengenai kesamaan nama Tuhannya dengan Tuhan yang disembah umat lain,
maka berubahlah kata Alah yang dibaca tipis tersebut menjadi Allah. Lalu, pada
perkembangan selanjutnya, dalam al-Quran muncul kata al-Rahman. Menjawab
keheranan masyarakat akan nama Tuhan yang berganti-ganti itu, maka turunlah
ayat: “Qul id’ullaha aw id’urrahman” (berdoalah dengan menyebut nama Allah atau
al-Rahman). “Kalau begitu,” demikian Moqsith menegaskan, “kata Allah sendiri
itu sebenarnya adalah ruang kosong, yang makna dan pengertiannya sangat
ditentukan oleh subjek pembaca itu sendiri, tergantung bagaimana kita
mengisinya.”
Demikian juga, dalam pandangan Moqsith, Tuhan
bisa pula menghadirkan diri sebagai yang antagonis, Tuhan yang maha ganas;
al-jabbar al-muntaqim, syadidul ‘iqab. Ini adalah Tuhan yang hadir pada Bani
Israil misalnya, atau Tuhan yang hadir pada nabi-nabi sebelum Islam, yang
ketika menemukan manusia melanggar ketentuan-Nya, maka serta merta mereka
dijungkirbalikkan, dibumihanguskan. “Oleh karena itu, Tuhan kemudian bergerak
di antara dua ketegangan, antara hadir-Nya sebagai yang protagonis dan
antagonis,” urai Moqsith.
Karena keterbatasan bahasa yang dimiliki manusia, maka tak mengherankan jika
pemaknaan Tuhan yang merupakan hasil dari perjumpaan akal manusia dengan bahasa
itu pun melahirkan pengertian yang berbeda-beda. Dengan kata lain, pemaknaan
Tuhan kemudian menjadi sangat subjektif. Jika Tuhan Rabiah Adawiyah adalah
Tuhan yang penuh cinta, lain halnya dengan Tuhan yang hadir di antara para ahli
fikih yang terkesan ganas dan buas. Tuhan yang seakan-akan hadir untuk
memberikan sanksi kepada manusia yang tidak memenuhi kewajiban-Nya. “Tetapi,”
lanjut Moqsith, “selalu para sufi menghadirkan jenis Tuhan yang lain. Begitu
pula para teolog. Yakni, bukan Tuhan yang buas, tetapi Tuhan yang penuh kasih
dan penyayang.
Karena itulah, kembali Moqsith menegaskan,
bahwa Tuhan tidak bisa dirumuskan dan dikerucutkan maknanya melalui proses
pembahasaan. Ia mengamini ungkapan GM, “Masalah bahasa itulah yang membuat
aqidah dan teologi menjadi problematik.” Moqsith pun mengutip Al-Busthamy yang
menyatakan: “Taubatun nas min dzunubihim, wa taubaty min qauli la ilaha illa
allah, li anna allaha kharijun ‘an al hurufi wa al-alat.” (Manusia lumrah
bertaubat dari dosa-dosanya. Tetapi aku [Al-Busthami] bertaubat dari perkataan
la ilaha illa allah). Karena begitu kita mengkonseptualisasikan tuhan ke dalam
sebuah kata, maka sebenarnya allah, dzat yang tak bernama itu, telah keluar
dari kata-kata itu. Karenanya, bagi Moqsith, mengkonseptualisasikan Tuhan ke
dalam sebuah kata, sebuah bahasa, hanya akan membatasi Tuhan itu sendiri,
sebagaimana termaktub dalam hadis qudsi, Kuntu kanzan makhfiyan (Aku adalah
khazanah kesunyian).
Moqsith menutup ulasannya dengan mensarikan
ajaran Islam yang teramat luhur, jika dipahami dan dihayati dengan baik pula:
Islam menganjurkan agar umat muslim membaca bismillahirrahmanirrahim dalam
memulai segala aktivitasnya. Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan
penyayang, dengan begitu, orang Islam yang baik tidak akan menggunakan
kekerasan atas nama Tuhan, karena Tuhan kemudian dipahami sebagai yang maha pengasih
dan penyayang. Oleh karena itu, umat Islam yang menggunakan kekerasan atas nama
Tuhan, maka Tuhan mereka itu bukanlah arrahman dan arrahim. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar