Salah
Itu Manusiawi
Liek Wilardjo, DOSEN UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
(UKSW) SALATIGA
Sumber
: SUARA MERDEKA, 2 Januari 2012
KONON, dalam pandangan kebudayaan
Yunani Kuno, pengetahuan dan nilai-nilai itu berkedudukan terpadu dan
sederajat. Begitu pula dalam kebudayaan Timur pada zaman dulu. Tokoh
pewayangan, Resi Bisma, mumpuni baik dalam kedigdayaan dan siasat perang,
maupun dalam kebatinan dan perikemanusiaan. Kong Hu Cu (Konfucius) —kadang
hanya disebut Kongcu— adalah tokoh Sung yang berasal dari keluarga melarat (551-479
SM) dan kemudian menjadi negarawan yang hebat luar biasa, ya dalam akal budi,
ya dalam hati-nurani. Dalam kebudayaan jadul itu ada keyakinan bahwa kebanyakan
dosa merupakan buah dari ketidaktahuan (ignorance).
Sekarang, pada tahun 2012 kita tidak bersikap sekeras itu dalam menghakimi masalah ketidaktahuan. Kesalahan yang tidak disengaja, dan semata-mata akibat ketidaktahuan, dapat kita mengerti. Tetapi kecerobohan karena ketidaktahuan itu tetap saja merupakan kesalahan, dan ada sanksinya. Apalagi kalau kesalahan itu merenggut nyawa. Bahkan, atas kesalahan itu “tak ada ampun bagimu” kalau jatuhnya korban nyawa dan harta benda itu bukan hanya karena ketidaktahuan dan kegegabahan melainkan juga akibat penyimpangan dari spesifikasi teknis dan penurunan mutu bahan dalam suatu proyek pembangunan.
Apakah kesalahan semacam ini yang menyebabkan runtuhnya jembatan gantung di Kutai Kartanegara Kalimantan Timur? Kita tunggu saja hasil penyelidikan atas musibah tersebut. Lewat e-mail saya menerima dari Prof Dr Bambang Hidayat (astronomiwan, anggota dan mantan ketua AIPI) sebuah ungkapan dalam Bahasa Jerman: irren ist menschlich, obwohl manchmal toedlich. Berbuat salah itu manusiawi, kendati terkadang fatal. Musibah jembatan gantung Mahakam itu membuktikan kebenaran ungkapan ini.
Kita masih bersyukur; untung “hanya” jembatan gantung. Apa jadinya kalau yang rontok itu PLTN?!
Sikap terhadap Nuklir
Tetapi kemungkinan terjadinya musibah PLTN itu seakan-akan dinafikan oleh mereka yang sedemikian getol mempromosikan pembangunan PLTN di daerah yang “bebas” gempa. Konon dua kabupaten di Bangka “berlomba” menawarkan calon tapak untuk pembangunan PLTN Indonesia untuk kali pertama, meskipun rencana itu ditentang oleh rakyat. Masyarakat Muntok (Bangka Barat) menolak rencana pembangunan PLTN. Masyarakat Desa Rajik (Bangka Selatan) pun menentang keinginan bupatinya terkait dengan pembangkitan energi tersebut.
Konon tersedia dana Rp 400 miliar untuk menyosialisasikan energi nuklir, termasuk PLTN. Terkesan bahwa sosialisasi itu tidak berimbang karena memberat ke posisi pro. Tengok saja iklan di media. Musibah Fukushima Daiichi tidak menyurutkan niat mereka yang sangat mendambakan PLTN.
Pak Budi Sudarsono adalah ahli nuklir yang pernah menduduki posisi nomor 2 di Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Dulu, ketika badan itu masih disebut Lembaga Tenaga Atom (LTA) di bawah pimpinan Prof Dr GA Siwabessy, saya pernah belajar fisika nuklir dari Pak Budi Sudarsono. Waktu itu LTA mendatangkan ahli nuklir dari Oak Ridge National Laboratory (ORNL), yakni Dr Dahl, untuk suatu program pelatihan. Dari pihak LTA, yang mendampinginya adalah Pak Budi Sudarsono. Bersama dengan beberapa teman dari UGM dan ITB, saya menjadi peserta pelatihan itu.
Putra diplomat dan pahlawan (Dr Soedarsono), serta ahli nuklir lulusan Massachusetts Institute of Tecnology (MIT) termasuk protagonis PLTN yang paling getol. Dia mendukung go nuclear sebab konon menurut Beliau yang salah dalam musibah Fukushima itu bukan teknologi PLTN-nya.
Musibah itu terjadi karena ahli-ahli nuklir di Jepang yang membangun PLTN itu tidak mengira bahwa kekuatan gempa yang menimpa PLTN itu akan sedemikian hebatnya hingga memorakporandakan konstruksi reaktornya. Jadi yang salah bukan PLTN dan ahli nuklirnya.
Kelihatannya ahli-ahli nuklir Jepang sendiri tidak mencari kambing hitam. Mereka (dan rakyat Jepang) menerima musibah itu dengan tawakal, dan berusaha sebisa-bisanya untuk memitigasi akibat musibah tersebjut. Sikap dan semangat mereka pantas kita acungi jempol. ●
Sekarang, pada tahun 2012 kita tidak bersikap sekeras itu dalam menghakimi masalah ketidaktahuan. Kesalahan yang tidak disengaja, dan semata-mata akibat ketidaktahuan, dapat kita mengerti. Tetapi kecerobohan karena ketidaktahuan itu tetap saja merupakan kesalahan, dan ada sanksinya. Apalagi kalau kesalahan itu merenggut nyawa. Bahkan, atas kesalahan itu “tak ada ampun bagimu” kalau jatuhnya korban nyawa dan harta benda itu bukan hanya karena ketidaktahuan dan kegegabahan melainkan juga akibat penyimpangan dari spesifikasi teknis dan penurunan mutu bahan dalam suatu proyek pembangunan.
Apakah kesalahan semacam ini yang menyebabkan runtuhnya jembatan gantung di Kutai Kartanegara Kalimantan Timur? Kita tunggu saja hasil penyelidikan atas musibah tersebut. Lewat e-mail saya menerima dari Prof Dr Bambang Hidayat (astronomiwan, anggota dan mantan ketua AIPI) sebuah ungkapan dalam Bahasa Jerman: irren ist menschlich, obwohl manchmal toedlich. Berbuat salah itu manusiawi, kendati terkadang fatal. Musibah jembatan gantung Mahakam itu membuktikan kebenaran ungkapan ini.
Kita masih bersyukur; untung “hanya” jembatan gantung. Apa jadinya kalau yang rontok itu PLTN?!
Sikap terhadap Nuklir
Tetapi kemungkinan terjadinya musibah PLTN itu seakan-akan dinafikan oleh mereka yang sedemikian getol mempromosikan pembangunan PLTN di daerah yang “bebas” gempa. Konon dua kabupaten di Bangka “berlomba” menawarkan calon tapak untuk pembangunan PLTN Indonesia untuk kali pertama, meskipun rencana itu ditentang oleh rakyat. Masyarakat Muntok (Bangka Barat) menolak rencana pembangunan PLTN. Masyarakat Desa Rajik (Bangka Selatan) pun menentang keinginan bupatinya terkait dengan pembangkitan energi tersebut.
Konon tersedia dana Rp 400 miliar untuk menyosialisasikan energi nuklir, termasuk PLTN. Terkesan bahwa sosialisasi itu tidak berimbang karena memberat ke posisi pro. Tengok saja iklan di media. Musibah Fukushima Daiichi tidak menyurutkan niat mereka yang sangat mendambakan PLTN.
Pak Budi Sudarsono adalah ahli nuklir yang pernah menduduki posisi nomor 2 di Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Dulu, ketika badan itu masih disebut Lembaga Tenaga Atom (LTA) di bawah pimpinan Prof Dr GA Siwabessy, saya pernah belajar fisika nuklir dari Pak Budi Sudarsono. Waktu itu LTA mendatangkan ahli nuklir dari Oak Ridge National Laboratory (ORNL), yakni Dr Dahl, untuk suatu program pelatihan. Dari pihak LTA, yang mendampinginya adalah Pak Budi Sudarsono. Bersama dengan beberapa teman dari UGM dan ITB, saya menjadi peserta pelatihan itu.
Putra diplomat dan pahlawan (Dr Soedarsono), serta ahli nuklir lulusan Massachusetts Institute of Tecnology (MIT) termasuk protagonis PLTN yang paling getol. Dia mendukung go nuclear sebab konon menurut Beliau yang salah dalam musibah Fukushima itu bukan teknologi PLTN-nya.
Musibah itu terjadi karena ahli-ahli nuklir di Jepang yang membangun PLTN itu tidak mengira bahwa kekuatan gempa yang menimpa PLTN itu akan sedemikian hebatnya hingga memorakporandakan konstruksi reaktornya. Jadi yang salah bukan PLTN dan ahli nuklirnya.
Kelihatannya ahli-ahli nuklir Jepang sendiri tidak mencari kambing hitam. Mereka (dan rakyat Jepang) menerima musibah itu dengan tawakal, dan berusaha sebisa-bisanya untuk memitigasi akibat musibah tersebjut. Sikap dan semangat mereka pantas kita acungi jempol. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar