Tangan
Pendek Pemerintah di Bidang Kesehatan
Handrawan Nadesul, DOKTER,
PENGASUH RUBRIK KESEHATAN, PENULIS BUKU,
DAN MOTIVATOR KESEHATAN
Sumber
: KORAN TEMPO, 2 Januari 2012
Pembangunan kesehatan kita belum selesai. Kita melihat
penyelesaian masalah kesehatan rakyat yang sudah kecukupan makan saja masih
menggantung. Di kalangan rakyat yang belum tuntas melawan kemiskinan
strukturalnya, apalagi. Belum tentu setiap kali sakit mereka mampu berobat.
Kondisi mereka masih membuat miris. Ketika sehat, mereka menunggu sakit. Dan
ketika sakit, mungkin tinggal menunggu ajal.
Kebanyakan penyakit--kalau bukan semua--sebetulnya tak
perlu terjadi kalau masyarakat diberi penyuluhan. Ketika anggaran kesehatan
masih menjadi dalih beratnya membuat rakyat jadi sehat, upaya pencegahan
penyakit sejatinya ada di barisan paling depan pembangunan kesehatan kita.
Memberdayakan Masyarakat
Ambil contoh kasus diare. Masih tingginya angka diare
menimbulkan dampak sosial yang luas. Selain pada tingkat keluarga, pada
pencapaian target MDGs (millennium development goals), dan sudah barang
tentu pada kualitas indeks manusia (human development index). Angka
diare belum selesai ditekan dalam hitungan sekian dasawarsa. Kita tahu diare
urusan sederhana. Tapi, kalau angkanya masih tak masuk akal, sementara
pembangunan kesehatan berjalan sudah begitu lama, di mana letak salahnya?
Solusi menekan angka diare pada beberapa kasus
sesungguhnya adalah penyuluhan hidup bersih, tentang sanitasi, dan implementasi
ketersediaan air bersih. Tengok rendahnya perilaku hidup bersih anak sekolah,
higiene penjaja makanan, dan kebiasaan salah memilih minuman, yang merupakan
penyebab tak terpisahkan masih tingginya angka diare kita.
Ongkos penyuluhan tak lebih tinggi dibanding apabila
pemerintah harus memikul ongkos berobat diare, selain dampak buruknya terhadap
kesehatan keluarga serta tingginya kematian anak. Paling sedikit sepuluh
penyakit mengintai bila kebiasaan mencuci tangan masyarakat tidak terbentuk.
Ini juga urusan penyuluhan.
Kemunculan kanker banyak disebabkan masyarakat salah
mengkonsumsi. Kelebihan makan daging sama buruknya dengan membanjirnya polusi
udara, air, dan cemaran zat aditif dalam jajanan. Radiasi gelombang
elektromagnetik peralatan elektronik kini sama jahatnya dengan jamu nakal,
produk herbal berbahaya, dalam memicu kemunculan kanker.
Menu masyarakat berkecukupan didominasi menu
berprotein tinggi, misalnya kelebihan daging. Ini menjadi bagian dari gaya
makan orang sekarang. Tanpa disadari, pola makan seperti itu lebih sering
mencetuskan kanker. Anak sekarang lebih memilih ayam goreng, bistik, burger,
dan sosis ketimbang ikan, tempe, tahu, serta sayur asam yang lebih menyehatkan.
Jenis menu "tiger diet" semacam inilah yang menjadikan
generasi sekarang memiliki pola makan yang kian mencemaskan, termasuk
"westernisasi" dalam pola makan. Hal ini tidak hanya bikin anak lebih
tambun, tapi juga menyimpan "bom waktu" bakal meledaknya ragam
penyakit orang modern. Itu sebabnya, penyakit metabolisme, komplotan darah
tinggi, kencing manis, asam urat, ginjal, dan komplikasinya, selain kanker,
kian banyak menimpa serta merenggut kaum berusia muda (premature death).
Pengawasan pemerintah terhadap jajanan nakal dan
segala yang merugikan masyarakat tak cukup panjang untuk menjangkau begitu luas
serta jauhnya wilayah kita. Di kota-kota besar pun masih bebas beredar warung
makan, bahkan restoran, dan kedai yang menjajakan makanan yang belum tentu
seluruhnya menyehatkan, nyaris tanpa pengawasan. Minyak goreng yang tak
menyehatkan, serta cara olah, cara penyajian, dan bahan bakunya yang buruk,
dalam jangka panjang, berpotensi merusak kesehatan konsumen.
Kalau tangan pemerintah begitu pendek untuk mengawasi
segala yang merugikan masyarakat, cara mudah dan sederhana menyelamatkan
masyarakat dari bahaya laten menu serta jajanan tak menyehatkan adalah dengan
memberi penyuluhan agar masyarakat hidup cerdas (sehat). Cerdas memilih makanan
sehat. Cerdas bergaya hidup sehat. Untuk itu, penyuluhan juga menjadi kunci
pamungkasnya.
"Bom waktu" bagi generasi sekarang bukan
cuma akibat mereka tercemar begitu banyak zat berbahaya yang timbul dari tak
sehatnya menu harian, tapi juga makin gampangnya anak ataupun orang dewasa
menjadi gemuk. Kegemukan juga "bom waktu" buat munculnya banyak
penyakit orang sekarang, selain terkait dengan tercetusnya kanker. Tugas
pemerintahlah, dan peranan setiap ibu, untuk menginsafi bahwa gemuk itu penyakit.
Dan tidak gemuk tidak juga kurus adalah target membangun keluarga dan generasi
berkualitas.
Pembodohan Masyarakat
Fokus masalah kesehatan kita ada dua. Masalah terbesar
ada pada empat perlima masyarakat yang masih perlu diberdayakan dalam soal pola
hidup sehat. Seperlima tergolong masyarakat yang sudah berkecukupan dan selalu
bisa berobat setiap kali sakit. Maka, jika kita bicara masalah kesehatan,
sebetulnya pembicaraan akan lebih membahas soal empat perlima masyarakat
ketimbang seperlima yang bisa bebas berobat ke mana saja kapan mereka suka.
Namun, yang terjadi, masyarakat papa memikul masalah
kesehatannya sendiri, selain terbebani oleh akibat kesalahan orang lain yang
lebih mapan. Polusi industri, burger, serta hotdog sudah masuk kampung
dan desa, sehingga masyarakat papa sama-sama memikul risiko kena penyakit orang
berkecukupan dengan kondisi yang berbeda. HIV/AIDS sebagai akibat pola seks
orang kota juga sudah masuk desa.
Di tengah miskinnya wawasan kesehatan masyarakat,
tidak hanya di desa, kalangan berpendidikan juga terkecoh ketika memilih alamat
berobat. Di mata medis, tidak setiap pihak yang mengaku sebagai pengobatan
alternatif layak dipercaya. Dunia medis tidak menafikan pengobatan (terapi) dan
penyembuhan (healing) alternatif. WHO menggariskan mana terapi dan
penyembuhan alternatif yang bisa diterima akal medis, mana yang tidak (complementary
alternatives medicine). Di mata masyarakat negara sedang berkembang seperti
kita, apa saja yang alternatif seakan pasti benar.
Maka segala wujud dan jenis terapi ataupun healing
alternatif subur di sini. Padahal banyak terapi alternatif yang sejatinya tak
masuk nalar medis. Bagaimana mungkin satu bahan berkhasiat, atau satu cara
terapi atau penyembuhan, bisa untuk segala jenis penyakit, padahal setiap
penyakit memiliki mekanisme dan penyebab yang tidak sama. Mana mungkin satu
bahan berkhasiat bisa mengobati darah tinggi sekaligus juga darah rendah,
padahal kedua keadaan itu berbeda mekanismenya di dalam tubuh.
Banyak kasus kanker di Indonesia yang gagal ditolong
dokter karena bertahun-tahun mampir dulu ke "orang pintar". Karena
tak berhasil sembuh, barulah si pasien berobat medis, sedangkan kankernya sudah
berlanjut dan dokter sudah angkat tangan. Ketersesatan berobat yang sama juga
terjadi untuk penyakit lain yang sebetulnya domain dunia medis.
Devisa hilang karena masyarakat yang mampu membayar
berobat ke luar negeri untuk penyakit yang bisa disembuhkan di negeri sendiri,
bukan karena dokter kita dungu. Bobot kerja, rendahnya penghargaan pemerintah
terhadap profesi medis, merongrong praktisi medis sehingga mereka bekerja
kurang profesional. Jika dalam sehari terpaksa memeriksa pasien ratusan agar
bisa hidup dengan profesi dokter, bagaimana bisa melayani secara profesional?
Dokter kita jadi kutu loncat ke banyak tempat praktek supaya bisa punya rumah
dan mobil kecil. Sebab, tanpa itu, citra sebagai seorang dokter menurun.
Pembangunan di Hulu
Untuk mengentaskan itu semua, pembangunan kesehatan
yang khas milik Indonesia sejatinya dimulai di hulu. Dimulai di hulu berarti
memberdayakan masyarakat untuk dapat hidup sehat lewat penyuluhan (komunikasi,
informasi, dan edukasi) sebelum telanjur sakit. Selama pembangunan berkutat di
hilir, anggaran kesehatan tersedot habis buat belanja obat. Sementara itu,
masyarakat tidak bertambah cerdas cara hidupnya.
Pembangunan di hulu
berarti memberi penyuluhan kepada masyarakat untuk mengenal menu bergizi secara
murah dan sederhana; mengajak masyarakat membangun saluran air bersih, selokan,
dan jamban keluarga; ikut menyiangi lingkungan; serta mau ikut imunisasi.
Ongkos untuk itu tak lebih tinggi ketimbang menunggu masyarakat telanjur sakit,
yang sebetulnya tidak perlu ada, dan memberi obat murah serta rumah sakit
gratis. Pembangunan di hulu berarti memberdayakan masyarakat untuk bisa
membatalkan jatuh sakitnya, dan meningkatkan harkat hidup sehatnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar