Selasa, 17 Januari 2012

RUU Ormas dalam Bingkai NKRI


RUU Ormas dalam Bingkai NKRI
Umar Syadat Hasibuan, DOSEN IPDN
Sumber : KOMPAS, 17 Januari 2012


Pascareformasi, publik sering dikejutkan oleh maraknya perilaku anarkistis dari sejumlah ormas yang ada di Indonesia. Publik pun kembali mempertanyakan di mana peran negara.

Tak dapat dimungkiri, pasca- reformasi, posisi dan peran serta kapasitas negara untuk mengevaluasi aktivitas ormas di Indonesia tampaknya masih dipersoalkan. Mengapa negara seakan tak kuasa terhadap aksi anarkistis yang dilakukan sejumlah ormas?

Pada masa Orde Baru, negara dituduh mengooptasi ormas untuk menjaga stabilitas kemapanan rezim politik. Namun, pascareformasi, di tengah menguatnya ruang demokrasi dan kebebasan berekspresi, negara pun ramai-ramai dituduh melalukan pembiaran terhadap aksi anarkistis. Posisi negara terhadap ormas tampak kian dilematis.
Keberadaan ormas memiliki peran penting bagi kelangsungan NKRI. Bahkan, mereka terbukti ikut memiliki andil besar bagi kelahiran NKRI.

Kendati belum memiliki landasan hukum yang jelas, keberadaan ormas selama masa pra-kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan sebelum era demokrasi parlementer tampak memiliki peran penting dalam memperkuat fondasi negara-bangsa. Meski belum diatur dalam UU, keberadaan ormas tampak belum menjadi persoalan krusial di dalam panggung kekuasaan politik.

Rezim Orde Baru kemudian memberikan landasan hukum. Melalui UU No 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), keberadaan mereka pun bahkan mendapatkan sejumlah restriksi. Pada masa tersebut, restriksi ideologi diberlakukan secara ketat melalui asas tunggal Pancasila. Melalui UU tersebut dan PP No 18/1986, pemerintah dapat membekukan pengurus atau pengurus pusat apabila ormas melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum, menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan pemerintah, serta memberikan bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan bangsa dan negara.

Runtuhnya Orde Baru sejak Mei 1998 menjadi pesta kebebasan bagi ormas di Indonesia. Pesta kekebasan ormas pun sering disalahgunakan sebagian kelompok masyarakat. Kerisauan terhadap peran dan posisi ormas pada akhirnya mendorong kegelisahan pemerintah—sebagai salah satu unsur negara—untuk kembali mencari landasan regulasi yang kuat bagi eksistensi ormas di Indonesia. Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengusulkan kepada DPR agar semua ormas terdaftar. Menurut data yang disampaikan Mendagri, saat ini hanya 2.227 ormas yang terdaftar di Kemdagri.

Mengacu data di Kemdagri, terdapat 6.227 ormas yang tersebar di seluruh Indonesia. Artinya, masih banyak ormas yang menjalankan aktivitasnya, tetapi belum terdaftar. Termasuk sekitar 150 ormas asing yang tercatat di Kementerian Luar Negeri, tetapi enggan melaporkan kegiatan mereka kepada pemerintah.

Bayangan Anarkistis

Pascakooptasi negara, keberadaan ormas tampak memasuki dua pola yang kian nyata. Pertama, lepas dari kooptasi negara, sejumlah ormas tampak kian terkooptasi oleh kekuatan elite yang mewarisi Orde Baru. Ketika reformasi berlangsung, sejumlah ormas tampak secara tiba-tiba terbentuk di Jakarta dan menjadi gelombang massa yang hampir ”berbenturan” dengan gerakan mahasiswa dan kelompok demonstran lain.

Kedua, kooptasi dilakukan oleh parpol. Bahkan, tren terakhir, ormas dibentuk sebagai embrio lahirnya partai baru.

Selain arus kooptasi, sejumlah ormas juga jadi aktor perilaku anarkistis, baik terhadap masyarakat maupun ke sejumlah ormas lain. Fenomena ini tak hanya memancing konflik vertikal, tetapi juga mendorong sejumlah potensi konflik horizontal di sejumlah daerah di Indonesia.

Di tengah situasi tersebut, pemerintah dan DPR sedang membahas RUU Ormas untuk menggantikan UU No 8/1985. Langkah ini tepat mengingat pola hubungan dan posisi ormas dengan negara cenderung dilematis.

Pertama, ormas di negeri ini tumbuh dan berkembang dengan entitas yang ambigu dan jauh dari transparansi serta pertanggungjawaban kepada publik. Kedua, regulasi yang baru harus mampu mendorong independensi ormas, baik dari aspek ekonomi maupun politik. Karena itu, arus ketergantungan yang tinggi terhadap anggaran negara ataupun dana internasional serta rendahnya transparansi dan pertanggungjawaban ormas kepada publik sudah saatnya diakhiri.

Regulasi baru harus mampu memberikan kontribusi penting. UU Ormas yang baru harus mampu mengatur ruang lingkup dan definisi ormas secara jelas terkait dengan aspek legal-administratif, termasuk melalui regulasi satu pintu ataupun aspek substantif. Selain itu, definisi ormas juga harus dipertegas, apakah perlu dibedakan dengan LSM atau yayasan, termasuk organisasi amal.

UU Ormas yang baru juga harus memberi payung regulasi terkait dengan mekanisme pemberian sanksi terhadap tindakan anarkistis atau tindakan lain yang merugikan kepentingan publik, yang dilakukan oleh ormas tertentu. Di sini ukurannya tentu tidak lagi didasarkan pada prasangka ideologis yang berbasis nilai-nilai yang bersifat puritan, baik atas nama agama maupun etnis/suku. Akan tetapi, sanksi didasarkan pada indikator yang bersifat universal sebagai wujud penegakan hukum (law enforcement), baik pada level nasional maupun internasional.

Bagaimanapun, keberadaan ormas merupakan elemen penting bagi masa depan NKRI. Bukan tak mungkin ke depan antara ormas dan pemerintah memungkinkan untuk saling bekerja sama dan memberi keuntungan (Lee Wilson, 2011). Kejelasan peran dan posisi pemerintah yang mewakili otoritas negara jelas sangat dibutuhkan untuk tetap menjamin bahwa keberadaan ormas tidak berpotensi merugikan, apalagi membahayakan kenyamanan kehidupan publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar