Selasa, 17 Januari 2012

Aceh Bukan “Lahan Kosong”


Aceh Bukan “Lahan Kosong”
Taufik Al Mubarak, PEKERJA MEDIA; PENULIS BUKU ACEH PUNGO
Sumber : KOMPAS, 17 Januari 2012


Nyawa manusia kembali meregang di Aceh. Aceh bukan lagi tempat yang aman dan damai. Kitab konflik yang ditutup pasca-Nota Kesepahaman (MOU) Helsinki, 15 Agustus 2005, hendak dibuka lagi. Aceh pun dikesankan sebagai lahan kosong yang ditinggalkan pemiliknya.

Sebulan terakhir sudah beberapa kali terjadi aksi penembakan warga. Dimulai dengan penembakan karyawan PT Satya Agung di Geureudong Pase, Aceh Utara, Senin (5/12) dini hari; diikuti penembakan pekerja galian kabel Telkom di Jeumpa, Bireuen, dan penembakan penjual boneka di Banda Aceh, Sabtu (31/1); penembakan warga di Langkahan, Aceh Utara, Minggu (1/1); dan terakhir pekerja bangunan di Simpang Aneuk Galong, Aceh Besar, Kamis (5/1).

Dari beberapa kejadian ini, mayoritas korban adalah etnis Jawa. Kita tidak bisa menduga apa alasan pelaku memilih korban dari etnis tertentu. Namun, satu hal membuat kita yakin: aksi ini tidak berdiri sendiri.

Dia tidak semata-mata terkait suhu politik Aceh (baca: pemilihan umum kepala daerah/pilkada) yang sedang memanas, tetapi bisa karena motif ekonomi. Namun, apa pun motifnya, kita menjadi sadar bahwa kitab konflik sedang ditulis kembali.

Pihak berwenang juga sulit mengungkap motif pelaku. Kejadiannya sering tak terduga, berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain. Hingga kasus terakhir, belum satu pun pelaku ditangkap. Sangat misterius! Kondisi Aceh yang sedang memanas terkait kisruh pilkada juga menyulitkan pihak keamanan menganalisis siapa pelakunya.

Kejadian-kejadian tersebut membuat kita sadar bahwa Aceh sudah menjauh dari semangat perdamaian MOU Helsinki. Aceh hendak digiring menjadi lampoh soh (lahan kosong) sehingga siapa pun merasa bebas menciptakan kekacauan.

Aceh dan ”Lampoh Soh”

Aceh pernah menjadi lampoh soh (lahan kosong) saat daerah operasi militer dicabut pada Agustus 1998. Setelah TNI meninggalkan Aceh, Aceh menjadi lahan kosong yang diperebutkan siapa saja, termasuk yang berniat membuat kekacauan.

Istilah lampoh soh diperkenalkan sosiolog Aceh, Ahmad Humam Hamid (tabloid Kontras, 1998). Menurut dia, Aceh yang baru lepas dari cengkeraman militer berpotensi menjadi lampoh soh untuk digarap oleh siapa saja, termasuk oleh provokator dan orang tak dikenal.

Tesis Humam terbukti karena kondisi Aceh semakin tak menentu, digarap sesuai keinginan penggarap: kekacauan di mana-mana, maraknya penembakan misterius, dan pemaksaan terhadap masyarakat untuk melawan TNI.

Pasca-MOU Helsinki, setelah beberapa tahun usia perdamaian, Aceh kembali menjadi lampoh soh. Dia tidak ditinggalkan pemilik, tetapi pemiliknya seperti kehabisan ide untuk menggarap. Karena dianggap potensial, masuklah anasir-anasir lain untuk menggarap lahan Aceh ini.

Sepanjang 2010, kelompok teroris yang sebelumnya memilih beraksi di kota-kota di Pulau Jawa mulai membangun basis dan jaringan di Aceh. Keamanan Aceh yang kondusif membuat gerakan teroris leluasa merekrut dan melatih kader. Mereka juga membangun kamp pelatihan di Jalin, Jantho, Aceh Besar. Beberapa pentolan teroris bahkan sempat mengunjungi Aceh dan memberi pelatihan kepada anggota yang baru direkrut.

Aceh sengaja dipilih karena relatif aman dan jauh dari Ibu Kota. Apalagi, perburuan terhadap anggota teroris yang sangat gencar berlangsung di Pulau Jawa membuat posisi mereka terdesak. Mereka tak memiliki tempat yang aman untuk mengembangkan sel teroris ini. Karena itu, mereka menjadikan Aceh tujuan penyelamatan gerakan.

Namun, gerak-gerik mereka di Aceh juga terendus. Mereka diburu dan diuber, mulai dari Jalin, Jantho, Lamkabue Seulimuem, hingga penyergapan di Polsek Leupung, Aceh. Aceh menjadi tempat yang tak aman lagi untuk teroris mengembangkan diri.

Setelah teroris gagal menggarap lahan Aceh, kini muncul kelompok lain yang tidak kita tahu dari mana. Dari aksi yang dilakukan, jelas gerakan ini punya susunan sangat rapi. Mereka bergerak dari satu tempat ke tempat lain dan sering beraksi seusai maghrib, seperti kasus penembakan di Bireuen, Banda Aceh, dan Aneuk Galong, Aceh Besar. Target mereka juga jelas: etnis Jawa.

Siapa Pelaku

Siapa atau kelompok apa pelakunya? Ini menjadi pertanyaan besar di benak pemangku kepentingan di Aceh. Tidak ada yang mampu memberikan jawaban yang tepat kecuali hanya mereka-reka bahwa aksi ini terkait pilkada atau karena motif ekonomi. Namun, mengapa pekerja kecil yang disasar? Ini pertanyaan lain yang sama sulitnya dijawab.

Di masa konflik, jika ada peristiwa penembakan, kita bisa menduga pelakunya tak jauh dari TNI, Polri, atau GAM. Namun, sekarang Aceh sudah damai. TNI/Polri dan GAM tak lagi terlibat perang. Menuduh anggota GAM sebagai pelaku juga salah alamat. Senjata GAM sudah lama dimusnahkan. GAM tentu memperhitungkan risiko, apalagi dengan menyasar etnis tertentu. Ini bisa menjadi blunder: menciptakan konflik antaretnis.

Kini pilihan kita hanya bisa menyerukan, siapa pun pelaku penembakan hendaknya sadar bahwa Aceh bukan tempat untuk membuat kekacauan. Rakyat Aceh sudah lama lelah hidup dalam konflik, jangan menggiring mereka lagi ke arena konflik.

Nyawa manusia yang berdiam di Aceh sama berharganya dengan manusia di tempat lain. Siapa pun tak boleh mengorbankannya, apalagi menjadikannya sebagai tumbal untuk memuluskan kepentingan sesaat, entah apa kepentingan itu. Etnis apa pun berhak hidup dan mencari rezeki serta menikmati suasana damai Aceh.

Kita sudah bersepakat bahwa Aceh ini bagian dari NKRI. Tak boleh siapa pun menganggap etnis lain yang berada di Aceh sebagai musuh. Tak boleh orang menggarap Aceh dengan cara mencoba mengadu domba antaretnis. Sebab, kita sudah bersepakat damai: tak ada lagi darah yang tumpah. Jangan tulis riwayat konflik sebab buku konflik sudah lama kita tutup.

Di atas segalanya, kita harus kembali mengingatkan para pengacau bahwa Aceh bukan lahan kosong yang tak ada pemiliknya. Siapa pun tak punya hak menggarap kekacauan di Aceh. Mengapa kita tidak justru membangun bersama Aceh yang sejahtera?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar