Menelisik
Syiah
Syafiq Basri Assegaff, PENGGAGAS GERAKAN ANTI-RADIKALISME ISLAM (GARIS); PENELITI DI PUSAT
STUDI ISLAM DAN KENEGARAAN UNIVERSITAS PARAMADINA
Sumber
: KOMPAS, 3 Januari 2012
Memasuki tahun baru 2012, kekerasan atas nama
agama meletus lagi.
Ratusan orang membakar pesantren, mushala,
dan rumah warga di Kecamatan Omben, Sampang, Madura. Dosa mereka: karena
pesantren yang dipimpin Ustaz Tajul Muluk itu mengajarkan Islam mazhab Syiah
yang dianggap sesat.
Reaksi pun datang dari berbagai pihak. Ketua
Muhammadiyah Din Syamsuddin dan Ketua Majelis Ulama Indonesia Umar Shihab
menyusul menegaskan bahwa Syiah tidak sesat.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH
Said Aqil Siroj mengingatkan ada desain besar di balik itu karena sejak dulu
tak pernah ada perselisihan Sunni dan Syiah di Madura. Said Aqil menduga ada
pihak yang ingin merusak suasana damai di Indonesia. ”Salah satunya lewat kasus
pembakaran pesantren Syiah di Sampang,” katanya.
Dugaan yang logis. Sebab, Syiah Dua Belas
Imam (Itsna’asyariyah) memiliki banyak kesamaan dengan mazhab Syafi’i, salah
satu mazhab Ahlus-Sunnah (Sunni) yang menjadi panutan mayoritas nahdliyin di
Indonesia. Kultur NU juga sangat mencintai Ahlul Bait (keluarga) Nabi Muhammad
SAW dan keturunannya.
Peringatan haul, acara tahlil orang meninggal
tiga hari, 40 hari, dan sebagainya—yang banyak dilakukan warga NU—sesungguhnya
serupa dengan upacara-upacara Syiah. Nahdliyin juga pantang menikahkan anak
atau berpesta pada hari Asyura, yang merupakan hari kesedihan memperingati
syahidnya cucu Nabi, Al-Husain (Imam Syiah ketiga). Di kalangan NU juga sering
dibacakan Salawat Dibb, di mana di dalamnya disebutkan nama-nama Imam Syiah dan
keistimewaan Ahlul Bait.
Banyak studi menunjukkan bahwa versi Islam
yang pertama datang ke Indonesia sesungguhnya adalah Islam Syiah, sebagaimana
dibuktikan hadirnya tradisi Syiah di Aceh. Menurut Syafiq Hasyim (mengutip
Marcinkowski dalam Irasec’s Discussion Papers, 2011) muslimin di Indonesia berutang
kepada para ulama dan pedagang Syiah yang membawa Islam ke Indonesia.
Dari Pedang ke Pena
Studi lain menyebutkan, pada sekitar 320 H,
Ahmad bin Isa ”Al-Muhajir” bin Muhammad bin Ali bin Ja’far As-Shadiq—keturunan
kesembilan dari Nabi SAW—hijrah dari Irak ke Hadramaut, Yaman bagian selatan.
Pedagang kaya itu menghindari teror penguasa Bani Abbasiyah, saat keturunan
Nabi SAW, yang notabene Syiah, dikejar-kejar kaki tangan khalifah di Irak
(Walter Dostal dalam The Saints of Hadramawt, 2005).
Cucu Imam Syiah keenam (Ja’far As-Shadiq) itu
kemudian mematahkan pedangnya. Sebagai gantinya, Al-Muhajir mengajak para
pengikutnya memproklamasikan dakwah secara damai dengan pena. Di Hadramaut itu
ia mengajarkan tarekat Al-Alawiy yang sufi. Sebagian sejarawan mengatakan ia
bermazhab Syafi’i, tetapi ada pula yang menunjukkan bahwa sebenarnya ia Syiah,
tetapi menutupinya demi keselamatan dari kejaran penguasa.
Pada sekitar tahun 1600-an, anak cucu
Al-Muhajir—yang menyandang gelar sayid, syed, sharif, atau habib—melakukan
diaspora ke sejumlah negara, termasuk Indonesia. Di berbagai belahan dunia itu,
anak cucu Al-Muhajir selalu memilih dakwah secara damai dan
anti-fundamentalisme. Para habib muda yang sekarang pun berdakwah secara damai
meski kadang dikritik memacetkan jalanan Jakarta.
Kita tak tahu berapa juta umat Islam di
Indonesia yang bermazhab Syiah. Yang kita tahu, dua pokok ajaran kelompok
minoritas (sekitar 20 persen dari total umat Islam di dunia) ini adalah
keharusan mengikuti Ahlul Bait (keluarga) Nabi SAW—mulai dari khalifah keempat
Ali bin Abithalib hingga ke-11 anak cucunya—dan berdasarkan Al Quran dan hadis
serta mengakui kepemimpinan Ali sebagai penerus Nabi SAW.
Ali itulah salah seorang Ahlul Bait Nabi SAW
yang utama. Anggota yang lain adalah putri Nabi (yang juga istri Ali), Siti
Fatimah Az-Zahra, serta kedua anak mereka, Hasan dan Husain. Sebagai dalil
naqli, Syiah merujuk beberapa ayat Al Quran; juga pada hadis Nabi SAW mengenai
kata ”Ahlul Bait”’ dalam Surat Asyu’ara 23, yang menyatakan kewajiban mencintai
keluarganya. Yang menarik adalah bahwa tidak kurang dari 45 ulama Sunni
terdahulu juga meriwayatkan hadis itu, di antaranya Ahmad bin Hanbal,
Al-Thabrani, Al-Hakim, Jalaluddin Al-Suyuti, dan Ibnu Katsir.
Itu sebabnya, kecintaan kepada Ahlul Bait
Nabi SAW bukan hanya monopoli kaum Syiah, melainkan seluruh muslimin. Berderet
nama ulama Sunni tersohor menegaskan hal ini. Imam Syafi’i, misalnya, secara
gamblang menunjukkan kecintaannya kepada Ahlul Bait. ”Sekiranya mencintai
keluarga Rasul itu Syiah, maka saksikanlah wahai seluruh jin dan manusia bahwa
aku ini Syiah,” kata Syafi’i.
Toleransi dan Persatuan
Walhasil, kini kita bisa membayangkan:
apabila Syiah yang secara kultural dekat dengan NU saja diserang, apatah lagi
yang akan terjadi pada pengikut ajaran lain yang punya lebih banyak perbedaan?
Selayaknya semua pihak menyadari bahwa berbagai mazhab dalam Islam sendiri baru
muncul setelah masa tabi’in, sekitar abad kedua Hijriah. Di kalangan Sunni
sendiri terdapat belasan mazhab, termasuk empat yang besar: Maliki, Hanafi,
Syafi’i, dan Hambali.
Melihat beragamnya mazhab itu, sejak lama
banyak ulama Sunni dan Syiah menekankan perlunya persatuan ukhuwah Islamiyah.
Pada era 2000-an upaya persatuan itu diperkuat dengan hadirnya lembaga
Pendekatan Antar-Mazhab Dunia (Al-Majma’ al-Alamy lit-Taqrib baina
al-Madzahib), yang banyak sidangnya juga dihadiri ulama-ulama dari Indonesia.
Maka, dalam konteks persatuan, tokoh Sunni,
seperti Quraish Shihab, mengingatkan umat Islam tidak boleh main tuduh.
Mengutip mantan Guru Besar Universitas Al-Azhar Syaikh Muhammad Abul Azhim
az-Zarqany yang mengecam kesalahan kelompok yang saling memaki, Quraisy
mengatakan, ”Jangan sampai menuduh seorang Muslim dengan kekufuran, bidah, atau
hawa nafsu hanya disebabkan dia berbeda dengan kita dalam pandangan Islam yang
bersifat teoritis…” (Shihab, 2007).
Memang orang Syiah, sebagaimana saudaranya
yang Sunni, percaya pada hadis tentang pentingnya Al Quran dan Sunnah. Namun,
berbeda dengan Sunni, mereka lebih kuat berpegang pada hadis lain (juga
diriwayatkan banyak sumber Sunni) yang mengharuskan berpegang kepada Al Quran
dan Ahlul Bait—yang mana keduanya tidak akan berpisah hingga akhir zaman
sehingga tidak akan tersesat siapa pun yang berpegang pada keduanya.
Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa
perbedaan itu hanya soal cabang agama (furu’), dan bukan masalah pokok ajaran
Islam (ushuluddin). Tak aneh jika tokoh sekaliber Abdurrahman Wahid mengakui
bahwa Syiah adalah mazhab kelima dalam Islam (Daniel Dhakidae, 2003). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar