Monster
Pertambangan
Ferdy Hasiman, PENELITI
DI INDONESIA TODAY
Sumber
: KOMPAS, 5 Januari 2012
Korporasi berwajah tambang mendapat penolakan
masif warga lingkar tambang. Penolakan masif itu terjadi di NTT, Papua, dan
Kalimantan. Terakhir adalah penolakan warga Bima, NTB, terhadap tambang emas PT
Sumber Mineral Nusantara.
Dengan demikian, gerakan antitambang
sebenarnya hampir terjadi di seluruh Indonesia. Pemicu penolakan tersebut
adalah konflik pengelolaan sumber daya alam yang diberikan secara serampangan
pemerintah daerah.
Lebih dari itu, resistensi terjadi lantaran
warga tidak pernah mendapat pemahaman sempurna berupa sosialisasi seputar baik
buruknya sektor pertambangan. Protes warga muncul ketika mesin-mesin raksasa
menggerus hak ulayat masyarakat adat, alam dirusak, tanah pertanian dan hutan
lindung disabotase hanya untuk pertambangan.
Kematian warga sekitar tambang (seperti di
Bima) semakin mendaulatkan korporasi bak monster raksasa menakutkan.
Korporasi-korporasi itu ingin mengamputasi individu dari tubuh organis,
membiarkan warga hidup di luar kandungan ibu, dan melemparkan mereka ke dunia
penuh bahaya.
Warga tak layak lagi bangga atas tanah
mereka. Budaya dan kearifan lokal tidak pernah diperhitungkan dalam kontrak
pertambangan, kecuali soal laba eksploitasi tambang.
Dalam konteks ini, penolakan investasi
pertambangan merupakan renungan yang menyentuh eksistensi hidup manusia. Hidup
bukan untuk hari ini saja, melainkan merentang ke masa depan. Hidup tidak hanya
berlangsung di atas gelimang kemewahan bahan tambang yang hanya dinikmati
segelintir manusia, tetapi terkait keberlanjutan generasi.
Sayangnya, gerakan warga lokal selalu lumpuh
berhadapan dengan korporasi yang sejauh ini selalu keluar sebagai pemenang
karena memiliki akses terhadap kekuasaan.
Ironis, memang! Aparat yang sejatinya menjadi
pelindung warga berubah menjadi pemangsa. Warga lokal yang ingin dilindungi hak
sipil, politik, dan ekonomi, sosial, dan budaya melalui penerapan otonomi
daerah mulai tergusur dari pembangunan.
Padahal, otonomi daerah didesain agar
kearifan lokal bisa digarap. Untuk itu pulalah pemda diberi wewenang mengurus
administrasi dan keuangan daerah secara mandiri. Namun, otonomi daerah sudah
diserahkan kepada pemimpin-pemimpin yang kerdil, miskin visi pemberdayaan,
tidak memiliki kebijakan politik, dan tidak punya keterampilan manajerial untuk
mengelola keuangan daerah.
Dengan dalih menambah penerimaan daerah dan
lapangan kerja, pemda bagaikan mabuk tambang dan menyerahkan aset daerah kepada
investor tambang. Apalagi pasca-pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, wewenang pemberian izin pertambangan ada di tangan
pemda.
Tak heran banyak pengusaha raksasa membuat
”kesepakatan gelap” dengan pemda.
Menyembunyikan ideologi
Ironisnya, para penguasa di daerah dan
investor tambang datang dengan janji-janji kesejahteraan. Ideologi kekuasaan
yang bercokol di baliknya disembunyikan.
Di hadapan rakyat, mereka mengatakan, tanpa
kehadiran perusahaan-perusahaan tambang, kekayaan alam yang ada dibiarkan tidak
berguna. Padahal, pemberian izin konsesi menabrak semua rambu-rambu dan aturan
hukum yang berlaku.
Di tengah sistem politik uang sekarang ini,
politisi harus memberi karpet merah kepada pemodal. Politisi ingin
mempertahankan kekuasaan, sementara korporasi ingin mengakumulasi modal. Pemda
yang lapar investasi dengan mudah menyerahkan kedaulatan ekonomi daerahnya ke
tangan pemodal.
Di tangan pemodal, kehormatan bangsa
tergerus. Pancasila dan UUD 1945 tak lagi dijadikan pijakan untuk mengangkat
kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat tidak lagi menjadi urusan
pemerintah, tetapi sudah diserahkan ke tangan sistem pasar.
Liberalisasi pasar membawa ekses negatif
secara ekonomi, sosial, dan politik. Dari segi upah, misalnya, perusahaan
tambang kerap mengeksploitasi pekerjanya dengan gaji subsisten.
Ambil contoh kasus pertambangan di NTT. Upah
buruh tambang di daerah itu hanya Rp 25.000 (pekerja wanita ) dan Rp 30.000
(pekerja pria ) per hari.
Mereka hidup tanpa jaminan kesehatan. Dengan
kondisi kerja buruh pertambangan yang begitu keras, bukan tak mungkin membuat
mereka jatuh sakit dan harus menanggung biaya pengobatan rumah sakit yang
melambung tinggi.
Selain itu, kegiatan pertambangan menyebabkan
penggundulan hutan, pencemaran sungai dan air tanah, mendangkalnya sungai dan
penampungan air. Itu sebabnya mengapa kehadiran korporasi pertambangan ditolak
warga. Meskipun demikian, mengapa gairah mengejar keuntungan korporasi
pertambangan tak pernah surut?
Jawabannya adalah karena korporasi pertambangan
kerap mengirimkan uang suap agar pemda memberi izin konsesi dengan mudah.
Buktinya, ada 4.504 dari total 8.475 izin usaha tambang yang diterbitkan pemda
dinyatakan ilegal.
Mata rantai korupsi pun sangat panjang, mulai
dari mulut tambang, aktivitas eksplorasi dan pelabuhan, sampai pada negara
pengekspor. Dari mata rantai tersebut, sudah bisa ditebak berapa institusi
publik yang terkena dampak korupsi korporasi pertambangan.
Akibatnya, demokrasi di tingkat lokal memang
kelihatan berjalan, tetapi demokrasi yang mengabdi pada kepentingan pebisnis.
Demokrasi akhirnya bukan lagi rakyat yang berdaulat, melainkan para pemodal.
Demokrasi bukan lagi terkait penegakan hukum, melainkan hukum pasar yang
praktis mendikte praktik demokrasi.
Bangun komunitas lokal
Tambang tak bisa mengangkat kesejahteraan
rakyat. Kematian warga di Bima perlu dibaca sebagai sikap kemartiran melawan
keangkuhan korporasi yang memarjinalkan.
Darah korban sebagai tuntutan untuk memanggil
kembali pemerintah, menegakkan hukum, reformasi pertanahan, dan mendesain
kembali otonomi daerah. Otonomi daerah harus dikembalikan pada raison
d’etre-nya, membangun dan memberdayakan komunitas lokal.
Komposisi terbesar penduduk Indonesia berada
di komunitas desa. Untuk itu, pemerintah perlu membangun komunitas desa, mulai
dari penyediaan prasarana penunjang, seperti transportasi agar rakyat mudah ke
pasar. Setelah itu, pemerintah perlu menggerakkan sektor mikro agar mampu
menampung pekerja dalam spektrum amat luas dan mengurangi eksodus masyarakat
desa ke kota atau menjadi buruh kasar di negeri tetangga.
Kesempatan kerja akan berfokus pada sektor
pertanian, industri pengelolaan manufaktur, dan industri kerajinan rakyat
lainnya.
Agar industri kecil tumbuh, pemerintah perlu
bekerja sama dengan sektor perbankan agar rakyat memiliki akses ke bank.
Mekarnya industri kecil akan membantu pemerintah menutup defisit karena dari
industri-industri itu pemerintah dapat memungut pajak menurut skala
besar-kecilnya usaha. Pajak pendapatan rakyat dapat membantu pemerintah mengurangi
utang luar negeri yang bertumpuk itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar