Korupsi
dan Kekerasan Negara
Roby Arya Brata, ANALIS
ANTIKORUPSI, HUKUM, DAN KEBIJAKAN
Sumber
: KORAN TEMPO, 5 Januari 2012
Kekerasan
demi kekerasan negara terhadap warga negaranya sendiri terus terjadi. Kekerasan
terakhir adalah insiden Mesuji dan Bima, di mana diduga telah terjadi
pelanggaran berat hak asasi manusia oleh aparat penegak hukum terhadap warga
negara sipil yang seharusnya diayomi dan dilindungi.
Negara
telah gagal menjalankan fungsinya untuk melindungi warga negara. Dalam Teori
Kontrak Sosial (Social Contract) Thomas Hobbes (1651) dan John Locke
(1689)---yang kemudian ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara
1945---tujuan negara didirikan adalah untuk melindungi warga negara. Kewajiban
mendasar negara adalah untuk melindungi masyarakat dari segala bentuk
kekerasan, to protect its people from violence and other kinds of harm.
Kekerasan
Negara
Pertanyaan
mendasar untuk mengungkap kekerasan negara (state violence) yang terus
berlangsung di Indonesia adalah apakah kekerasan itu dilakukan secara
sistematis dan didukung oleh rezim yang berkuasa ataukah terjadi secara
sporadis karena kegagalan institusional proses penegakan hukum.
Apabila
kekerasan itu dilakukan secara sistematis dan didukung oleh rezim yang berkuasa
untuk mengintimidasi atau menyebar teror dan ketakutan terhadap masyarakat
sipil, sesungguhnya negara dalam tingkatan tertentu telah melakukan apa yang
disebut terorisme negara atau setidaknya terorisme yang didukung oleh negara (state-sponsored
terrorism). Secara umum, Encyclopedia Britannica mendefinisikan
terorisme sebagai “penggunaan kekerasan secara sistematis untuk menciptakan
iklim ketakutan di masyarakat demi mencapai tujuan politik tertentu”.
Selanjutnya,
Noam Chomsky (2002) mengartikan terorisme negara sebagai “terorisme yang
dilakukan oleh negara atau pemerintah dan aparaturnya”. Gus Martin (2006)
menambahkan, teror itu dilakukan oleh rezim yang berkuasa untuk melibas
kekuatan politik yang mengancam kekuasaannya. Salah satu bentuk terorisme
negara, misalnya, terjadi pada masa The Reign of Terror Revolusi Prancis
(1789 – 1794) ketika rezim pemerintah Jacobin menggunakan aparat penegak hukum
untuk mengancam dan mengeksekusi lawan-lawan politiknya.
Apakah
kekerasan negara yang selama ini terjadi di Indonesia memang sengaja dilakukan,
didukung, atau dibiarkan oleh rezim yang berkuasa untuk mengancam atau memberi
sinyal kepada kekuatan oposisi sipil untuk tidak melakukan kegiatan atau
menggalang kekuatan politik yang dapat mengancam kekuasaannya? Sebagaimana kita
ketahui, akhir-akhir ini sebagian gerakan masyarakat sipil mulai menggulirkan
ide pemilihan umum dipercepat atau bahkan revolusi sosial---suatu gerakan yang
dapat mengancam rezim yang berkuasa.
Apabila
kemudian kekerasan negara terus-menerus berlangsung di Indonesia, bahkan dalam
skala yang meluas, dan ternyata didukung atau sengaja dibiarkan oleh rezim yang
berkuasa, maka kita harus segera menghentikan kekerasan ini. Kita harus
menghentikan rezim berkuasa yang gagal melakukan kewajiban esensialnya untuk
melindungi warga negara.
Tetapi,
untuk memastikan apakah rezim yang berkuasa telah melakukan state-sponsored
terrorism atau kekerasan negara secara sengaja dan sistematis, kita perlu
membentuk tim pencari fakta independen. Bila hasil temuan tim ini ternyata
membuktikan rezim itu memang sengaja dan sistematis melakukan kekerasan negara,
kebrutalan rezim yang berkuasa dapat dikonstruksikan sebagai “pengkhianatan
terhadap negara” berdasarkan Pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945---suatu alasan
konstitusional yang kuat untuk melakukan impeachment.
Kegagalan
Institusional
Meskipun
demikian, kita juga harus mempertanyakan bahwa kemungkinan terjadinya kekerasan
negara tersebut sebenarnya lebih disebabkan oleh kegagalan institusional (institutional
failure) pemerintahan secara umum, khususnya institusi penegak hukum.
Dengan kata lain, kekerasan negara itu bukanlah bentuk terorisme negara atau state-sponsored
terrorism yang sengaja secara sistematis dilakukan oleh rezim yang
berkuasa. Kekerasan itu lebih disebabkan oleh kegagalan pimpinan nasional,
khususnya pimpinan institusi penegak hukum, melakukan reformasi substansial di
tubuh institusi penegak hukum.
Dari
hasil penelitian doktoral saya dan banyak penelitian antikorupsi lainnya,
penyebab utama kegagalan institusional demikian adalah korupsi yang kronis dan
sistemik di birokrasi pemerintahan, khususnya institusi penegak hukum. Dengan
segala dampaknya yang luas, merusak, dan melumpuhkan, korupsi telah menyebabkan
birokrasi pemerintahan, khususnya institusi penegak hukum, gagal menjalankan
fungsi untuk mensejahterakan dan melindungi masyarakat.
Korupsi
telah mendistorsi proses penegakan hukum. Korupsi mensubordinasikan kedaulatan
hukum (the rule of law) di bawah nafsu syahwat kekuasaan (the rule by
the ruler) dan ekonomi. Perlu diselidiki apakah kekerasan negara di
Freeport Papua, Mesuji, dan Bima disebabkan oleh transaksi koruptif antara
oknum pimpinan penegak hukum dan korporasi yang diduga terlibat dalam kekerasan
itu.
Misalnya,
kekerasan di Bima terjadi setelah aparat penegak hukum membubarkan secara paksa
blokade Pelabuhan Sape yang dilakukan oleh mahasiswa dan warga. Blokade
tersebut merupakan ekspresi kemarahan mereka terhadap Bupati Bima yang tidak
segera mencabut Surat Keputusan Bupati Nomor 188/45/357/004 Tahun 2010 tentang
izin eksplorasi pertambangan PT Sumber Mineral Nusantara (Koran Tempo,
26 Desember 2011). Di sinilah Komisi Pemberantasan Korupsi harus menyelidiki
apakah ada transaksi koruptif antara bupati, oknum penegak hukum, dan PT Sumber
Mineral Nusantara, juga dalam kasus Freeport dan Mesuji.
Pemerintah,
khususnya penegak hukum, tidak bisa (semata-mata) menyalahkan blokade pelabuhan
yang dilakukan pengunjuk rasa. “Anarkisme” massa yang dilakukan di Bima, Papua,
Mesuji, dan berbagai daerah lainnya adalah wujud keputusasaan dan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah, khususnya institusi penegak
hukum. Akibatnya, untuk mengekspresikan serta membela kepentingan dan
hak-haknya, masyarakat melakukan parlemen dan peradilan jalanan atau
“anarkisme” itu.
Namun,
apa pun bentuk kekerasannya, rezim yang berkuasa harus segera menghentikan
kekerasan negara itu. Tindakan minimal adalah dengan memecat dan menghukum
oknum pimpinan dan aparat penegak hukum yang diduga terlibat transaksi
koruptif, memerintahkan atau membiarkan terjadinya tindak kekerasan itu.
Apabila kekerasan terus terjadi, Kapolri harus mengundurkan diri sebagai
pertanggungjawaban moral atau ia dipecat dari jabatannya.
Kita
memberi waktu enam bulan sampai 1 Juli 2012 kepada rezim yang berkuasa untuk
melakukan bukan hanya reformasi, tapi juga revolusi radikal di bidang penegakan
hukum. Sebab, kelumpuhan akibat korupsi di institusi penegak hukum adalah
penyebab utama kemerosotan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tiga belas tahun
sudah---waktu yang lebih dari cukup---usia reformasi kita. Tetapi, karena
ketiadaan kedaulatan hukum, keberpemerintahan dan demokrasi yang sesungguhnya
belum juga terwujud. Kemiskinan, pengangguran, korupsi, kejahatan, dan rasa
tidak aman semakin meluas.
Apabila
berdasarkan indikator-indikator yang terukur rezim yang berkuasa, baik
eksekutif maupun legislatif, gagal melakukan tindakan yang substansial dan
signifikan untuk menyelamatkan negara, tokoh-tokoh nasional dan masyarakat
sipil pada 1 Juli 2012 harus menyatakan bahwa negara dalam keadaan darurat dan
mendorong Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk melakukan tindakan penyelamatan
negara yang konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar