Kerentanan
dan Keberagamaan
Novriantoni Kahar, AKTIVIS
JARINGAN ISLAM LIBERAL, PENGAMAT SOSIAL-KEAGAMAAN
Sumber
: KORAN TEMPO, 5 Januari 2012
Ada
sebuah hadis yang sangat popular sekaligus problematik yang sering kali dikutip
para dai, baik di Indonesia maupun di dunia muslim umumnya. Hadis itu berbunyi:
kaada al-faqru an yakuuna kufran. Hadis ini secara harfiah berarti:
kemiskinan itu nyaris saja identik dengan kekufuran. Di tangan para dai kita,
hadis ini sering dikutip sebagai cara untuk mewanti-wanti masyarakat akan
pentingnya mengeluarkan diri dari jerat kemiskinan dan penderitaan. Alasannya,
ya, itu: jerat kemiskinan itu bisa membawa kita kepada kekufuran.
Contoh-contoh
kadang disertakan untuk meyakinkan betapa orang fakir-miskin itu bisa menjadi
kafir atau minimal tidak religius. Karena sibuk membanting tulang dan memeras
keringat, orang miskin lupa salat, tak sanggup puasa, jadi penadah zakat, tak
mampu berhaji ke Baitullah. Karena miskin, orang terpaksa mencuri sandal, ayam
tetangga, atau barang remeh-temeh lainnya. Contoh yang lebih bombastis adalah
ini: karena miskin, orang terkadang terpaksa menjual diri.
Intinya,
selain hadis ini dipandang valid secara sosiologis, ia juga dianggap bersifat
sugestif: agar orang miskin berupaya keras untuk mengangkat taraf hidupnya
menjadi lebih kaya. Bukankah Quran juga mewanti-wanti umat Islam agar tidak
meninggalkan generasi yang lemah (dzurriyyatan dhiaf) sehingga membuat
kita khawatir akan masa depannya (Surat An-Nisa ayat 36)?
Terus
terang saya sudah lama terganggu oleh hadis ini dan justru berpikir sebaliknya.
Meski begitu, saya kok tidak tertarik untuk melakukan kritik sanad guna
memastikan apakah mata rantai hadis ini betul-betul tersambung ke Nabi Muhammad
dan isinya dipastikan benar-benar perkataan Rasulullah. Namun secara matan
(isi hadisnya), saya kok merasa agak bermasalah.
Pertama,
secara historis pun terbukti bahwa para pengikut awal nabi Muhammad adalah
orang-orang mustad’afin atau mereka yang tergolong kaum terpinggirkan
secara sosial-ekonomi. Orang-orang beradanya (saadatuhum) justru emoh
untuk percaya akan kenabian Muhammad dan, kalaupun kemudian memeluk Islam
secara berbondong-bondong di belakang hari, itu tiada lain karena posisi
sosial-politik-ekonomi Islam yang sudah menguat dan mantap sebagaimana
disinyalir ayat Kemenangan (Surat an-Nasr). Kedua, hadis ini pun bisa pula
diartikan bahwa Islam tidak berpihak kepada orang miskin (bukan kemiskinan)
kalau bukan anti-orang-miskin. Padahal, dalam ayat lain di Quran (QS at-Takasur),
orang yang suka lalai menyebut nama Tuhan itu justru mereka yang suka
berlimpah-ruah.
Karena
itu, saya justru berpandangan bahwa, dibanding orang miskin, justru orang
kayalah yang lebih dekat kepada kekufuran. Alasannya bisa dicarikan lebih
banyak lagi dari alasan untuk orang miskin. Dengan memakai teori-teori mutakhir
tentang sekularisasi, sembari meminta maaf kepada mereka yang kaya, saya mantap
mengatakan bahwa orang miskin itu jauh lebih religius dibanding orang kaya.
Klaim ini setidaknya cocok dengan penelitian-penelitian ilmu sosial tentang
tingkat religiositas orang miskin dibanding orang kaya. “The poor are almost
twice as religious as the rich,” kata Pippa Norris dan Ronalad Inglehart
dalam kitab After Secularization halaman 90, maupun kitabnya lainnya, Sacred
and Secular. Orang miskin itu hampir dua kali lipat lebih religius daripada
orang kaya.
Kerentanan
= Religiositas
Tesis
Cak Norris dan Mas Inglehart di atas merupakan elaborasi lebih lanjut tentang
teori umum sekularisasi yang intinya mengatakan, semakin maju suatu masyarakat,
akan semakin kurang penting peran agama. Teori ini sekarang ditinjau ulang
karena kok sekilas dunia makin atau tetap religius, dan masyarakat yang maju,
makmur, damai-sentosa seperti Amerika juga masih tetap religius. Lahirlah
kemudian teori tentang Perkecualian Amerika (American Exceptionalism). Para
teoretisi sekularisasi lama sempat bertobat akan teorinya dan mengatakan bahwa
agama punya sembilan nyawa yang membuatnya susah mati. Sekarat bisa, mati tak
mau.
Tapi,
dengan bukti-bukti survei yang meyakinkan (tentu sampai ada survei yang lebih
hakulyakin lagi), Norris dan Inglehart melahirkan teori baru untuk menjelaskan
mengapa masyarakat Amerika umumnya lebih religius dibanding masyarakat Eropa
Barat yang lebih emoh atau kapok pada agama. Teori itu mereka sebut “Teori
Pasar Agama” (Religious Market Theory) yang cenderung berlaku di Amerika. Inti
teori ini mengatakan: walaupun permintaan masyarakat akan agama tetap belaka,
tapi supply-side factors atau kreativitas pemasoknya (pendeta, aktivis
gereja, dan lain-lain), yang berkompetisi keras dalam pasar bebas agama yang
meriah, berusaha sedemikian rupa untuk menyerap permintaan konsumen (demand
side) agar tetap stabil. Jadi, sebagian orang Amerika lebih religius karena
dai-dainya makin kreatif memasok produk agama yang mampu menyerap pasar yang
sebetulnya tidak bertambah.
Meski
begitu, tak semua orang Amerika makin religius. Tetap saja ada teori lain dari
Norris dan Inglehart yang masih solid keabsahannya. Teori itu bisa
disederhanakan menjadi Teori Kerentanan. Menurut Norris dan Inglehart, semakin
banyak kerentanan (feeling vulnerable) dan rasa terancam yang kita
hadapi dalam hidup ini, baik secara individual, sosial, maupun nasional, maka
semakin beragamalah suatu masyarakat. Sebaliknya, sekularisasi atau erosi yang
terjadi pada praktek, nilai, dan keyakinan agama akan lebih cenderung terjadi
pada masyarakat yang lebih sejahtera dan merasa kurang terancam secara sosial,
politik, dan ekonomi. Orang lalu bertanya lagi: kok orang Amerika yang aman
damai sejahtera masih religius-religius saja?
Norris
dan Inglehart tetap menjawabnya dengan Teori Kerentanan Hidup itu. Teorinya
tetap: makin rentan hidup seseorang karena berbagai ancaman, semakin
religiuslah mereka. Dan di antara orang Amerika yang paling religius itu,
ternyata adalah mereka yang paling rentan dan paling miskin juga. Di sini
Norris dan Inglehart menambahkan sedikit soal ketimpangan ekonomi. Semakin
timpang sistem ekonomi suatu negara, semakin besar kemungkinan masyarakat itu
menjadi lebih religius. Negara-negara Eropa Barat dan Skandinavia, yang kaya
raya dan menerapkan sistem kesejahteraan (welfare state) yang memberi
banyak tunjangan dan jaminan sosial bagi warganya, tetap cenderung kurang
religius dibanding rakyat Amerika yang lebih timpang.
Berkaca
dari penelitian-penelitian seperti ini, kesimpulan saya ada tiga. Pertama,
bertolak belakang dengan hadis di atas, orang miskin dan mereka yang menghadapi
kerentanan hidup lebih tinggi cenderung lebih religius daripada orang kaya.
Karena itu, hadis di atas mestinya berbunyi: kaadal ghinaa an yakuuna kufran.
Kekayaan itu nyaris saja membawa kekufuran.
Kedua,
maraknya fenomena keagamaan yang bersifat masif di masyarakat kita belakangan
ini boleh jadi menunjukkan tingginya tingkat kerentanan hidup yang sedang kita
hadapi. Ketiga, menyangkut kebijakan soal kesejahteraan masyarakat,
pemerintahan Indonesia menghadapi simalakama. Jika rakyat makin sejahtera,
kurang terancam oleh bencana, kecelakaan, dan salah urus oleh negara, maka
masyarakat lama-lama akan semakin kurang religius. Agar masyarakat tetap
religius, sebaiknya kemiskinan tetap terjaga, kerentanan hidup dipertinggi,
ketimpangan sosial-ekonomi diperparah.
Itu
kalau pemerintah percaya kepada temuan-temuan ilmu sosial. Kalau lebih percaya
kepada hadis, ya seyogianya meningkatkan performa, karena memelihara kemiskinan
berarti memelihara kekufuran. Nah lo, pilih yang mana?! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar