Jumat, 13 Januari 2012

Investment Grade, Subsidi BBM, dan Moody’s-S&P


Investment Grade, Subsidi BBM, dan Moody’s-S&P
Latif Adam,  PENELITI PUSAT PENELITIAN EKONOMI (P2E)
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)
Sumber : SINDO, 13 Januari 2012



Pertengahan Desember 2011(15/12), Fitch Rating, salah satu lembaga pemeringkat global, menaikkan peringkat utang Indonesia dari BB+ menjadi BBB-.Dengan demikian saat ini Indonesia masuk ke dalam kategori negara layak investasi (investment grade).

Negara dengan peringkat layak investasi akan menjadi tujuan yang menarik bagi masuknya investasi baik portofolio maupun langsung (foreign direct investment). Namun, kategori layak investasi yang disandang Indonesia terasa kurang lengkap karena belum diikuti dengan keputusan yang sama dari dua lembaga pemeringkat lainnya, yaitu Moody’s dan Standard & Poor (S&P). Padahal,Moody’s dan S&P memiliki reputasi yang relatif lebih baik daripada Fitch. Moody’s dan S&P lebih berhati- hati dalam menentukan layak-tidaknya suatu negara masukkategori investmentgrade.

Boleh jadi saat ini Moody’s dan S&P memasang mata dan telinga lebar-lebar terhadap Indonesia, memperhatikan dinamika beberapa variabel yang biasanya menjadi basis penentuan peringkat. Sama dengan Fitch,terdapat beberapa variabel yang menjadi acuan Moody’s dan S&P untuk menentukan peringkat utang suatu negara. Empat variabel terpenting dan saling memengaruhi di antara satu dengan yang lainnya adalah stabilisasi sosial-politik, performa perekonomian (pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita), daya tahan fundamental perekonomian (seperti cadangan devisa, rasio utang, sustainability APBN), dan kerangka kebijakan makroekonomi yang prudent.

Untuk menentukan peringkat utang, Indonesia sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk bisa naik kelas. Pada tiga tahun terakhir, perekonomian Indonesia tumbuh rata-rata 5,9% per tahun, lebih tinggi dari rata-rata negara yang sudah berada di peringkat investment grade (3,3%). Demikian halnya rasio utang terhadap PDB Indonesia sebesar 25%, jauh lebih baik dibandingkan dengan rata-rata negara yang sudah berada di peringkat investment grade(36%). Walau terus menurun, cadangan devisa Indonesia sebesar USD111,3 miliar per 31 Desember 2011 juga cukup aman untuk menghadapi external shock.

Dengan memiliki cadangan devisa sebesar itu, Indonesia mampu memenuhi kebutuhan impor dan pembayaran utang selama 6–7 bulan. Menurut standar internasional cadangan devisa yang dimiliki suatu negara dikatakan tidak aman bila jumlahnya hanya mampu memenuhi kebutuhan impor dan pembayaran utang kurang dari 3 bulan. Hanya saja,pendapatan per kapita negeri ini (USD3.600) memang masih lebih rendah daripada pendapatan per kapita rata-rata negara layak investasi yang telah mencapai USD9.800.

Meskipun masih lebih rendah, kenaikan yang konsisten dari pendapatan per kapita negeri ini seharusnya tidak menjadi hambatan utama bagi Moody’s dan S&P untuk menaikkan peringkat utang Indonesia. Pertanyaannya kemudian adalah, kalau bukan pendapatan per kapita, lantas apa yang menjadi ganjalan utama bagi Moody’s dan S&P sehingga kedua lembaga itu belum menaikkan peringkat utang Indonesia?

Subsidi BBM

Ganjalan utama yang membuat Moody’s dan S&P belum menaikkan peringkat utang Indonesia kemungkinan besar berkaitan dengan kerangka kebijakan ekonomi makro yang bisa memengaruhi fundamental perekonomian. Satu yang paling krusial adalah respons pemerintah terhadap subsidi BBM. Beberapa kali ditegaskan bahwa tekanan fiskal BBM terhadap APBN akan direspons pemerintah tidak dengan menaikkan harga BBM,tetapi melalui pembatasan BBM bersubsidi.

Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi itu rencananya akan mulai diimplementasikan pada 1 April 2012. Pemerintah mematok volume BBM bersubsidi pada APBN 2012 sebesar 40 juta kiloliter (kl).Perhitungan pemerintah menunjukkan kebijakan pembatasan akan berhasil menekan volume BBM bersubsidi sebesar 2,5 juta kl menjadi 37,5 juta kl.Dengan demikian akan ada penghematan anggaran subsidi BBM sebesar Rp7,7 triliun. Namun, pembatasan BBM bersubsidi dipastikan akan mendorong naiknya tingkat inflasi.

Dengan asumsi pembatasan BBM bersubsidi diberlakukan untuk semua jenis kendaraan milik pribadi di seluruh Indonesia, perhitungan yang dilakukan penulis menunjukkan inflasi akan terdorong naik sebesar 0,8%. Naiknya inflasi diperkirakan akan menggerus daya beli masyarakat, khususnya masyarakat dalam kelompok dengan pendapatan cenderung tetap dan kecil. Selain itu, pembatasan BBM bersubsidi yang dilakukan tanpa dukungan pembangunan infrastruktur untuk BBM nonsubsidi yang memadai dan merata di pelosok negeri hanya akan menimbulkan kelangkaan BBM di beberapa daerah tertentu.

Demikian halnya,minimnya kemampuan aparatur negara untuk memonitor dan mengontrol pelaksanaan kebijakan ini hanya akan mendorong munculnya black market, penyelundupan, dan perilaku menyimpang lain yang pasti akan merugikan negara. Pertautan dari permasalahan di atas akan terakumulasi dan membuat kebijakan pembatasan BBM bersubsidi justru bersifat kontraproduktif terhadap stabilisasi dan kokohnya fundamental perekonomian Indonesia.

Karena itu, sudah sepatutnya pemerintah menyusun langkah aksi bagaimana meminimalkan dampak negatif yang mungkin muncul dari pelaksanaan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi. Jika pemerintah mampu menyusun langkah aksi yang jelas, komprehensif, dan terintegrasi, tidak ada alasan bagi Moody’s dan S&P untuk tidak menaikkan peringkat utang Indonesia ke peringkat investment grade.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar