Kamis, 05 Januari 2012

Bagi Hasil Migas


Bagi Hasil Migas
Mudrajad Kuncoro, GURU BESAR FEB UGM
Sumber : KOMPAS, 5 Januari 2012


Gugatan uji materi Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu atas bagi hasil migas di sidang Mahkamah Konstitusi perlu mendapat perhatian serius.
Kaltim dan daerah penghasil minyak dan gas alam (migas) lain hanya mendapatkan porsi bagi hasil minyak 15,5 persen dan gas 30,5 persen, padahal Aceh dan Papua menikmati bagi hasil migas 70 persen. Sistem desentralisasi yang asimetrik dalam bingkai NKRI mulai dipertanyakan.

Daerah Kaya, Tetapi Miskin
Kaltim adalah contoh provinsi yang mengalami growth without development: pertumbuhan ekonomi daerah memang terjadi, tetapi pembangunan tak dinikmati sebagian besar rakyat. Setidaknya ini tecermin dalam indeks eksploitasi ekonomi, yakni indeks yang menunjukkan ”eksploitasi ekonomi” oleh pemerintah pusat atau investor asing, diestimasi dengan membandingkan PDRB per kapita dengan pengeluaran konsumsi per kapita (Mubyarto, 2005: 174).

Kaltim termasuk 11 provinsi yang indeks eksploitasi ekonominya meningkat selama 1996-2008, bersama daerah kaya sumber daya alam (SDA) lain, seperti Riau, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Tingkat eksploitasi ekonomi Kaltim meningkat dari 89 pada 1996 menjadi 90 pada 2002 dan menjadi 93 pada 2008. Artinya, setiap PDRB naik 100, proporsi yang dinikmati rakyat Kaltim hanya 11 persen (1996), 10 persen (2002), dan 7 persen (2008).

Dibandingkan dengan provinsi lain, indeks eksploitasi ekonomi Kaltim paling tinggi selama 2004-2008. Indeks ini menunjukkan ”eksploitasi ekonomi” oleh pemerintah pusat, investor asing, dan kesenjangan pendapatan antara kaya dan miskin di Kaltim sangat tinggi.

Produksi minyak yang disedot dari Kaltim mencapai 21 juta barrel per tahun. Kaltim juga penghasil tidak kurang dari 120 juta ton batubara, 14 juta ton gas, dan 3 juta meter kubik kayu, sementara kerusakan hutan mencapai 65 persen dibandingkan kondisi tahun 1972. Eksploitasi SDA telah mengakibatkan penyusutan dan gangguan lahan untuk pertanian (12,4 juta ha HPH, 4,2 juta ha tambang, 670.000 ha migas).

Menurut Bernaulus Saragih (2011), Kepala Pusat Penelitian Sumber Daya Alam Universitas Mulawarman, transfer benefit dari SDA Kaltim lebih banyak disedot keluar karena Kaltim hanya menerima rata-rata Rp 7 triliun dari Rp 100 triliun-Rp 120 triliun yang ditransfer ke pusat dari SDA Kaltim.

Pemerintah pusat tak memperhatikan komponen biaya eksternalitas akibat eksploitasi SDA yang mencapai Rp 9,23 triliun per tahun, yang mesti menjadi faktor pembagi dalam perimbangan keuangan. Total nilai kerugian per tahun yang timbul karena deplesi sumber daya hutan, degradasi sumber daya hutan, pengeruhan sumber air minum, kerusakan lahan/disfungsi, emisi karbon/pencemaran udara dari industri minyak dan gas, tambang batubara, serta kehutanan diestimasi mencapai Rp 9,23 triliun.

Total pembiayaan 15 tahun ke depan, jika tak ada perbaikan dan jika kerusakan tidak meningkat, diperkirakan Rp 138,5 triliun.

Dana Bagi Hasil Migas

Protes atas ketidakadilan pusat dalam hal alokasi anggaran pembangunan Kaltim melalui upaya tuntutan uji materiil Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang digagas Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu (MRKTB) adalah wajar.

Masyarakat Kaltim jauh lebih dewasa menyikapi perbedaan dengan menempuh jalur-jalur konstitusional untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan lewat uji materi ketimbang melakukan tuntutan dengan cara-cara keras, anarkis, bahkan mengancam memisahkan diri dari NKRI.

MRKTB berpendapat, frase ”84,5 persen untuk pemerintah dan 15,5 persen untuk daerah atas bagi hasil minyak” dan frase ”69,5 persen untuk pemerintah dan 30,5 persen untuk daerah atas bagi hasil gas” dalam ketentuan Pasal 14 huruf e dan f UU No 33/2004 bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 1 Ayat (1); Pasal 33 Ayat (1), (3), dan (4); Pasal 18A Ayat (2); Pasal 28D Ayat (1); Pasal 28I Ayat (2).

Pembagian bagi hasil migas untuk Papua berdasarkan pada Pasal 34 UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua mengatur pembagian hasil migas, di mana bagi hasil SDA pertambangan minyak bumi sebesar 70 persen dan gas alam 70 persen. Dana bagi hasil migas untuk Aceh berdasarkan UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh juga sama dengan Papua.

Masalahnya, formula bagi hasil migas 70 persen untuk Aceh dan Papua serta 30 persen untuk pemerintah pusat tak memiliki dasar empiris-akademis yang kuat. Pertimbangan politis amat kental dalam penentuan bagi hasil migas untuk Aceh dan Papua.

Sejak dikeluarkannya UU No 33/2004, muncul berbagai protes ketidaksetujuan atas isi UU tersebut. Protes terutama diajukan oleh daerah yang kaya SDA. Karena tidak mendapat otonomi khusus seperti Aceh dan Papua, sekitar 17 daerah penghasil migas hanya menerima dana bagi hasil minyak 15,5 persen dan gas 30,5 persen. Ironisnya, daerah yang kaya SDA mengalami kekurangan dana pembiayaan daerah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dan menurunkan tingkat kemiskinan.

Tidak mengherankan, daerah yang kaya SDA tak setuju dengan ketetapan dalam hal alokasi dana perimbangan (DAU, DAK, dana bagi hasil) dan menghendaki adanya revisi terhadap UU tersebut.

Dana bagi hasil yang bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal pusat-daerah tak tercapai. Ternyata, daerah-daerah penghasil migas memiliki tingkat kemiskinan yang jauh lebih tinggi daripada daerah yang tak punya SDA. Rakyat di daerah kaya SDA hanya mendapatkan sampah, kerusakan lingkungan, dan sedih tak berkesudahan akibat eksploitasi ekonomi.

Dana bagi hasil minyak dan gas bagi Kaltim yang ada selama ini ternyata tak cukup membantu pemerintah daerah untuk membiayai program-program pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Baik terkait rendahnya tingkat kesejahteraan, sulitnya pendidikan dan lapangan kerja, buruknya kesehatan, maupun lingkungan hidup masyarakat. Sudah saatnya pemerintah pusat meninjau ulang pola bagi hasil migas yang dinilai tak adil, bersifat diskriminatif antara daerah otonomi khusus dan penghasil migas di luar Aceh dan Papua.

Akhirnya, rakyat Indonesia mengingat ucapan seorang tokoh penting di negeri ini yang disampaikan di depan masyarakat Muslim di Makassar pada saat salat Idul Adha tahun 2010. Dia mengatakan, ”Indonesia akan karam, bukan karena bencana. Indonesia akan karam karena bencana yang lebih dahsyat. Bukan bencana alam, tetapi bencana ketidakadilan. Bencana ketidakadilan itulah yang akan mengakibatkan Indonesia karam.”

Semoga ketidakadilan ini dapat segera diakhiri dengan uji materi di MK ataupun perubahan UU No 33/2004 yang dipersiapkan Kementerian Keuangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar