Turunkan
Angka Kematian Tjandra Yoga Aditama ; Direktur Pascasarjana Universitas YARSI,
Guru Besar FKUI, Mantan Direktur WHO Asia Tenggara serta Mantan Dirjen P2P
dan Kepala Balitbangkes |
KOMPAS, 31 Juli 2021
Tajuk
Rencana Kompas, 26 Juli 2021, berjudul ”Daya Lenting Bangsa Indonesia Diuji”,
antara lain, membahas tentang angka kematian akibat Covid-19 dengan harapan
penurunan angka kematian 25 Juli 2021 menjadi 1.266 kematian merupakan
pertanda mulai melandainya kurva kematian. Namun,
data hari-hari berikutnya menunjukkan hal berbeda. Tanggal 26 Juli tercatat
1.487 orang meninggal, bahkan pada 27 Juli 2021 angka yang meninggal menembus
”batas psikologis” 2.000 kematian, tepatnya 2.069 warga kita yang meninggal
dalam sehari akibat penyakit ini. Tajuk
Rencana Kompas 26 Juli 2021 itu juga menuliskan bahwa angka kematian
tertinggi di India adalah 5.015 pada 23 Mei 2021. Penduduk India sekitar
empat kali penduduk Indonesia, jadi kalau dianalogikan, jumlah kematian
tertinggi di India itu setara di negara kita dengan 5.015 dibagi empat atau
sekitar 1.250, sementara kenyataan di kita sudah lebih dari 2.000 orang yang
meninggal dalam satu hari. Hal
ini tentu amat memprihatinkan karena jumlah yang meninggal bukan hanya
sebatas angka saja. Keluarga dan kerabat kita yang sudah meninggal tak akan
mungkin kembali lagi, apalagi jumlahnya sudah amat tinggi. Upaya maksimal
harus dilakukan untuk menganalisis, menekan, dan menurunkan jumlah warga kita
yang meninggal karena Covid-19. Setidaknya ada empat aspek yang perlu dapat
perhatian utama. Penularan di masyarakat dan varian
baru Aspek
pertama yang perlu diketahui adalah bahwa sudah jelas tingginya angka
kematian berhubungan dengan besarnya jumlah kasus yang ada. Kalau angka
penularan di masyarakat masih amat tinggi, kasus akan terus bertambah dan
secara proporsional kasus yang berat dan meninggal juga akan terus bertambah
pula. Penularan
di masyarakat ditandai dengan angka kepositifan (positivity rate), yang di
Indonesia angka totalnya sekitar 25 persen, sementara kalau berdasarkan tes
PCR saja angkanya bahkan lebih dari 40 persen. Angka kepositifan 25 persen
(beberapa hari bahkan 30 persen), jelas amat tinggi. Negara tetangga Malaysia
yang juga sedang menghadapi kenaikan kasus, angka kepositifannya hanya
sekitar 9 persen. India yang pernah amat tinggi, sekarang angka kepositifan
hanya sekitar 2 persen saja. Tingginya
angka kepositifan menunjukkan tingginya penularan di masyarakat. Artinya,
orang yang tertular dan sakit masih terus tinggi dan sebagian dari mereka
akan mengalami sakit berat dan bukan tak mungkin meninggal. Tegasnya, untuk
menurunkan angka kematian, yang utama adalah kegiatan di hulunya, di awalnya,
yaitu menekan jumlah kasus baru dengan cara menekan angka penularan di
masyarakat. Pemberlakuan
pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat yang dijalankan merupakan salah
satu bentuk pembatasan sosial untuk menekan angka penularan sehingga harus
dilakukan dengan ketat dan terukur, berdasarkan bukti ilmiah yang ada. Meningkatkan
tes dan telusur juga merupakan upaya yang amat penting. Hanya dengan tes dan
telusur yang masif, maka kita dapat menemukan kasus di masyarakat, segera
memberikan penanganan kepada mereka sebelum terlambat, dan mengisolasi mereka
yang positif sehingga rantai penularan dapat dihentikan. Dalam hal ini,
vaksinasi juga harus terus ditingkatkan. Target satu juta atau dua juta per
hari harus dapat terlaksana secara konsisten. Aspek
kedua dari tingginya angka kematian yang kita hadapi memang adalah varian
baru yang ada. Dalam arahan pada 25 Juli 2021, Presiden Joko Widodo
mengingatkan, kita harus waspada menghadapi varian Delta yang sangat menular.
Presiden bahkan juga mengingatkan ada kemungkinan dunia akan menghadapi varian
lain yang lebih menular ketimbang varian Delta. Pada
12 Juli 2021, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros
Ghebreyesus juga mengungkapkan, varian Delta kini terus meluas di dunia dan
berhubungan dengan kenaikan kasus dan kematian. Varian Delta sudah ada di
lebih dari 104 negara dan bukan tidak mungkin akan mendominasi situasi di
waktu mendatang ini. Ketua
Emergency Committee WHO tentang Covid-19 Prof Didier Houssain, 12 Juli 2021,
menyatakan, ada kemungkinan besar (strong likelihood) di waktu mendatang akan
ada varian baru yang menyebar di dunia yang mungkin lebih berbahaya dan
bahkan lebih sulit dikendalikan. Artinya, memang kita berhadapan dengan
varian yang berbeda dibandingkan dengan waktu-waktu yang lalu, yang bukan
tidak mungkin jadi salah satu penyebab peningkatan penularan dan kematian
pula. Untuk
ini, jumlah pemeriksaan whole genome sequencing (WGS) di negara kita harus
ditingkatkan agar kita tahu persis varian-varian apa saja yang ada dan
diantisipasi penanganannya dengan lebih baik. Isoman dan rumah sakit Aspek
ketiga adalah penanganan mereka yang sedang isolasi mandiri (isoman). Sebelum
bicara tentang yang mandiri, maka akan baik kalau ada analisis tentang ribuan
warga kita yang meninggal setiap hari ini, berapa yang meninggal di rumah
sakit, berapa yang meninggal di rumah, berapa yang sudah dibawa ke rumah
sakit serta tidak dapat tempat, dan lain-lain. Dengan
analisis kesehatan masyarakat secara mendalam seperti ini, maka kita akan
tahu di mana masalah yang terjadi dan apa yang perlu dilakukan secara lebih
tepat untuk mengatasinya. Untuk
mereka yang isoman di rumah, ada empat hal yang amat penting dilakukan.
Pertama dan utama adalah evaluasi keadaannya secara rutin setidaknya dua kali
sehari, mulai dari suhu dengan termometer, saturasi oksigen dengan oksimeter
dan perubahan gejala yang terjadi, serta juga perubahan pada penyakit
komorbid yang ada. Akan
baik kalau semua yang isoman diberikan termometer dan oksimeter. Kalau mereka
ada penyakit gula, misalnya, maka kadar gula dengan rapid test perlu juga
dicek secara berkala. Kalau pasien ada riwayat hipertensi, maka tekanan darah
harus diukur setidaknya dua kali sehari. Jadi,
selain evaluasi tentang Covid-19, juga harus dilakukan evaluasi terhadap
penyakit yang sudah ada karena kalau penyakit komorbid ini memburuk akan
berakibat buruk juga pada Covid-19-nya dan bukan tidak mungkin mengarah ke
keadaan kritis dan bahkan kematian. Hal
kedua tentang isoman adalah adanya komunikasi dengan petugas kesehatan secara
rutin, sebaiknya setiap hari. Ini dapat dilakukan dengan telepon atau pesan
Whatsapp ke rumah sakit atau puskesmas atau lewat telemedicine yang
disediakan pemerintah atau setidaknya selalu berkomunikasi dengan dokter atau
petugas kesehatan lain yang dikenal. Dengan komunikasi teratur ini,
perburukan keadaan bisa dideteksi secara dini dan ditangani segera. Hal
ketiga barulah penyediaan obat, baik obat untuk Covid-19 maupun yang juga
sama pentingnya, yakni obat untuk penyakit komorbid yang harus dikonsumsi.
Konsumsi obat-obatan ini tentu sebaiknya dalam konsultasi dengan dokter,
selain vitamin dan obat bebas lain. Hal
keempat untuk mereka yang isoman adalah agar tetap menjaga pola hidup bersih
sehat, selalu makan bergizi, melakukan aktivitas fisik, istirahat cukup, serta
mengelola stres dengan baik. Audit kematian Aspek
keempat dalam pengendalian angka kematian tentunya penanganan pasien gawat
dan kritis di RS. Aspek ini memang amat penting, tetapi lebih penting lagi
untuk menangani akar masalahnya, yaitu menurunkan jumlah kasus yang terjadi
dengan menekan penularan di masyarakat. Tentang
kematian di RS, tentu akan baik kalau dilakukan audit kasus kematian, suatu
prosedur yang sudah rutin dilakukan di berbagai RS. Kalau hasil audit ini
dikumpulkan dan dikompilasi, akan didapat pola nasional tentang faktor-faktor
yang berhubungan dengan tingginya angka kematian. Faktor
pasien datang terlambat ke RS tentu berhubungan dengan sistem rujukan dengan
pelayanan kesehatan primer. Artinya, upaya penurunan angka kematian juga harus
melibatkan pelayanan kesehatan primer dan sistem kesehatan secara
keseluruhan. Tentang
oksigen, sudah banyak dibahas, dan mudah-mudahan dari waktu ke waktu akan
teratasi. Tentang ketersediaan instalasi gawat darurat (IGD) dan tempat tidur
rawat, juga sudah banyak ditangani. Tempat tidur unit rawat intensif
(intensive care unit/ICU) beserta alatnya perlu perhatian penting walau
tenaga kesehatannya tentu perlu dapat perhatian. WHO
bahkan memasukkan jumlah tenaga ICU terlatih sebagai salah satu indikator
tambahan untuk menentukan level pembatasan sosial, apakah level 4 atau 3 dan
seterusnya. Ketersediaan obat yang mutakhir memang juga diperlukan, seperti
Tocilizumab, immunoglobulin intravena, atau antibodi monoklonal. Kita
perlu gunakan obat yang direkomendasikan organisasi internasional, seperti
WHO, serta badan nasional, seperti Kementerian Kesehatan, Badan Pengawasan
Obat dan Makanan (BPOM), juga organisasi profesi kedokteran yang ada di
negara kita. Tentu badan dan organisasi berwenang ini akan menetapkan obat
yang sudah terbukti secara ilmiah efektif dan aman. Dalam
pelayanan kesehatan pada Covid-19 ini, perlu kita tegaskan sekali lagi
tentang peran sentral tenaga kesehatan. Memang cukup sulit menambah kapasitas
tempat tidur, tidak mudah mencari sumber oksigen, sulit untuk mendapat
obat-obatan baru yang canggih, tetapi menambah sekian ratus atau sekian ribu
tenaga kesehatan betul-betul merupakan tantangan utama yang amat sulit
dilakukan. Sementara
itu, petugas kesehatan juga harus mendapat perlindungan dalam melaksanakan
tugasnya, jam kerja yang wajar, keamanan kerja dengan alat pelindung duri
(APD) yang memberikan proteksi maksimal, dan pemenuhan hak mereka dalam
menjalankan tugas. Kematian
akibat Covid-19 harus kita tekan dan kendalikan. Cara penanggulangannya harus
berdasarkan analisis situasi yang ada serta harus dilakukan dari hulu sampai
hilir secara menyeluruh, semua perlu mendapat prioritas penting, we have to do it all. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar