Minggu, 01 Agustus 2021

 

Turunkan Angka Kematian

Tjandra Yoga Aditama ;  Direktur Pascasarjana Universitas YARSI, Guru Besar FKUI, Mantan Direktur WHO Asia Tenggara serta Mantan Dirjen P2P dan Kepala Balitbangkes

KOMPAS, 31 Juli 2021

 

 

                                                           

Tajuk Rencana Kompas, 26 Juli 2021, berjudul ”Daya Lenting Bangsa Indonesia Diuji”, antara lain, membahas tentang angka kematian akibat Covid-19 dengan harapan penurunan angka kematian 25 Juli 2021 menjadi 1.266 kematian merupakan pertanda mulai melandainya kurva kematian.

 

Namun, data hari-hari berikutnya menunjukkan hal berbeda. Tanggal 26 Juli tercatat 1.487 orang meninggal, bahkan pada 27 Juli 2021 angka yang meninggal menembus ”batas psikologis” 2.000 kematian, tepatnya 2.069 warga kita yang meninggal dalam sehari akibat penyakit ini.

 

Tajuk Rencana Kompas 26 Juli 2021 itu juga menuliskan bahwa angka kematian tertinggi di India adalah 5.015 pada 23 Mei 2021. Penduduk India sekitar empat kali penduduk Indonesia, jadi kalau dianalogikan, jumlah kematian tertinggi di India itu setara di negara kita dengan 5.015 dibagi empat atau sekitar 1.250, sementara kenyataan di kita sudah lebih dari 2.000 orang yang meninggal dalam satu hari.

 

Hal ini tentu amat memprihatinkan karena jumlah yang meninggal bukan hanya sebatas angka saja. Keluarga dan kerabat kita yang sudah meninggal tak akan mungkin kembali lagi, apalagi jumlahnya sudah amat tinggi. Upaya maksimal harus dilakukan untuk menganalisis, menekan, dan menurunkan jumlah warga kita yang meninggal karena Covid-19. Setidaknya ada empat aspek yang perlu dapat perhatian utama.

 

Penularan di masyarakat dan varian baru

 

Aspek pertama yang perlu diketahui adalah bahwa sudah jelas tingginya angka kematian berhubungan dengan besarnya jumlah kasus yang ada. Kalau angka penularan di masyarakat masih amat tinggi, kasus akan terus bertambah dan secara proporsional kasus yang berat dan meninggal juga akan terus bertambah pula.

 

Penularan di masyarakat ditandai dengan angka kepositifan (positivity rate), yang di Indonesia angka totalnya sekitar 25 persen, sementara kalau berdasarkan tes PCR saja angkanya bahkan lebih dari 40 persen. Angka kepositifan 25 persen (beberapa hari bahkan 30 persen), jelas amat tinggi. Negara tetangga Malaysia yang juga sedang menghadapi kenaikan kasus, angka kepositifannya hanya sekitar 9 persen. India yang pernah amat tinggi, sekarang angka kepositifan hanya sekitar 2 persen saja.

 

Tingginya angka kepositifan menunjukkan tingginya penularan di masyarakat. Artinya, orang yang tertular dan sakit masih terus tinggi dan sebagian dari mereka akan mengalami sakit berat dan bukan tak mungkin meninggal. Tegasnya, untuk menurunkan angka kematian, yang utama adalah kegiatan di hulunya, di awalnya, yaitu menekan jumlah kasus baru dengan cara menekan angka penularan di masyarakat.

 

Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat yang dijalankan merupakan salah satu bentuk pembatasan sosial untuk menekan angka penularan sehingga harus dilakukan dengan ketat dan terukur, berdasarkan bukti ilmiah yang ada.

 

Meningkatkan tes dan telusur juga merupakan upaya yang amat penting. Hanya dengan tes dan telusur yang masif, maka kita dapat menemukan kasus di masyarakat, segera memberikan penanganan kepada mereka sebelum terlambat, dan mengisolasi mereka yang positif sehingga rantai penularan dapat dihentikan. Dalam hal ini, vaksinasi juga harus terus ditingkatkan. Target satu juta atau dua juta per hari harus dapat terlaksana secara konsisten.

 

Aspek kedua dari tingginya angka kematian yang kita hadapi memang adalah varian baru yang ada. Dalam arahan pada 25 Juli 2021, Presiden Joko Widodo mengingatkan, kita harus waspada menghadapi varian Delta yang sangat menular. Presiden bahkan juga mengingatkan ada kemungkinan dunia akan menghadapi varian lain yang lebih menular ketimbang varian Delta.

 

Pada 12 Juli 2021, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Ghebreyesus juga mengungkapkan, varian Delta kini terus meluas di dunia dan berhubungan dengan kenaikan kasus dan kematian. Varian Delta sudah ada di lebih dari 104 negara dan bukan tidak mungkin akan mendominasi situasi di waktu mendatang ini.

 

Ketua Emergency Committee WHO tentang Covid-19 Prof Didier Houssain, 12 Juli 2021, menyatakan, ada kemungkinan besar (strong likelihood) di waktu mendatang akan ada varian baru yang menyebar di dunia yang mungkin lebih berbahaya dan bahkan lebih sulit dikendalikan. Artinya, memang kita berhadapan dengan varian yang berbeda dibandingkan dengan waktu-waktu yang lalu, yang bukan tidak mungkin jadi salah satu penyebab peningkatan penularan dan kematian pula.

 

Untuk ini, jumlah pemeriksaan whole genome sequencing (WGS) di negara kita harus ditingkatkan agar kita tahu persis varian-varian apa saja yang ada dan diantisipasi penanganannya dengan lebih baik.

 

Isoman dan rumah sakit

 

Aspek ketiga adalah penanganan mereka yang sedang isolasi mandiri (isoman). Sebelum bicara tentang yang mandiri, maka akan baik kalau ada analisis tentang ribuan warga kita yang meninggal setiap hari ini, berapa yang meninggal di rumah sakit, berapa yang meninggal di rumah, berapa yang sudah dibawa ke rumah sakit serta tidak dapat tempat, dan lain-lain.

 

Dengan analisis kesehatan masyarakat secara mendalam seperti ini, maka kita akan tahu di mana masalah yang terjadi dan apa yang perlu dilakukan secara lebih tepat untuk mengatasinya.

 

Untuk mereka yang isoman di rumah, ada empat hal yang amat penting dilakukan. Pertama dan utama adalah evaluasi keadaannya secara rutin setidaknya dua kali sehari, mulai dari suhu dengan termometer, saturasi oksigen dengan oksimeter dan perubahan gejala yang terjadi, serta juga perubahan pada penyakit komorbid yang ada.

 

Akan baik kalau semua yang isoman diberikan termometer dan oksimeter. Kalau mereka ada penyakit gula, misalnya, maka kadar gula dengan rapid test perlu juga dicek secara berkala. Kalau pasien ada riwayat hipertensi, maka tekanan darah harus diukur setidaknya dua kali sehari.

 

Jadi, selain evaluasi tentang Covid-19, juga harus dilakukan evaluasi terhadap penyakit yang sudah ada karena kalau penyakit komorbid ini memburuk akan berakibat buruk juga pada Covid-19-nya dan bukan tidak mungkin mengarah ke keadaan kritis dan bahkan kematian.

 

Hal kedua tentang isoman adalah adanya komunikasi dengan petugas kesehatan secara rutin, sebaiknya setiap hari. Ini dapat dilakukan dengan telepon atau pesan Whatsapp ke rumah sakit atau puskesmas atau lewat telemedicine yang disediakan pemerintah atau setidaknya selalu berkomunikasi dengan dokter atau petugas kesehatan lain yang dikenal. Dengan komunikasi teratur ini, perburukan keadaan bisa dideteksi secara dini dan ditangani segera.

 

Hal ketiga barulah penyediaan obat, baik obat untuk Covid-19 maupun yang juga sama pentingnya, yakni obat untuk penyakit komorbid yang harus dikonsumsi. Konsumsi obat-obatan ini tentu sebaiknya dalam konsultasi dengan dokter, selain vitamin dan obat bebas lain.

 

Hal keempat untuk mereka yang isoman adalah agar tetap menjaga pola hidup bersih sehat, selalu makan bergizi, melakukan aktivitas fisik, istirahat cukup, serta mengelola stres dengan baik.

 

Audit kematian

 

Aspek keempat dalam pengendalian angka kematian tentunya penanganan pasien gawat dan kritis di RS. Aspek ini memang amat penting, tetapi lebih penting lagi untuk menangani akar masalahnya, yaitu menurunkan jumlah kasus yang terjadi dengan menekan penularan di masyarakat.

 

Tentang kematian di RS, tentu akan baik kalau dilakukan audit kasus kematian, suatu prosedur yang sudah rutin dilakukan di berbagai RS. Kalau hasil audit ini dikumpulkan dan dikompilasi, akan didapat pola nasional tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan tingginya angka kematian.

 

Faktor pasien datang terlambat ke RS tentu berhubungan dengan sistem rujukan dengan pelayanan kesehatan primer. Artinya, upaya penurunan angka kematian juga harus melibatkan pelayanan kesehatan primer dan sistem kesehatan secara keseluruhan.

 

Tentang oksigen, sudah banyak dibahas, dan mudah-mudahan dari waktu ke waktu akan teratasi. Tentang ketersediaan instalasi gawat darurat (IGD) dan tempat tidur rawat, juga sudah banyak ditangani. Tempat tidur unit rawat intensif (intensive care unit/ICU) beserta alatnya perlu perhatian penting walau tenaga kesehatannya tentu perlu dapat perhatian.

 

WHO bahkan memasukkan jumlah tenaga ICU terlatih sebagai salah satu indikator tambahan untuk menentukan level pembatasan sosial, apakah level 4 atau 3 dan seterusnya. Ketersediaan obat yang mutakhir memang juga diperlukan, seperti Tocilizumab, immunoglobulin intravena, atau antibodi monoklonal.

 

Kita perlu gunakan obat yang direkomendasikan organisasi internasional, seperti WHO, serta badan nasional, seperti Kementerian Kesehatan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), juga organisasi profesi kedokteran yang ada di negara kita. Tentu badan dan organisasi berwenang ini akan menetapkan obat yang sudah terbukti secara ilmiah efektif dan aman.

 

Dalam pelayanan kesehatan pada Covid-19 ini, perlu kita tegaskan sekali lagi tentang peran sentral tenaga kesehatan. Memang cukup sulit menambah kapasitas tempat tidur, tidak mudah mencari sumber oksigen, sulit untuk mendapat obat-obatan baru yang canggih, tetapi menambah sekian ratus atau sekian ribu tenaga kesehatan betul-betul merupakan tantangan utama yang amat sulit dilakukan.

 

Sementara itu, petugas kesehatan juga harus mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugasnya, jam kerja yang wajar, keamanan kerja dengan alat pelindung duri (APD) yang memberikan proteksi maksimal, dan pemenuhan hak mereka dalam menjalankan tugas.

 

Kematian akibat Covid-19 harus kita tekan dan kendalikan. Cara penanggulangannya harus berdasarkan analisis situasi yang ada serta harus dilakukan dari hulu sampai hilir secara menyeluruh, semua perlu mendapat prioritas penting, we have to do it all. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar