Senin, 09 Agustus 2021

 

Stabilkah Indonesia pada Proklamasi Ke-100?

Jean Couteau ;  Penulis kolom “UDAR RASA” Kompas Minggu

KOMPAS, 8 Agustus 2021

 

 

                                                           

Di mana-mana bendera Merah Putih sudah berkibar. Di mana-mana masyarakat merayakan kemenangan medali emas bagi pemain bulu tangkis di Olimpiade Tokyo.

 

Ya, biar pun korban pandemi berjatuhan tak terhitung jumlahnya, rakyat seluruh Nusantara masih tetap bersiap-siap untuk merayakan dengan gembira ulang tahun ke-76 Kemerdekaan Indonesia. Tetapi, akankah demikian pula bagi proklamasi ke-100?

 

Sekarang ini, bila Indonesia dibandingkan dengan negara multireligius apa pun lainnya di Asia, situasinya jauh lebih baik. India boleh disebut demokratis, tapi tetap ada perlakukan diskriminatif terhadap warga minoritas Islam di sana. Lalu bagaimana Pakistan? Di situ, para penganut Syah dan Sikh juga mengalami diskriminasi.

 

Bagaimana Bangladesh? Sederhana: minoritas Hindunya ramai-ramai hengkang ke India, bukan tanpa alasan. Kalau Myanmar? Lebih jelek lagi: bahkan pada waktu kepemimpinan ”demokratis” seorang Aung San Suu Kyi, penduduk Rohingya kerap disebut korban ”genosida”.

 

Bisa saja mengulur daftar negara lain: Sri Lanka memiliki persoalan serupa. Thailand dan Filipina punya persoalan separatisme Islam-nya. Sebagai penutup, bagaimana dengan China? Oh! Kalau Islam Uighur, memori kulturalnya digojlok agar tampil ”Marxis-Leninis” ragam China. Belum tentu lebih baik, kan?

 

Rumus kebangsaan Indonesia tampak jauh lebih kokoh daripada rumus kebangsaan hampir semua negara multireligius lainnya, yang entah ”menaklukkan” agama seperti China; memutlakkannya secara hukum atau faktual seperti Pakistan dan Myanmar; atau melencengkan hukum sehingga suatu agama saja diunggulkan, seperti di India, Bangladesh, dan bahkan Malaysia.

 

Melihat itu, apakah Indonesia adalah ”surga” agama-agama? Tidak: berbagai anutan marjinal masih terlarang; masih ada diskriminasi sana-sini. Namun, disokong Pancasila, negara tidak mengancam agama, dan agama tidak mengancam negara; semua institusi pokok negara bersifat multietnis dan multireligius: tentara, polisi, peradilan, pendidikan; dan situasi keseharian tidak tegang di seputar agama.

 

Apakah situasi multikultural ini bisa lestari? Tergantung. Pada umumnya, bila salah kelola, modernisasi dapat bermuara pada kristalisasi identiter agama, antara lain karena merombak mekanisme tradisional transmisi pengetahuan: kemelekhurufan, yang fenomena ”baru” itu, memperluas otonomi tafsir terhadap kitab-kitab suci; orang bisa mengaksesnya sendiri tanpa bimbingan guru spiritual tradisional.

 

Alhasil, ketika tanda-tanda ketidakadilan sosial terlihat meningkat akibat modernisasi, kerap terjadi elite-elite lama entah kehilangan kuasa atau tidak ada pilihan selain merangkul para ideolog agama didikan baru yang lebih ”mempribumi” dan lebih fanatik juga. Jadi, agama tersulap menjadi sarana perjuangan politik. Kalau sudah sampai ke situ, agama bisa saja terisap pusaran identiter yang tiada henti, seperti di beberapa negara di atas. Jauh dari pertimbangan spiritual apa pun.

 

Indonesia relatif terlindungi terhadap evolusi itu. Terlidungi oleh laut, tradisi keterbukaannya, serta ideologinya. Tetapi, apakah cukup? Sejak 1966, otonomi tafsir tahap awal sudah membawa buah: tafsir terbuka ala Nurcholish Madjid, tetapi juga lahir kelompok-kelompok ultrakonservatif dan radikal.

 

Namun, tantangan yang sebenarnya berada 10-20 tahun ke depan: bila pendidikan sudah meningkat, tetapi tanpa disertai keadilan sosial, terdapat risiko bahwa generasi muda, yang semuanya akan rata-rata berijazah SMA ke atas, kian cenderung melepaskan diri dari tafsir kiai/ulama tradisional untuk merangkul tafsir radikal sebagai sarana perjuangan sosial.

 

Fenomena kemungkinan pergeseran pemuda Islam ke arah radikalisme ini menggugah sosiolog terkemuka Indonesia, Thamrin Amal Tomagola, untuk memberi peringatan: ”Be ready for the worse”, dia menulis tahun 2017, mengenai risiko radikalisme urban (Festschrift ke-84 Toeti Heraty, 2017).

 

Risiko radikalisme juga menghantui agama lain, dengan problematik yang serupa: masalah sosio-ekonomi ditanggapi sebagai masalah agama. Misalnya di Bali, di mana perlawanan terhadap reklamasi Teluk Benoa pernah mengambil bentuk religius, dan di mana anggota DPD dengan raihan suara tertinggi kerap berpidato di ambang batas toleransi.

 

Yang pokok ialah bahwa penguasa negeri ini memahami bahwa radikalisme agama adalah fenomena sosial murni. Berakar di luar agama, dan hendaknya dihadapi secara politik-demokratis, dibantu kebijakan pendidikan yang tepat nan ketat, serta kebijakan keadilan sosial yang seadil-adilnya.

 

Memahami ini adalah syarat perayaan 100 tahun kemerdekaan yang riang gembira kelak, 24 tahun lagi. Mampukah sistem kepartaian ini menghadapi tantangan ini? Semoga. ”Prevention is better than cure”. Mencegah lebih baik daripada mengobati.

 

Merdeka! ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar