Solusi
agar Jakarta Tak Tenggelam Julian Saputra ; Technical Assistant Program Ekosistem
Kelautan Yayasan KEHATI |
TEMPO.CO, 2 Agustus 2021
Presiden Amerika Serikat, Joe Biden baru-baru
ini membuat pernyataan yang menyentak warga Jakarta. Dalam pidatonya yang
dipublikasikan whitehouse.gov, Biden menyebutkan kenaikan permukaan laut
dapat menenggelamkan Jakarta dalam sepuluh tahun ke depan. Pernyataan Joe
Biden tersebut disampaikan setelah ia mengetahui adanya dampak dari perubahan
iklim yang kian ekstrem, dengan proyeksi peningkatan permukaan laut sekitar
dua setengah kaki atau sekitar 76,2 cm. Memang, daerah pesisir Jakarta beberapa tahun
belakangan semakin akrab dengan bencana banjir rob. Hal ini berdampak pada
aktivitas pemerintahan dan ekonomi tidak hanya regional Jakarta, bahkan
Indonesia. Dimana status Jakarta yang merupakan daerah khusus ibukota
sekaligus menjadi pusat ekonomi Indonesia. Banjir rob sendiri disebabkan fenomena
tinggi-rendahnya pasang surut air laut yang terjadi pada musim hujan maupun
musim kemarau. Jadi rob ini tidak berpengaruh terhadap curah hujan. Faktor
lain yang mempengaruhi rob adalah kenaikan muka air laut akibat pemanasan
global. Kemudian penurunan muka tanah (land subsidence) akibat beban bangunan
yang semakin banyak, diperparah dengan pemakaian air tanah yang tidak
terkendali. Sayangnya, semua faktor tersebut dapat ditemukan di pesisir
Jakarta sehingga memperparah kondisi rob yang terjadi setiap tahun. Selain
rob, ancaman abrasi juga terjadi lantaran banyak wilayah di pesisir Jakarta
berubah menjadi kawasan industri dan perumahan. Saat ini, banyak kawasan di daerah pesisir
utara Jakarta yang telah ditinggalkan penduduknya akibat sudah tergenang air
laut, bahkan beberapa daerah sudah terendam secara permanen. Di beberapa
daerah, seperti di daerah Muara Angke, permukaan air laut sudah lebih tinggi
dari daratan, yang dipisahkan oleh tanggul. Sepertinya ramalan beberapa ahli
yang menyebutkan Jakarta akan tenggelam pada tahun 2050 makin terlihat
kebenarannya. Berbagai prediksi soal potensi Jakarta
tenggelang harus dapat menyadarkan kita semua akan potensi bencana yang sudah
di depan mata. Berbagai aksi harus dilakukan untuk mengurangi efek perubahan
iklim, diantaranya mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, dan memperbanyak
penggunaan energi terbarukan yang bebas emisi. Komitmen pemerintah harus
ditingkatkan dalam transisi penggunaan energi fosil menjadi energi terbarukan
yang ramah lingkungan. Menurut salah satu Lembaga advokasi dan
kampanye penyediaan energi masyarakat, Institute for Essential Services
Reform (IESR), pemenuhan bauran energi terbarukan hingga akhir tahun 2020
masih sekitar 11,5 persen, dari target akselerasi pembangunan energi terbarukan
sebesar 23 persen hingga tahun 2025. Namun di sisi lain, pemerintah masih
akan menambah penggunaan energi fosil dengan menambah jumlah PLTU hingga
tahun 2027, sebagaimana tertuang dalam draf Rencana Usaha Penyediaan Tenaga
Listrik (RUPTL) tahun 2021-2030. Hal ini tentu menyulitkan dalam mencapai
target penurunan gas rumah kaca dan memerangi perubahan iklim dalam waktu
dekat. Sedangkan untuk mengurangi laju penurunan
tanah dapat dilakukan dengan mengurangi penyedotan air tanah dengan mencari
sumber-sumber air lain yang dapat dimanfaatkan. Selanjutnya, daerah resapan
air harus diperbanyak untuk memudahkan air hujan masuk ke dalam tanah. Selain pengurangan emisi dan pengurangan
penyedotan air tanah diatas, adakah aksi lain yang dapat dilakukan? Mangrove Sebagai
Mitigasi Perubahan Iklim serta Penahan Laju Abrasi Perubahan iklim terjadi karena adanya
pemanasan global. Meningkatnya karbon dioksida (CO2) dan gas lainnya di
atmosfer merupakan faktor terkuat terjadinya pemanasan global. Peningkatan
suhu atmosfer terjadi sangat signifikan. Jika tidak ada upaya mitigasi yang
dilakukan, para ahli memperkirakan gunung es di kutub utara dan kutub selatan
akan mencair dan habis pada tahun 2050, serta akan menenggelamkan kota-kota
di dunia, termasuk Jakarta. Upaya mitigasi dapat dilakukan dengan menyerap
karbon sebanyak-banyaknya di atmosfer. Salah satu ekosistem yang dapat
menyerap karbon dalam jumlah besar adalah mangrove. Mangrove merupakan
ekosistem hutan yang tumbuh di daerah pesisir dan tergenang oleh fenomena pasang
surut air laut. Indonesia merupakan negara dengan luas mangrove terbesar di
dunia dengan luas sekitar 3,31 juta hektar. Di saat yang bersamaan, mangrove
merupakan vegetasi yang paling cepat terdegradasi di Indonesia. Sering kali
mangrove hanya dianggap sebagai “lahan sampah” yang menunggu untuk
dibersihkan dan dibangun. Salah satu faktor degradasi terbesar adalah alih
fungsi lahan menjadi kawasan pemukiman dan industi. Mangrove yang populer dengan blue carbon
diketahui dapat menyerap karbon lebih banyak dari tanaman tropis. Karbon di
atmosfer diserap dan disimpan sebagai biomassa di tegakan pohon serta di
tanah atau sedimen. Sebaliknya, menebang mangrove berarti melepas karbon
kembali ke atmosfer. Terdapat banyak sekali jasa ekosistem yang diberikan mangrove
terhadap alam dan manusia selain sebagai penyerap karbon, salah satunya
adalah sebagai penahan abrasi. Sistem perakaran yang kokoh dan efisien dapat
menahan tanah di pesisir dari pengikisan akibat terjangan ombak dan arus
laut. Sudah banyak contoh daerah di Indonesia yang
dibangun tidak berwawasan lingkungan sehingga menyebabkan kerusakan, seperti
menebang hutan mangrove untuk daerah tambak dan pemukiman. Contohnya di
Daerah Muara Gembong, Kabupaten Bekasi yang berjarak sekitar 70 km dari
Ibukota Jakarta. Pada decade 1990an daerah ini dikenal sebagai Kampung Dolar
karena penghasilan warga dari produksi tambak mencapai 10 juta per minggu. Masalah bermula ketika terjadi krisis moneter
pada tahun 1998 yang menyebabkan banyak nelayan memperluas tambak mereka
dengan membabat hutan mangrove. Tambak tersebut hanya berjaya hingga tahun
2005. Setelah tahun tersebut, barulah muncul masalah dengan terjadinya banjir
rob yang datang sepanjang tahun, diiringi dengan abrasi. Hingga kini banyak
rumah yang hilang dan warga terpaksa direlokasi, contohnya di kampung
Muarajaya dimana sekitar 50 rumah hilang akibat abrasi, dan warganya terpaksa
direlokasi ke Kampung Baru di Desa Pantaimekar. Tidak hanya menghindari pesisir dari abrasi,
mangrove yang ditanam dapat memberikan jasa lingkungan lain seperti mencegah
erosi, dan mencegah intrusi air laut.
Jakarta dapat melakukan kegiatan serupa agar bisa mengurangi dampak
rob di daerah-daerah yang sudah tergenang. Dengan menanam mangrove di daerah
tersebut, maka akan menahan akses air menggenangi daerah di belakangnya,
dengan perlahan-lahan mengembalikan lahan yang sudah tergenang. Selanjutnya
pembangunan ibukota harus berwawasan lingkungan, dengan menjadikan lingkungan
sebagai alat dukung kehidupan. Dalam skala yang lebih luas, untuk memitigasi
perubahan iklim, pemerintah telah mengakselerasi kebijakan pemulihan
ekosistem mangrove yang tertuang pada Perpres tahun 21 tahun 2020. Presiden
Jokowi memandatkan pemulihan ekosistem mangrove seluas 600.000 hektare dalam
waktu 4 tahun. Ini merupakan target yang ambisius mengingat pada draft
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 (RPJMN 2020-2024)
sebesar 50.000 hektar pada tahun 2024. Tingginya target pemulihan ekosistem mangrove,
yang diamanatkan kepada Badan Restorasi Gambut Mangrove (BRGM) juga merupakan
salah satu Program Pemulihan Ekonomi (PEN) yang melibatkan masyarakat dalam
penyediaan bibit mangrove. Diharapkan kegiatan ini dapat mendukung pemulihan
ekonomi masyarakat yang terdampak karena pandemik COVID-19. Selanjutnya, ditengah APBN yang terbatas,
kegiatan pemulihan ekosistem mangrove ini juga harus didukung oleh perusahaan
BUMN, Private Sector, maupun pendanaan internasional. Salah satunya dengan
pengalokasian anggaran dari dana Corporate Social Responsibility (CSR) untuk
program pemulihan mangrove. Lebih lanjut, dukungan kementerian-kementerian
terkait hingga pemerintah daerah juga harus diperkuat agar target pemerintah
pusat dapat terintegrasi hingga ke daerah. Di luar pro dan kontra, pernyataan Presiden
Joe Biden harus dijadikan pemantik semangat seluruh pemangku kepentingan
untuk lebih gencar menjalankan program mitigasi perubahan iklim. Karena entah
sepuluh atau 50 tahun lagi, dampak besar perubahan menjadi keniscayaan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar