Rabu, 04 Agustus 2021

 

Sensitivitas Retoris Elite

Gun Gun Heryanto ;  Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

SINDONEWS, 3 Agustus 2021

 

 

                                                           

SITUASI pandemi yang dialami masyarakat saat ini, tak hanya memunculkan kerawanan dari sisi kesehatan, melainkan juga dari sisi sosial dan psikologis. Dampak ikutan nyata yang kerap kita temukan antara lain terpuruknya banyak usaha terutama skala menengah dan kecil, pemutusan hubungan kerja karyawan, dan hilangnya kemampuan bertahan di tengah tekanan yang dialami masyarakat. Butuh peran serta semua pihak, terutama hadirnya negara dalam menopang optimisme warga dengan menghadirkan manajemen kebencanaan nasional yang terukur, memberi keyakinan dan berdampak pada perbaikan mendesak. Hal lain yang diperlukan adalah kemampuan membangun empati di situasi sulit seperti saat ini. Mereka yang menjadi tokoh, public figure, opinion makers dan lain-lain harus mengembangkan sensitivitas retoris saat berkomentar di media massa maupun di media sosial.

 

Komunikasi Empatik

 

Salah satu yang dapat menciptakan kondusifnya situasi di kala pandemi adalah komunikasi empatik. Dalam perspektif akademik, komunikasi empatik adalah komunikasi yang menunjukkan adanya saling pengertian antara komunikator dengan komunikan. Komunikasi ini menciptakan interaksi yang membuat satu pihak memahami sudut pandang pihak lainnya. Tujuan dari komunikasi empatik mengutip tulisan Cristina Lundqvist-Persson, Empathic Communication, its Background and Usefulness in Paediatric Care (2017), mencegah konsekuensi yang tidak menguntungkan dari komunikasi yang sembrono dan non-profesional. Komunikasi empatik juga dapat menjadi salah satu bentuk promosi kesehatan, karena menciptakan kondisi untuk perubahan, pertumbuhan dan perkembangan dalam hubungan interpersonal secara umum. Dengan demikian benang merah dari komunikasi empatik tertuju pada perbaikan kualitas komunikasi dengan mengembangkan cara memahami, saling menguatkan dan meminimalkan potensi komunikasi yang dapat menjatuhkan mental komunikan.

 

Coba bayangkan di saat situasi serbasulit, ada sejumlah pejabat dan politisi yang seharusnya berkomitmen mengayomi tetapi justru berkomunikasi yang tidak menunjukkan sesitivitas retorisnya. Contoh, beberapa waktu lalu ada politisi dan juga anggota DPR RI dari sebuah partai yang menyampaikan usulan agar pemerintah membuat rumah sakit khusus Covid-19 bagi para pejabat. Sontak pernyataan yang disampaikan Rabu (7/7/2021) tersebut memantik kekesalan publik dan membuat partai tempat politisi tersebut bernaung, harus meminta maaf secara terbuka. Komunikasi yang sembrono, dan tidak peka dengan kondisi yang sedang dialami banyak orang.

 

Belum usai polemik pernyataan tersebut, muncul lagi usulan tidak simpatik dari Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka berencana menyiapkan fasilitas hotel untuk isolasi mandiri atau isoman anggota DPR yang positif Covid-19. Meskipun penyediaan fasilitas isoman akan menggunakan dana dari anggaran perjalanan dinas luar negeri atau honor narasumber kegiatan yang tidak terpakai di masa pandemi, tetap saja hakikat uang yang digunakan tersebut adalah yang rakyat! Sementara rakyat sedang membutuhkannya. Lihat saja antrean pembelian oksigen, penuhnya rumah sakit, antrian pembelian obat di apotik dan lain-lain.

 

Di lain waktu, ada juga salah seorang pejabat yang menunjukkan ketidaksukaannya dikritik atas kekurangan pemerintah dalam penanganan Covid-19. Hal yang lumrah di era demokrasi terbuka, kritik menjadi masukan dan sekaligus bahan evaluasi untuk perbaikan kinerja. Pernyataan verbal agresif dari salah seorang menteri di kabinet Jokowi menunjukkan abainya dia dengan aspek ethos dan phatos dalam beretorika di hadapan warga yang lagi terluka. Dia berperhatian pada aspek logos yang berkaitan dengan penggunaan argumentasi dan fakta-fakta, tetapi aspek ethos kredibilitas komunikator dan pathos berkaitan yang dengan dimensi yang menyentuh emosi diabaikan. Sebagai representasi pemerintah, pernyataannya harus lebih bijak, mengayomi, memberi arahan, menumbuhkan keyakinan, jangan true claim bahwa pihaknya telah dapat mengendalikan keadaan.

 

Pandemi tak akan bisa diselesaikan oleh pemerintah sendirian. Oleh karenanya jangan menantang publik, justru harusnya merangkul bukan memukul, menciptkan harmoni bukan memaki.

 

Kekuatan Komunikasi

 

Pandemi global Covid-19 ini secara faktual melahirkan disonansi kognitif di kalangan masyarakat. Istilah disonansi kognitif ini dikenalkan oleh Leon Festinger dalam buku lawasnya A Theory of Cognitive Dissonance(1957). Festinger memaknainya sebagai perasaan ketidaknyamanan seseorang yang diakibatkan oleh sikap, pemikiran, dan perilaku yang tidak konsisten dan memotivasi seseorang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan tersebut. Salah satu yang bisa menyebabkan disonansi ialah inkonsistensi logis, yaitu logika berpikir yang mengingkari logika berfikir lain.

 

Lihat saja ketidakpastian dan ketidaknyaman akibat pandemi ini telah melahirkan berbagai informasi yang memenuhi kanal-kanal percakapan warga. Mulai dari informasi cara mengatasi virus, prosedur isolasi mandiri, dampak paparan virus, hingga hal-hal lain yang dialami sehari-hari warga selama pemberlakukan berbagai aturan yang diterapkan pemerintah. Di situasi yang menunjukkan kuatnya gejala disonansi kognitif inilah, salah satu solusinya adalah kekuatan komunikasi. Para pihak yang berkaitan dengan optimalisasi kekuatan komunikasi harus bersinergi mengatasi pandemi.

 

Pertama, pemeritah sebagai pihak yang diberi kewenangan untuk mengeksekusi beragam kebijakan dari pusat hingga ke daerah. Potensi birokrasi, mulai dari anggaran, sumberdaya manusia, hingga kewenangan yang ada harus dioptimalkan untuk menunjang komunikasi publik pemerintah yang jelas dan terarah. Target capaian setiap tahapannya harus terkontrol dan memiliki strategi dalam arus besar manajemen bencana nasional Covid-19. Performa komunikatif baik ritual, hasrat, sosial, politis maupun enkulturasi harus dioptimalisasi guna penanganan pandemi. Ego sektoral kelembagaan, absurditas kewenangan, ambiguitas pesan, ketidakjelasan anggaran, serta ketidaksiapan penyesuaian implementasi strategi di lapangan, harus mendapatkan perhatian untuk menguatkan komunikasi pandemi.

 

Kedua, media massa yang menjadi kanal informasi warga harus lebih terpercaya. Salah satu problem nyata di era pandemi adalah gelombang informasi yang tak bertanggungjawab yang hampir setiap saat diproduksi dan didiseminasikan ke khalayak. Media massa harusnya menjadi garda terdepan yang mengabarkan kebenaran. Salah satu pembeda media massa dari media sosial adalah proses seleksi informasi. Selama masa pandemi, media harus all out menyeleksi beragam informasi yang masuk ke redaksi. Betul-betul memilah dan memilih, bukan hanya soal akurasi informasi, melainkan juga memerhatikan konteks sosio-psikologis warga. Media bisa memerankan diri sebagai katalisator kebersamaan, motivator untuk membangun optimisme sekaligus pengontrol dari beragam potensi penyelewengan.

Ketiga, kelompok elite baik di suprastruktur maupun infrastruktur politik harus turut menciptakan situasi kondusif dengan pernyataan-pernyataan dan sikapnya yang solutif. Bukan hanya memikirkan keuntungan pribadi dan kelompok semata dengan menjadi penunggang gelap di tengah keterpurukan, melainkan bisa menjadi suar. Bangsa ini lagi memerlukan sosok-sosok pemimpin transformatif yang bisa menggerakkan perubahan secara bersama-sama. Sekat-sekat politis baik partai politik, ideologi, kepentingan kontestasi dan lain-lain harus ditekan di bawah kepentingan bersama, yakni keluar dari keterpurukan pandemi Covid-19.

 

Komunikasi empatik dengan mengembangkan sensitivitas retoris harus menjadi kesadaran untuk dipraktikkan bersama, agar tak ada warga yang makin terluka.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar