Selamat
Hari Raya Baha’i Usman Kansong ; Dewan Redaksi Media Group |
MEDIA INDONESIA,
30 Juli
2021
AGAMA Baha’i tetiba
menjadi perbincangan setelah Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengucapkan
selamat Hari Raya Naw Ruz, natalnya atau lebarannya agama Baha’i. Agama Baha’i mungkin
kurang dikenal karena dia termasuk agama paling baru di dunia. Serupa agama-agama
lain, Baha’i menyajikan suatu pandangan dunia mengenai perdamaian dan cinta
kasih. Agama Baha’i lahir
dari agama Islam. Sayyid Ali Muhammad (1819-1850), penganut Islam Syiah,
memaklumkan dirinya sebagai orang pertama dari jajaran para nabi baru setelah
Muhammad. Ia menyebut dirinya Bab, pintu gerbang menuju Allah. Pada 1848,
pengikut Bab alias penganut Baha’i memaklumkan diri keluar dari Islam dan
mulai berjuang melawan pemerintahan Persia. Bab dihukum mati pada 1850 atas
tuduhan makar terhadap Shah Persia. Pendukung terkemuka
Bab ialah Mirza Husayn Ali yang lahir di Persia pada 1817. Setelah Bab
meninggal, Husayn Ali dipenjara. Ia mengaku di penjara itulah dia mendapat
pengalaman gaib yang menasbihkan dirinya menjadi ‘dia yang kepadanya Allah
menyatakan diri’. Husayn Ali terkenal
dengan sebutan Baha’ullah, kemuliaan Allah, setelah pada 1873, dia mengatakan
kepada sahabatnya dirinya nabi baru. Penguasa Persia membuangnya dan dalam
pembuangan itu Baha’ullah menulis banyak teks Baha’i. Orang Baha’i percaya
Tuhan yang transenden dan tak dapat dicapai pikiran manusia telah mengutus
banyak nabi untuk memberi pencerahan kepada manusia. Penganut Baha’i mengakui
keberadaan nabi-nabi agama lain. Rumah ibadah agama Baha’i dibangun sebagai
pusat doa bagi semua orang dari semua agama dan tiap rumah ibadah punya
sembilan pintu masuk yang melambangkan sembilan agama besar. Akan tetapi, Baha’i
menolak hegemoni segelintir agama dan bangsa dalam membentuk tatanan dunia.
Baha’i lahir sebagai respons atas hegemoni atau monopoli agama, terutama
Islam. Banyak agama atau aliran dalam agama kiranya lahir sebagai respons
atas hegemoni suatu agama. Protestan lahir sebagai respons atas Katolik.
Syiah lahir sebagai respons atas Sunni. Islam lahir sebagai respons atas hegemoni
‘agama jahiliah’ kaum Quraish. Sikhisme lahir sebagai respons atas Islam dan
Hindu sekaligus. Baha’i kiranya juga
lahir sebagai respons atas kekuasaan suatu bangsa, yakni Persia. Banyak agama
lahir sebagai respons atas kekuasaan. Islam lahir sebagai respons atas
kekuasaan kaum Quraish. Yahudi lahir sebagai respons atas kekuasaan Firaun. Akan tetapi, pada
hakikatnya agama lahir sebagai respons manusia atas yang supranatural,
transendental, sakral, atau realitas yang tak tampak. Husayn Ali merespons
yang gaib selama dipenjara hingga melahirkan agama Baha’i. Muhammad merespons
perintah sakral ‘Iqra’ di gua Hira dan kemudian lahirlah agama Islam. Musa
merespons 10 perintah Allah dari realitas yang tak tampak hingga lahirlah
agama Yahudi. Respons manusia atas
yang sakral tentu berbeda-beda. Pengalaman manusia atas realitas yang tak
tampak pasti bervariasi. Itulah sebabnya banyak agama turun ke muka bumi. Respons manusia atas
yang sakral tidak berhenti dalam sejarah, tetapi terus berkembang. Evolusi
respons manusia atas realitas yang tak tampak itu kelak melahirkan
agama-agama baru yang barangkali tidak kita kenal sebelumnya. Baha’i yang
terbilang agama baru lahir sebagai evolusi respons atas yang gaib. Di
Amerika, misalnya, lahir agama yang barangkali asing di telinga, seperti
Wicca, Raelisme, Syamanisme, yang semuanya lahir dari evolusi respons manusia
atas realitas tak tampak. Tak perlu panik bila di kemudian hari ada orang
mengaku nabi pembawa agama baru. Respons manusia yang
bervariasi atau beragam atas realitas tak terjangkau yang kemudian melahirkan
berbagai agama sangatlah manusiawi. Perspektif manusia atas yang tampak saja
beragam, apalagi atas yang tak tergapai. Ucapan selamat hari raya agama-agama
kiranya bukan cuma penghormatan atas keberagaman agama, melainkan juga
penghormatan atas kemanusiaan. Serupa Menag Yaqut, saya mengucapkan selamat
Hari Raya Naw Ruz. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar