Jumat, 06 Agustus 2021

 

Momentum Akselerasi Pembangunan Rendah Karbon

M Arwani Thomafi ;  Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

KOMPAS, 6 Agustus 2021

 

 

                                                           

Saat ini sebagian besar sumberdaya bangsa kita curahkan untuk mengatasi krisis akibat Covid-19. Kita tengah memfokuskan diri pada upaya penyelamatan jiwa dan penanganan kesehatan masyarakat sebagai langkah darurat agar segera terbebas dari belitan pandemi. Upaya pemulihan ekonomi masyarakat dan pembangkitan sektor-sektor ekonomi produktif yang terpukul akibat kebijakan pembatasan sosial dalam skala luas saat ini merupakan tantangan di depan mata.

 

Namun, pada saat bersamaan, kita memiliki pekerjaan rumah yang tidak kalah penting, yaitu mengatasi ancaman perubahan iklim. Bencana alam yang timbul akibat perubahan iklim sudah sering kali kita rasakan, tetapi banyak di antara kita yang masih belum menyadari dampaknya. Padahal, kerugian yang harus ditanggung akibat bencana tersebut sangat besar.

 

Potensi bencana hidrometeorologi sebagai dampak perubahan iklim seperti banjir, puting beliung, dan tanah longsor adalah fakta yang sering kita alami. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat telah terjadi 2.929 bencana alam di Indonesia sepanjang tahun 2020. Banjir menduduki tempat tertinggi, sebanyak 1.067 kasus, disusul puting beliung yang mencapai 875 kasus, dan tanah longsor 572 kejadian. Bencana tersebut menelan korban ratusan jiwa dan membawa dampak kerugian bagi kehidupan jutaan masyarakat.

 

Berdasarkan kajian kebijakan ketahanan iklim yang dilakukan oleh Bappenas tahun 2019, potensi kerugian ekonomi Indonesia akibat perubahan iklim pada empat sektor prioritas, yaitu kelautan dan pesisir, air, pertanian, dan kesehatan diperkirakan sebesar Rp 102,3 triliun pada tahun 2020. Pada 2024, potensi kerugian akan mencapai Rp 115,4 triliun atau meningkat 12,76 persen selama lima tahun. Angka kerugian ini belum menghitung seluruh variabel ekonomi, atau masih under-value sehingga nilai riil kerugian bencana akibat perubahan iklim sebenarnya jauh lebih besar.

 

Kita tidak menghendaki kerugian tersebut akan terus meningkat, dan skala peristiwa bencana semakin meluas dari tahun ke tahun mendera masyarakat. Oleh sebab itu, semua elemen bangsa tidak boleh lengah dan mengabaikan masalah perubahan iklim ini.

 

Pemerintah Indonesia telah menetapkan ketahanan iklim sebagai salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Agenda ini termaktub dalam Prioritas Nasional ke-6, yaitu ”Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana, dan Perubahan Iklim”. Atas dasar ketetapan ini, maka tidak ada keraguan lagi bagi semua elemen pemerintah, baik kementerian/lembaga untuk menjalankan agenda ini. Begitu pun parlemen perlu memberikan dukungan dan pengawasan dengan sepenuh hati.

 

Momentum ketahanan iklim

 

Kita perlu menengok kembali lima tahun lalu, tepatnya 22 April 2016, Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris tentang perubahan iklim dan pengurangan pemanasan global. Kita juga menetapkan total target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan usaha sendiri (tanpa syarat) dan 41 persen dengan bantuan internasional.

 

Dalam situasi sulit seperti sekarang, rasanya tidak mudah untuk menjalankan komitmen di atas. Namun bukan berarti kita patut menyurutkan tekad, mengingat perubahan iklim dan pemanasan global terus berlangsung dan berdampak pada ketahanan iklim Indonesia. Kondisi ini sangat penting dan mendesak untuk direspon.

 

Karena itu, kita perlu bersama mencari jalan keluar dengan mencerdasi keadaan, memanfaatkan setiap peluang yang ada, sembari mendayagunakan potensi yang dimiliki. Bagaimana menyelaraskan agenda pemulihan ekonomi saat ini, sekaligus bisa menorehkan capaian ketahanan iklim mulai sekarang dan di tahun-tahun mendatang.

 

Di tengah krisis pandemi Covid-19, justru Indonesia menemukan momentum untuk menjalankan perekonomian hijau dan kebijakan yang disebut ”Pembangunan Rendah Karbon (PRK)”. Konsep pembangunan rendah karbon mengedepankan perencanaan pembangunan dengan solusi terstruktur untuk memastikan emisi GRK yang dihasilkan lebih rendah daripada kondisi sebelumnya.

 

Kebijakan PRK di satu sisi dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan membantu pencapaian target pembangunan di berbagai sektor. Pada saat yang bersamaan kebijakan ini mendorong tercapainya tujuan penanganan perubahan iklim serta menjaga kelestarian sumber daya alam dalam jangka panjang.

 

Sebagaimana diketahui, suasana pandemi telah memunculkan kesadaran masyarakat untuk kembali ke alam. Berbagai kegiatan seperti urban farming, penghijauan lingkungan, aktivitas bertani atau berkebun banyak dilakukan orang kelas menengah di perkotaan. Sebagian mereka ingin menciptakan lingkungan yang lebih sehat. Namun, tidak sedikit juga yang melakukannya untuk tujuan ekonomi. Sejak masa pandemi banyak komunitas yang makin gencar melakukan kampanye penghijauan dan pengurangan emisi karbon.

 

Inisiatif dari berbagai komunitas tersebut tidak patut kita anggap remeh, tetapi sebaliknya aspirasi mereka layak diapresiasi. Spirit yang mereka munculkan dapat kita tangkap untuk menggairahkan diskursus tentang perekonomian hijau (green economy) kepada publik. Dengan demikian, perspektif publik akan semakin kuat dalam mendukung kebijakan PRK sebagaimana telah dipromosikan oleh pemerintah. Bahkan masyarakat akan bersedia terlibat dan berpartisipasi dalam program-program ketahanan iklim.

 

Pindah ke jalur PRK

 

Indonesia memiliki pekerjaan besar untuk memastikan pencapaian target pembangunan berkelanjutan pada 2030 dan visi Indonesia Emas tahun 2045. Implikasi dari target ini, strategi pemulihan ekonomi tidak semata memacu ekonomi dalam jangka pendek, tetapi harus mempunyai tujuan membangun kembali Indonesia yang lebih baik, tangguh, dan berkelanjutan pada masa mendatang.

 

Menteri PPN/Bappenas dalam berbagai kesempatan menyampaikan bahwa transformasi ekonomi perlu dilakukan agar Indonesia dapat lepas dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap/MIT). Caranya adalah dengan mengubah struktur perekonomian dari sektor yang produktivitasnya rendah menuju sektor-sektor yang mempunyai produktivitas tinggi. Strategi ekonomi yang akan dijalankan tidak semata bertujuan mengurangi angka kemiskinan, tetapi juga keberlanjutan dalam jangka panjang.

 

Pembangunan Rendah Karbon merupakan alternatif kebijakan yang logis diterapkan untuk menghindari MIT dalam jangka panjang. Sebab, kebijakan ini akan mendorong dunia bisnis dan masyarakat untuk menjalankan ekonomi sirkuler dengan memaksimalkan nilai tambah dari sumber daya alam yang diolah. Tidak hanya menghasilkan lapangan kerja, tetapi juga lebih menjamin kelestarian lingkungan.

 

Mengadopsi jalur PRK bukan saja sesuai dengan tren dunia menuju emisi yang semakin rendah, tetapi juga memberikan peluang untuk mengubah model pertumbuhan, menyesuaikan struktur industri, memenuhi tujuan konservasi energi dan lingkungan, serta mendukung pencapaian tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Rendahnya pertumbuhan ekonomi, peningkatan pengangguran dan kemiskinan serta meningkatnya ketimpangan distribusi pendapatan akibat pandemi Covid-19 yang terjadi dapat dijadikan momentum bagi Indonesia untuk berpindah ke jalur strategi PRK.

 

Kegiatan prioritas PRK yang disebut dalam RPJMN meliputi pembangunan energi berkelanjutan, pemulihan lahan berkelanjutan, pengelolaan limbah, pengembangan industri hijau, dan inisiatif rendah karbon pesisir dan laut. Aktivitas dan program di kementerian dan lembaga untuk menjalankan program tersebut memerlukan pembiayaan, baik yang bersumber dari APBN dan non-APBN.

 

Di tengah situasi perekonomian yang sedang terpukul akibat Covid-19, sejalan dengan kebijakan stimulus fiskal untuk pemulihan ekonomi, negara dapat menerapkan kebijakan green fiscal stimulus, yaitu kebijakan fiskal untuk pemulihan perekonomian dengan mengalokasikan anggaran ke sektor yang ramah lingkungan dan rendah emisi karbon. Jika Indonesia menerapkan green fiscal stimulus dalam proses pemulihan ekonominya, transisi untuk mendukung PRK menjadi lebih mudah dan cepat terealisasi.

 

Contoh alokasi anggaran pemulihan ekonomi yang berkorelasi dengan ketahanan iklim dan rendah karbon seperti: subsidi program intensifikasi pertanian dan perkebunan rakyat, bantuan langsung tunai kepada UMKM yang bergerak pada sektor pengolahan limbah, insentif fiskal terhadap investasi energi ramah lingkungan, dan program padat karya untuk melaksanakan restorasi ekosistem. Selain medorong percepatan perbaikan perekonomian, program tersebut juga sejalan dengan PRK yang akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan jangka panjang.

 

Terobosan dan akselerasi

 

Jika dilihat dari alokasi yang terkait langsung maupun tidak langsung, anggaran untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim cenderung menurun beberapa tahun belakangan. Pada tahun 2018 anggaran telah mencapai Rp 132,47 triliun, sedangkan pada 2020 angkanya menjadi Rp 77,81 triliun.

 

Dalam APBN 2020, anggaran perubahan iklim yang awalnya dialokasikan Rp 89,10 triliun turun 12,7 persen disebabkan adanya kebijakan refocusing kegiatan dan realokasi untuk penanganan Covid-19. Alokasi anggaran untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim juga mengalami tren penurunan pada tahun ini.

 

Dengan melihat adanya tren penurunan tersebut, dibutuhkan terobosan di luar skema stimulus fiskal dengan memperlancar program-program hijau yang bersentuhan langsung dengan pengentasan masyarakat dari kemiskinan dan dampak ekonominya bisa dinikmati oleh banyak orang, seperti perhutanan sosial, pemanfaatan lahan yang telantar, dan pengolahan sampah.

 

Untuk kepentingan pembiayaan ketahanan iklim, selain mengintensifkan carbon offset, perlu menegakkan keputusan sanksi denda bagi perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran. Sanksi perusahaan pembakar hutan tahun 2015-2018, misalnya, mencapai Rp 18 triliun dan baru dibayar 1 persen. Dana ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan reforestasi, peningkatan SDM, atau riset dalam rangka pengembangan perekonomian hijau dan PRK.

 

Bersamaan dengan itu, sekarang saatnya kita mulai menjalankan strategi implementasi bisnis ramah lingkungan dalam dunia usaha. Pertama, memfokuskan investasi di sektor industri kepada investasi hijau yang mendukung ekonomi sirkuler dan PRK dengan melibatkan pelaku usaha lokal dan UMKM sebagai penggerak utamanya.

 

Kedua, mengembangkan skema insentif menarik kepada UMKM dan industri hijau untuk dapat menghijaukan proses produksi, mendukung produk hijau dan jasa yang mendukung keberlanjutan lingkungan. Ketiga, mengembangkan riset dan inovasi pada teknologi hijau serta mendorong industri untuk bertransisi memaksimalkan penggunaan sumber dayanya dalam mengimplementasi ekonomi sirkuler.

 

Dengan akselerasi PRK, kebijakan pemulihan ekonomi yang kita lakukan akan mampu berkontribusi terhadap capaian target pengurangan emisi, serta tujuan pembangunan berkelanjutan sebagaimana komitmen yang telah kita tetapkan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar