Senin, 02 Agustus 2021

 

Menyentil Sisi Kebebalan Kita

Alexander Robert Nainggolan ;  Menulis Cerpen, Puisi, dan Esai

DETIKNEWS, 31 Juli 2021

 

 

                                                           

Judul Buku: Catatan Pinggir 14; Penulis: Goenawan Mohamad; Penerbit: Tempo Publishing, 2021; Tebal : xviii + 444 halaman

 

Goenawan Mohamad (GM) barangkali sosok budayawan yang tak pernah berhenti berpikir. Melalui puisi-puisinya acap kita diajak bertamasya atau merenung dan menggali-gali khazanah lainnya. Sehingga menciptakan medan tafsir yang luas, jauh melintasi apa yang dituliskannya. Pun dalam sejumlah esai yang terbit di Majalah Tempo, ia seperti mencungkil pengetahuan yang kita miliki--dengan turut menghubungkannya dalam pelbagai sisi.

 

Tidak terbatas pada tradisi lokal, namun turut menguak pemikiran-pemikiran panjang dari para tokoh. GM semacam ingin memberikan perasan/intisari dari tulisan para tokoh tersebut, meskipun tidak sepenuhnya memberikan kesimpulan yang final. Dalam beberapa tulisan yang membahas GM, disebutkan bahwa dirinya memang ambigu.

 

Tapi, justru karena keambiguannya tersebut kita kembali memetakan apa yang coba ditelaah GM, menguraikannya jalin temali dari esai-esainya dan merangkaikannya sendiri. GM sendiri pernah mengungkapkan, memang dirinya mengambil pelbagai esainya dari realitas yang terjadi. Setiap peristiwa seakan turut dipulas oleh rangkaian kalimatnya. Dan, ia mengakui bahwa untuk membuat satu tulisan esai di Catatan Pinggir sendiri memerlukan kurang lebih 5 buku sekaligus.

 

Ia juga berangkat dari banyak kisah: pewayangan, mitos-mitos, cerita rakyat, atau sebuah puisi dari penyair. Agaknya kemampuan membaca, yang diyakini GM sebagai rahmat, berkelindan dengan sejumlah esai yang diciptakannya. Menurut saya, teknik penulisan yang dilakukannya serupa dengan bola salju yang menggelinding hingga besar dan meluas. Ia bisa berpijak dari hal-hal kecil yang luput dari kebanyakan orang, namun pada akhirnya mengunci pada khazanah atau kisah-kisah yang makro.

 

Terkadang pula, tulisannya melompat dari kisah satu ke yang lainnya. Namun sesungguhnya GM sedang membangun temali dari kisah-kisah itu. Ia seperti menyuguhkan pelbagai referensi terhadap gagasan dari kegelisahannya, dan saat membacanya terasa ada benang yang merajutnya. Meskipun saat di akhir tulisan, kembali kita tak menemukan jalan keluar yang final, terkadang hanya dibiarkan mengambang begitu saja.

 

GM yang dikenal sebagai penyair dan wartawan, untuk hal ini agaknya saya mesti bersepakat dengan Ignas Kleden yang pernah menulis kata pengantar dalam Catatan Pinggir 2: memadukan kedua kemampuan itu bukan hal yang mustahil --wartawan pada dasarnya bukanlah orang yang menjual gagasan, tetapi harus menyajikan fakta; penyair pada dasarnya tidak bekerja dengan ide, tetapi dengan pengalaman. Maka, tulis Kleden pula, baik wartawan maupun penyair akan sama-sama bergulat dengan fakta; pada yang satu fakta itu bersifat sosial, pada yang lain bersifat eksistensia.

 

Catatan Pinggir 14

 

Buku ini terdiri dari 104 judul tulisan yang terbit di Majalah Tempo dari Januari 2019 hingga Desember 2020. Satu tulisan berupa puisi, yang ditulis khusus oleh GM atas kepergian penyair Sapardi Djoko Damono, dengan judul puisi SDD yang merupakan inisial nama Sapardi.

 

Dalam Kata, Kata, Kata GM tergoda mengembangkan naluri kepenyairannya; ia menyisiri kepenatan dari kata-kata itu sendiri. Saat kita berhadapan dengan perkembangan teknologi, toh pada akhirnya tak bisa membangun komunikasi yang baik. Yang tertinggal hanya kediaman dan berhubungan dengan tubuh si penerima pesan. Bisa jadi memang pesan yang dimaksud GM sendiri justru malah tak kunjung sampai ketika kita jenuh berhadapan dengan lautan kata-kata.

 

Pada penutup esainya GM menulis begini: Kita pernah menyangka Internet, seperti Bahasa, akan mempermudah hubungan antarmanusia. Kini dalam politik digital, justru sebaliknya yang terjadi: orang berhimpun untuk memuja atau membenci tanpa tubuh mereka yang kompleks dan nisbi, yang memungkinkan "tangan menjabat" dan "mata merindu". (hal. 18)

 

Pun saat GM berupaya menanyakan perihal "Selfi", mengenai wajah kita yang lungkrah dan "kalah" di hadapan kamera: Wajah. Selfi. Mungkin ada kecenderungan narsisme dalam diri kita. Saya tak mengatakan itu tabiat buruk, meskipun saya tak menyukainya. Selfi adalah "klik!" Ketika wajah menyerah kepada kamera dan waktu menyerah kepada momen.

 

Selfi adalah satu-dua menit kedekatan. Selfi adalah 120 detik ketika kita mesra kepada wajah sendiri, atau kepada teman, atau kepada pemandangan di dekat kita. Kita perlakukan momen itu spesial dan..."klik!": selfi adalah sejenis kecemasan bahwa kemesraan itu pasti berlalu dan kita cepat-cepat ingin mengawetkannya, malah mengabadikannya. (hal. 125)

 

Bukan Jawaban

 

Tulisan di Catatan Pinggir memang tak berpotensi memberikan jawaban. GM terkadang membuka pertanyaan baru di benak pembaca. Pertanyaan bagi GM mungkin lebih penting dari jawaban itu sendiri. Setidaknya tema-tema yang diambil GM beraneka --Arif Zulkifli menganalogikan seorang GM bagaikan berjalan di hutan rimba. Ia membangun paragraf demi paragraf atas dasar pergulatan yang tak mudah. Pergulatan dengan dirinya sendiri. Maka, ia pun memeriksa lebih jauh dengan bekal referensi bacaan dan pengalaman yang panjang, yang pernah hinggap di dalam dirinya.

 

Suatu hal yang mengingatkan saya pada puisi Joko Pinurbo Pelajaran Menulis Puisi yang berkisah ihwal puisi itu sendiri: Yang jelas ialah bagaimana seseorang siap memasuki rimba (hutan) kata-kata, di mana setiap orang harus siap keluar dengan keadaan yang berbagai rupa. Bisa bercerita tentang pengalamannya masuk ke dalam rimba dan bertemu dengan segala jenis binatang. Juga saat naik pohon kemudian tersangkut di batuan cadas serta bertemu bidadari.

 

Dan GM pun kembali menyilangkan sejumlah kisah bagaimana Ahasveros, yang diungkapkan dalam puisi Chairil Anwar: ...aku mengembara serupa Ahasveros. Ahasveros yang ternyata hidup abadi dari zaman ke zaman. GM menulis: Semua cerita Ahasveros bertolak dari pandangan yang tak lazim: hidup abadi adalah kutukan. Yahudi malang ini harus menyaksikan zaman berganti zaman, yang tiap kali mengandung kekejaman. Selama itu, dialah unsur yang terus menerus hadir-Bersama dosa yang tak diampuni. (hal. 396)

 

Atau bagaimana GM bertanya tentang Malin Kundang dalam Rumah:

Tak ada yang bertanya mengapa Malin Kundang pulang. Setelah mengembara bertahun-tahun, setelah memperoleh banyak dalam hidup, apa yang hendak didapatkannya di sisa masa lalu? Ia bahkan tak mengakui (atau mungkin tak mengenali) Ibunya di dusun pantai itu. Ia dikutuk.

 

Legenda terkenal ini tak memberi jawab. Pulang tampaknya sebuah jurusan yang dianggap lumrah dalam cerita manusia, bahkan dipujikan. Asal-usul punya auranya sendiri. Dalam bahasa Indonesia ada kata "tanah tumpah darah": dramatis, menyentuh, menambat hati. Seakan-akan ada tali pusar yang suci yang mempertautkan aku dan tanah ini-dan melepaskan diri adalah sebuah dosa. (Hal. 193)

 

Catatan Pinggir, sebagaimana yang GM akui dalam acara peluncuran bukunya, merupakan bentuk baru jurnalisme di Indonesia, katakanlah tulisan tersebut bukan merupakan headline atau kolom, lebih bersifat personal. Ia semacam bercak ingatan yang tak sudah, seperti ruang jeda, namun mampu untuk tetap bertahan dengan napas panjang karena menciptakan suasana yang baru dari kegalauan kita akan hidup sehari-hari. Ia menyentil sisi kebebalan kita dalam memandang kehidupan dan berupaya untuk terus menikmatinya dari sisi lainnya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar