Menyentil
Sisi Kebebalan Kita Alexander Robert Nainggolan ; Menulis Cerpen, Puisi, dan Esai |
DETIKNEWS, 31 Juli 2021
Judul
Buku: Catatan Pinggir 14; Penulis: Goenawan Mohamad; Penerbit: Tempo
Publishing, 2021; Tebal : xviii + 444 halaman Goenawan Mohamad (GM)
barangkali sosok budayawan yang tak pernah berhenti berpikir. Melalui
puisi-puisinya acap kita diajak bertamasya atau merenung dan menggali-gali
khazanah lainnya. Sehingga menciptakan medan tafsir yang luas, jauh melintasi
apa yang dituliskannya. Pun dalam sejumlah esai yang terbit di Majalah Tempo,
ia seperti mencungkil pengetahuan yang kita miliki--dengan turut
menghubungkannya dalam pelbagai sisi. Tidak terbatas pada tradisi
lokal, namun turut menguak pemikiran-pemikiran panjang dari para tokoh. GM
semacam ingin memberikan perasan/intisari dari tulisan para tokoh tersebut,
meskipun tidak sepenuhnya memberikan kesimpulan yang final. Dalam beberapa
tulisan yang membahas GM, disebutkan bahwa dirinya memang ambigu. Tapi, justru karena
keambiguannya tersebut kita kembali memetakan apa yang coba ditelaah GM,
menguraikannya jalin temali dari esai-esainya dan merangkaikannya sendiri. GM
sendiri pernah mengungkapkan, memang dirinya mengambil pelbagai esainya dari
realitas yang terjadi. Setiap peristiwa seakan turut dipulas oleh rangkaian
kalimatnya. Dan, ia mengakui bahwa untuk membuat satu tulisan esai di Catatan
Pinggir sendiri memerlukan kurang lebih 5 buku sekaligus. Ia juga berangkat dari
banyak kisah: pewayangan, mitos-mitos, cerita rakyat, atau sebuah puisi dari
penyair. Agaknya kemampuan membaca, yang diyakini GM sebagai rahmat,
berkelindan dengan sejumlah esai yang diciptakannya. Menurut saya, teknik
penulisan yang dilakukannya serupa dengan bola salju yang menggelinding
hingga besar dan meluas. Ia bisa berpijak dari hal-hal kecil yang luput dari
kebanyakan orang, namun pada akhirnya mengunci pada khazanah atau kisah-kisah
yang makro. Terkadang pula, tulisannya
melompat dari kisah satu ke yang lainnya. Namun sesungguhnya GM sedang
membangun temali dari kisah-kisah itu. Ia seperti menyuguhkan pelbagai
referensi terhadap gagasan dari kegelisahannya, dan saat membacanya terasa
ada benang yang merajutnya. Meskipun saat di akhir tulisan, kembali kita tak
menemukan jalan keluar yang final, terkadang hanya dibiarkan mengambang
begitu saja. GM yang dikenal sebagai
penyair dan wartawan, untuk hal ini agaknya saya mesti bersepakat dengan
Ignas Kleden yang pernah menulis kata pengantar dalam Catatan Pinggir 2:
memadukan kedua kemampuan itu bukan hal yang mustahil --wartawan pada
dasarnya bukanlah orang yang menjual gagasan, tetapi harus menyajikan fakta;
penyair pada dasarnya tidak bekerja dengan ide, tetapi dengan pengalaman.
Maka, tulis Kleden pula, baik wartawan maupun penyair akan sama-sama bergulat
dengan fakta; pada yang satu fakta itu bersifat sosial, pada yang lain
bersifat eksistensia. Catatan
Pinggir 14 Buku ini terdiri dari 104
judul tulisan yang terbit di Majalah Tempo
dari Januari 2019 hingga Desember 2020. Satu tulisan berupa puisi, yang
ditulis khusus oleh GM atas kepergian penyair Sapardi Djoko Damono, dengan
judul puisi SDD yang merupakan inisial nama Sapardi. Dalam Kata, Kata, Kata GM tergoda mengembangkan naluri kepenyairannya;
ia menyisiri kepenatan dari kata-kata itu sendiri. Saat kita berhadapan
dengan perkembangan teknologi, toh pada akhirnya tak bisa membangun
komunikasi yang baik. Yang tertinggal hanya kediaman dan berhubungan dengan
tubuh si penerima pesan. Bisa jadi memang pesan yang dimaksud GM sendiri
justru malah tak kunjung sampai ketika kita jenuh berhadapan dengan lautan
kata-kata. Pada penutup esainya GM
menulis begini: Kita pernah menyangka
Internet, seperti Bahasa, akan mempermudah hubungan antarmanusia. Kini dalam
politik digital, justru sebaliknya yang terjadi: orang berhimpun untuk memuja
atau membenci tanpa tubuh mereka yang kompleks dan nisbi, yang memungkinkan
"tangan menjabat" dan "mata merindu". (hal. 18) Pun saat GM berupaya
menanyakan perihal "Selfi", mengenai wajah kita yang lungkrah dan "kalah" di
hadapan kamera: Wajah. Selfi. Mungkin
ada kecenderungan narsisme dalam diri kita. Saya tak mengatakan itu tabiat
buruk, meskipun saya tak menyukainya. Selfi adalah "klik!" Ketika
wajah menyerah kepada kamera dan waktu menyerah kepada momen. Selfi adalah satu-dua
menit kedekatan. Selfi adalah 120 detik ketika kita mesra kepada wajah
sendiri, atau kepada teman, atau kepada pemandangan di dekat kita. Kita
perlakukan momen itu spesial dan..."klik!": selfi adalah sejenis
kecemasan bahwa kemesraan itu pasti berlalu dan kita cepat-cepat ingin
mengawetkannya, malah mengabadikannya. (hal. 125) Bukan
Jawaban Tulisan di Catatan Pinggir
memang tak berpotensi memberikan jawaban. GM terkadang membuka pertanyaan
baru di benak pembaca. Pertanyaan bagi GM mungkin lebih penting dari jawaban
itu sendiri. Setidaknya tema-tema yang diambil GM beraneka --Arif Zulkifli
menganalogikan seorang GM bagaikan berjalan di hutan rimba. Ia membangun
paragraf demi paragraf atas dasar pergulatan yang tak mudah. Pergulatan
dengan dirinya sendiri. Maka, ia pun memeriksa lebih jauh dengan bekal
referensi bacaan dan pengalaman yang panjang, yang pernah hinggap di dalam
dirinya. Suatu hal yang mengingatkan
saya pada puisi Joko Pinurbo Pelajaran
Menulis Puisi yang berkisah ihwal puisi itu sendiri: Yang jelas ialah
bagaimana seseorang siap memasuki rimba (hutan) kata-kata, di mana setiap
orang harus siap keluar dengan keadaan yang berbagai rupa. Bisa bercerita
tentang pengalamannya masuk ke dalam rimba dan bertemu dengan segala jenis
binatang. Juga saat naik pohon kemudian tersangkut di batuan cadas serta
bertemu bidadari. Dan GM pun kembali
menyilangkan sejumlah kisah bagaimana Ahasveros, yang diungkapkan dalam puisi
Chairil Anwar: ...aku mengembara serupa
Ahasveros. Ahasveros yang ternyata hidup abadi dari zaman ke zaman. GM
menulis: Semua cerita Ahasveros bertolak dari pandangan yang tak lazim: hidup
abadi adalah kutukan. Yahudi malang ini harus menyaksikan zaman berganti
zaman, yang tiap kali mengandung kekejaman. Selama itu, dialah unsur yang
terus menerus hadir-Bersama dosa yang tak diampuni. (hal. 396) Atau bagaimana GM bertanya
tentang Malin Kundang dalam Rumah: Tak
ada yang bertanya mengapa Malin Kundang pulang. Setelah mengembara
bertahun-tahun, setelah memperoleh banyak dalam hidup, apa yang hendak
didapatkannya di sisa masa lalu? Ia bahkan tak mengakui (atau mungkin tak
mengenali) Ibunya di dusun pantai itu. Ia dikutuk. Legenda
terkenal ini tak memberi jawab. Pulang tampaknya sebuah jurusan yang dianggap
lumrah dalam cerita manusia, bahkan dipujikan. Asal-usul punya auranya
sendiri. Dalam bahasa Indonesia ada kata "tanah tumpah darah":
dramatis, menyentuh, menambat hati. Seakan-akan ada tali pusar yang suci yang
mempertautkan aku dan tanah ini-dan melepaskan diri adalah sebuah dosa. (Hal.
193) Catatan
Pinggir, sebagaimana yang GM akui dalam acara peluncuran
bukunya, merupakan bentuk baru jurnalisme di Indonesia, katakanlah tulisan
tersebut bukan merupakan headline atau kolom, lebih bersifat personal. Ia
semacam bercak ingatan yang tak sudah, seperti ruang jeda, namun mampu untuk
tetap bertahan dengan napas panjang karena menciptakan suasana yang baru dari
kegalauan kita akan hidup sehari-hari. Ia menyentil sisi kebebalan kita dalam
memandang kehidupan dan berupaya untuk terus menikmatinya dari sisi lainnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar