Selasa, 03 Agustus 2021

 

Mengkritisi Kewenangan Menyidik Satpol PP Dalam Pandemi

Albert Aries ;  Pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti dan Anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki)

KOMPAS, 3 Agustus 2021

 

 

                                                           

Usulan yang diajukan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk menambah beberapa ketentuan sanksi pidana, dan memberikan kewenangan penyidikan kepada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dalam wacana perubahan atas Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19 seolah-olah menjadi sebilah pedang bermata dua.

 

Di satu sisi, kebijakan kriminal untuk menanggulangi pandemi Covid-19, yaitu dengan menambah beberapa ketentuan pidana terhadap orang, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat usaha yang melanggar protokol kesehatan, dengan sanksi pidana alternatif berupa kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda yang diatur dalam suatu peraturan daerah, dianggap dapat menjadi sarana perubahan untuk membentuk budaya hukum masyarakat (law as a tool of social engineering).

 

Sebaliknya, usulan untuk memberikan Satpol PP kewenangan khusus sebagai penyidik bersama-sama dengan penyidik Polri dan penyidik Pegawai Negeri Sipil (PNS) tertentu di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dinilai akan menjadi suatu regeling yang dapat bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan berpotensi membuka celah penyalahgunaan wewenang (abuse of power).

 

Meskipun wacana tersebut hanya berlaku dalam masa pandemi, pemberian kewenangan penyidikan kepada Satpol PP, termasuk melakukan upaya paksa (dwang middelen), misalnya memeriksa orang yang diduga melakukan tindak pidana, memeriksa pembukuan/dokumen, menyita benda atau surat, memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi, secara tidak langsung akan menjadikan Satpol PP sebagai “penegak hukum” dalam suatu sistem peradilan pidana terpadu.

 

Melanggar asas legalitas

 

Sebagai konsekuensi dari asas otonomi, pemerintah daerah memiliki hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem dan kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, diantaranya untuk menerbitkan perda dan juga peraturan kepala daerah (perkada).

 

Berdasarkan Pasal 255 UU Pemerintahan Daerah, Satpol PP dibentuk untuk menegakkan perda dan perkada, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman, serta menyelenggarakan perlindungan masyarakat. Adapun kewenangan Satpol PP antara lain untuk melakukan tindakan penertiban non-yustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melanggar  perda dan perkada.

 

Apabila terjadi pelanggaran atas ketentuan perda, Pasal 257 UU Pemerintahan Daerah memang telah mengatur bahwa penyidikan dapat dilakukan oleh penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dapat ditunjuk penyidik PNS yang diberikan tugas (penyidikan). Selanjutnya, dalam aturan pelaksanaannya, yaitu Pasal 9 ayat (2) PP Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satpol PP menyebutkan bahwa penyidik PNS dapat ditunjuk dari unsur PPNS Satpol PP dan PPNS perangkat daerah lainnya, tanpa mengatur lebih rinci dan lanjut mengenai kewenangan dan upaya paksa apa saja yang dapat dilakukan.

 

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP, penyidikan didefinisikan sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (KUHAP) untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Mengingat suatu penyidikan erat dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dibatasi oleh kekuatan undang-undang (KUHAP), maka usulan untuk memberikan Satpol PP kewenangan penyidikan dan (sebagian) upaya paksa dalam rencana perubahan Perda Penanggulangan Covid-19 di DKI Jakarta juga berpotensi melanggar Hak Asasi Masyarakat.

 

Adapun hipotesis di atas dapat diuraikan dengan beberapa argumentasi hukum sebagai berikut. Pertama, Pasal 3 KUHAP menyebutkan bahwa peradilan dijalankan menurut cara yang diatur UU ini (KUHAP), artinya suatu perda yang secara hierarki peraturan perundangan-undangan berada di bawah suatu undang-undang (legi inferior), secara hukum tidak dapat menjadi lex specialis dari KUHAP sebagai legi generali yang mengatur hukum acara pidana.

 

Kedua, mengingat materi muatan yang mengandung sanksi pidana hanya dapat diatur dengan peraturan setingkat undang-undang dan perda (Pasal 15 UU Pembentukan Perundang-Undangan), maka pengaturan ketentuan hukum acara pidana hanya dapat diatur dalam suatu UU Pidana (KUHP), UU Pidana di luar KUHP, misalnya: UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU Administrasi Bersanksi Pidana (Administrative Penal Law), misalnya UU Lingkungan Hidup.

 

Selain tidak mengatur tentang kewenangan penyidik PNS, UU Pemerintahan Daerah ternyata juga tidak mengatur suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus (speciale delicten). Hal ini dapat dilihat dari Pasal 398 UU Pemerintahan Daerah sebagai satu-satunya bab mengenai ketentuan pidana, yang hanya ditujukan terhadap kepala daerah sebagai pelaku namun tidak mengandung rumusan tindak pidana, sehingga bergantung pada ketentuan perundang-undangan lainnya, bahkan juga tidak memiliki relevansi dengan pelanggaran suatu perda.

 

Ketiga, terdapat adagium, Nullum crimen sine poena legali yang merupakan pengejawantahan asas legalitas dalam hukum pidana formil, yang menentukan bahwa hukum acara pidana termasuk juga di dalamnya penyidikan dijalankan hanya berdasarkan kekuatan undang-undang. Sebaliknya, dalam usulan perubahan perda tersebut justru hendak mengatur kewenangan penyidikan dan (sebagian) upaya paksa yang juga diberikan kepada Satpol PP, sebagaimana layaknya pengaturan dalam suatu UU khusus yang norma hukum acaranya mengatur pengecualian terhadap KUHAP.

 

Serahkan pada Polri

 

Wacana kebijakan kriminal yang hendak diambil oleh Pemerintah Provinsi dan DPRD DKI Jakarta untuk menambahkan beberapa tindak pidana dalam perubahan Perda Penanggulangan Covid-19 dalam upaya melaksanakan protokol kesehatan bagaimana pun  tetap perlu diapresiasi, karena lembaga eksekutif dan legislatif tersebut diasumsikan lebih memahami kebutuhan, kondisi, dan penanggulangan Pandemi Covid-19 khususnya di DKI Jakarta yang menjadi parameter bagi daerah lainnya.

 

Namun demikian, penegakan hukum atas pelanggaran dari suatu ketentuan perda di masa pandemi hendaknya tetap diserahkan kepada Polti sebagai institusi penegak hukum yang berwenang melakukan penyidikan dan penyidik PNS yang memiliki dasar hukum acara pidana yang diatur UU, tentu dengan tidak mengurangi peran dari Satpol PP untuk tetap memberikan dukungan non-yustisial. Hal ini dikarenakan untuk melakukan penyidikan diperlukan pengetahuan hukum (knowledge), kemampuan investigasi (skill), dan etika hukum (code of conduct) yang tentunya tidak dapat dikuasai dalam waktu yang singkat.

 

Oleh karena itu, penting untuk dipastikan bahwa penegakkan hukum atas pelanggaran protokol kesehatan sesuai dengan due process of law yang berdasarkan KUHAP dan sekali-kali tidak memberikan celah terjadinya penyalahgunaan wewenang (abuse of power) sebagaimana Pasal 17 UU Hak Asasi Manusia, yang pada pokoknya berbunyi bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh keadilan serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar