Mengatasi
Tekanan Keuangan Negara Andreas Lako ; Guru Besar Akuntansi, Ketua Program Doktor
Ilmu Lingkungan (PDIL) Unika Soegijapranata, Semarang |
KOMPAS, 6 Agustus 2021
Kendati
memberi opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020, namun Ketua Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) juga menyoroti risiko utang dan beban bunga utang pemerintah pusat yang
dinilai sudah mengkhawatirkan dan berisiko. Pemerintah
diminta untuk dapat mengerem laju utang dan beban bunga utang sembari
meningkatkan penerimaan negara melalui reformasi perpajakan (Kompas,
25/6/2021). Beban APBN Apabila
serius mencermati sejumlah indikator utama dalam LKPP 2020, kita dapat
memaklumi kekhawatiran BPK. Ada sejumlah indikasi yang menunjukkan Indonesia
berpotensi mengalami kesulitan keuangan serius pada 2021 dan tahun-tahun
selanjutnya. Pertama,
rasio likuiditas LKPP 2020 yang diukur dengan current ratio (CR) yaitu aset
lancar dibagi kewajiban jangka pendek, hanya 95 persen. Tercatat aset lancar
Rp 665,16 triliun dan kewajiban jangka pendek Rp 701,61 triliun. Besaran CR
itu menunjukkan untuk membayar kewajiban jangka pendek pada 2021 saja,
pemerintah masih harus mencari pendanaan lain, misalnya berutang lagi, Rp
35,08 triliun. Besaran
CR itu juga mengindikasikan aset lancar LKPP 2020 sama sekali tidak bisa
digunakan untuk menopang belanja dalam APBN 2021 Rp 2.750,0 triliun. Belanja
sebesar itu hanya bisa ditopang oleh sumber pendapatan dari 2021 yang
diperoleh dari pajak, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) dan hibah. Mencermati
penerimaan pajak dan PNPB yang menurun drastis pada 2020, yakni Rp 326,18
triliun (16,7 persen), maka sangat mungkin pada 2021 ini pendapatan negara
yang bersumber dari dua pos tersebut bakal kian merosot. Hal ini karena
Covid-19 masih terus berlanjut dan akan menyebabkan defisit APBN 2021 kian
membengkak. Menghadapi
situasi itu, sangat mungkin pada 2021 pemerintah akan menempuh lagi opsi pembiayaan
dari dalam dan luar negeri dalam jumlah lebih besar. Pembiayaan untuk menutup
defisit APBN 2020 naik drastis dari Rp 402,06 triliun (2019) menjadi Rp
1.193,49 triliun (2020) atau naik 196,85 persen. Peningkatan itu menyebabkan
beban bunga utang akan melonjak pada 2021 dan tahun-tahun selanjutnya. Kedua,
rasio utang pemerintah kian meningkat. Dari Neraca LKPP 2020, terlihat
kewajiban pemerintah per 30/12/2020 adalah Rp 6.625,48 triliun, sementara
ekuitas hanya Rp 4.473,20 triliun. Kewajiban meningkat Rp 1.285,26 triliun
(24,07 persen), sementara ekuitasnya turun Rp 654,11 triliun (12,76 persen).
Berdasarkan angka itu, rasio kewajiban pemerintah pada 2020 yang diukur
dengan rasio utang terhadap aset (debt to asset ratio/DAR) adalah 59,7
persen, sementara rasio ekuitas hanya 40,3 persen. Dalam
konteks Indonesia sebagai suatu entitas, posisi DAR sebesar itu
mengkhawatirkan dan memberi sinyal Indonesia memiliki risiko finansial yang
besar. Posisi itu bisa menyebabkan Indonesia mengalami tekanan finansial
(financial distress) di 2021 dan tahun-tahun selanjutnya apabila
sumber-sumber penerimaan negara tidak segera digenjot dan sumber-sumber
pembelanjaaan tidak segera diefisienkan. Memang,
dari jumlah kewajiban, utang jangka pendek yang dibayar pada 2021 hanya Rp
701,61 triliun (10,59 persen). Sisanya, Rp 5.923,87 triliun (89,41 persen)
adalah utang jangka panjang yang masih bisa diupayakan solusinya pada 2022
dan tahun-tahun selanjutnya. Ada yang menyatakan, kalau jumlah utang jangka
pendek tersebut dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB), kemampuan
pemerintah membayarnya masih aman. Saya
tidak setuju dengan opini itu. Alasannya, tidak semua PDB berpotensi
menghasilkan pajak. Rasio pajak terhadap PDB hanya 9,76 persen (2019) dan
8,33 persen (2020). Jumlah penerimaan pajak bahkan tidak mampu menutup
belanja negara pada tahun berjalan. Untuk menutup defisit APBN 2020,
misalnya, pemerintah masih harus mencari sumber pembiayaan dari pos dalam dan
luar negeri Rp 1.193,29 triliun. Ketiga,
defisit APBN kian membengkak. Defisit APBN 2020 mencapai Rp 947,70 triliun,
sementara pada APBN 2019 defisitnya Rp 348,65 triliun. Selama 2012-2018,
defisitnya berkisar Rp 153,3 triliun - Rp 340,1 triliun. Semua defisit itu
selalu ditutup dengan pembiayaan dari dalam dan luar negeri. Akumulasi
defisit itulah yang menyebabkan kewajiban pemerintah kian membengkak. Mengatasi krisis keuangan Lalu,
bagaimana solusinya? Secara umum, saya sepakat dengan harapan BPK agar
pemerintah pusat dapat segera mengerem laju utang sembari meningkatkan
penerimaan negara melalui reformasi perpajakan. Saat ini, pemerintah pun
sudah mengajukan RUU KUP kepada DPR untuk reformasi perpajakan. Namun,
mengerem laju utang dalam kondisi seperti saat ini, tidaklah mudah. Perlu
solusi lain yang lebih efektif. Pertama,
memacu penerimaan pajak. Caranya, misalnya dengan menaikkan tarif pajak untuk
sejumlah obyek kena pajak yang dinilai terlalu rendah. Misalnya, menaikkan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 15 persen sesuai
rata-rata PPN dunia. Juga, ekstensifikasi obyek kena pajak terhadap sejumlah
kegiatan dan obyek ekonomi digital yang selama ini masih bebas pajak. Selain
itu, melakukan pengusutan intensif terhadap korporasi penghindar dan
penggelap pajak. Data Ditjen Pajak (2021) menunjukkan, jumlah wajib pajak
(WP) badan yang melaporkan rugi selama lima tahun berturut-turut terus
meningkat dari 5.199 WP (2012-2016) menjadi 9.496 WP (2015-2019). Dari
sisi akuntansi, fenomena itu sangat tak logis. Sangat mungkin, korporasi
pelapor rugi itu telah menggunakan berbagai teknik manajemen laba untuk
merekayasa labanya agar jumlahnya minus. Tujuannya, agar bisa menghindar dari
Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Kedua,
efisiensi belanja negara. Selama masa Covid-19, belanja negara naik drastis.
Pada 2020, belanja naik Rp 599,05 triliun (171,82 persen). Sementara pada
2021, walaupun hanya dianggarkan naik 6 persen, namun akibat kenaikan kasus
Covid-19, sangat mungkin belanja negara akan meningkat signifikan lagi. Di
sisi lain, pendapatan dari pajak dan PNBN diperkirakan akan merosot lagi
sehingga defisit APBN akan kian melebar. Menghadapi
realitas itu, efisiensi anggaran untuk menekan defisit APBN sangatlah
krusial. Misalnya, memotong atau meniadakan pos-pos pengeluaran yang dinilai
kurang mendesak. Juga, menunda pos-pos pembelanjaan modal yang dinilai kurang
mendesak. Atau,
mengurangi dana transfer ke daerah karena hasil audit BPK menunjukkan
mayoritas daerah makin tidak mandiri fiskalnya dan tergantung pada pemerintah
pusat selama 2013-2020. Sejumlah rekomendasi BPK juga layak ditindaklanjuti
untuk menekan defisit APBN. Kita
berharap agar pemerintah dan semua pihak bisa bersama-sama berupaya dengan
caranya masing-masing menekan laju kasus Covid-19. Selama 17 bulan terakhir,
kita mestinya sudah belajar dari sejumlah kecerobohan kita dalam merespons
realitas Covid-19. Ke
depan, kita tak boleh lagi mengulangi kecerobohan itu agar Covid-19 bisa
mereda dan aktivitas perekonomian bisa bergairah lagi. Hanya dengan cara itu,
defisit APBN dapat ditekan, krisis keuangan dapat dihindari dan kemampuan
pemerintah dalam membayar utang dapat pulih lagi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar