Ketuhanan
Yang Maha Esa Al Makin ; Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta |
SINDONEWS, 5
Agustus 2021
SILA Ketuhanan ditempatkan
pada sila pertama, menandakan perhatian rakyat kita pada urusan agama begitu
besar. Agama penting dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi rakyat
Nusantara, bahkan cara berfikirpun dengan selalu mengaitkan pada hal-hal
keagamaan. Jenis dan asal agama
memang bermacam-macam, dari segi waktu yang berganti dan pulau yang terpisah
lautan, tetapi sikap agamis umat selalu begitu. Para peleteak dasar negara
kita kala itu tentu sadar keadaan ini. Memang, dalam sejarah
Nusantara, kerajaan-kerajaan era pra-penjajahan selalu melegitimasi
wewenangnya dalam memerintah dengan konsep keagamaan. Peninggalan-peninggalan
abad tujuh sampai abad enam belas Masehi menunjukkan relasi yang kuat antara
agama dan kerajaan, terlepas dari tradisi keagamaan apa dan datang dari mana. Kenyataannya, tradisi
keagamaan datang silih berganti, bahkan itulah yang menjadi resep ramuan
Nusantara. Agama, politik, sosial dan ekonomi selalu terkait, atau
dikait-kaitkan. Dalam sejarahnya,
Nusantara ini selalu menerima unsur-unsur luar, namun dimodifikasi sesuai
dengan udara iklim udara tropis bermusim dua saja. Dalam praktik keagamaan,
dan juga konsep dasarnya, juga kurang lebih begitu. Tradisi India, China,
Timur Tengah, Eropa berjumpa dan penyelarasan demi penyelarasan terjadi dari
satu masa ke masa lainnya. Tradisi yang lahir di
tanah luar diterima para pengikut di sini, dan udara sepoi-sepoi di bawah
nyiur melambai menumbuhkan berbagai bentuk dan tafsir baru. Modifikasi dan
penyelarasan menghasilkan tafsir model Nusantara. Bukti-bukti menunjukkan
kreativitas konsep yang berbeda di dunia luar seperti Hindu dan Buddha di
India, misalnya dengan yang berkembang di Majapahit tampak nyata. Raja
Nusantara tidak keberatan bertindak sebagai rekonsiliator hal-hal yang tidak
sama. Persaingan lama di
Jenggala, Kediri, Daha, Kahuripan dan Singosari abad dua belas menunjukkan
bahwa Sivaisme, Wisnuisme, dan Tantrayana mengarah pada saling kompromi.
Beberapa penguasa setempat berusaha tampil sebagai pelindung dari aliran yang
bermacam-macam. Catatan manuskrip dan
prasasti kuno menunjukkan klaim para penguasa sebagai pelindung semua aliran.
Watak kompromi di tengah konflik yang tak berkesudahan dari satu kerajaan ke
kerajaan yang lain. Sila Ketuhanan Yang Maha
Esa dalam dua Tap MPR, yaitu No. II/MPR/1978 dan no I/MPR/2003 menerangkan
kondisi nyata bangsa Indonesia dan tantangan yang harus disikapi. Kedua versi
keterangan butir-butir Sila pertama tidak menyinggung doktrin, dogma, atau
konsep teologi tertentu. Sila pertama ini ternyata
bukan soal keyakinan dan teologi. Namun, kedua tap MPR menerangkan harus
bagaimana ketika warga negara yang beragama berhadapan dengan tata aturan
negara, juga berhadapan dengan sikap toleransi dengan agama lain, dan dengan
sesama umat beragama namun mazhab yang beda. Kedua tap MPR lebih menekankan
unsur etika, norma, dan sopan santun dalam beragama dalam bentuk lahiriyah
sikap, bukan batiniah dalam berdoa. Sila Ketuhanan Yang Maha
Esa seperti ringkasan trilogi kerukunan yang dahulu kala era Orde Baru tahun
1970 sampai 1980-an. Trilogi ini menggambarkan hubungan dinamis antar warga
yang bertakwa, negara yang berdaulat, dan sesama warga yang imannya berbeda.
Kerukunan itu menjadi landasan pemerintah era itu. Sejatinya ini berhasil
cukup lama, walaupun sudah perlu dilihat ulang demi penyesuaian zaman. Jika ditarik ke belakang
lagi, konsep itu sudah pernah disinggung oleh Driyarkara yang mencoba
menjawab tantangan bagaimana relasi antara warga yang beriman dengan negara
yang netral sebagai pelindung agama-agama. Negara tidak berpihak, apalagi
melakukan diskriminasi terhadap kelompok tertentu, idealnya. Negara mengayomi
semuanya. Negara melindungi iman yang berbeda, seperti para raja kuno di
Nusantara. Negara juga menjamin
kebebasan beragama bagi para warganya. Bahkan dalam versi tap I/MPR/2003
disebutkan secara jelas relasi antara manusia dan Tuhannya adalah hak privat
setiap pribadi. Bagaimana cara berdoa dan
mendekatkan diri pada Tuhan adalah urusan pribadi menurut keyakinan
masing-masing. Negara menjamin perlindungan keyakinan itu. Urusan toleransi dan
perlindungan inilah yang perlu mendapat perhatian dari tafsir Sila pertama
Pancasila. Kritik dari para pengamat dalam negeri dan luar negeri melihat
bahwa kehidupan guyup dan rukun sebagai idealisme Nusantara perlu mendapat
tekanan lagi. Sudahkah kita menghargai
iman lain? Sudahkah kita menghargai sesama iman yang beraliran beda? Sudahkah
kita turut melindungi semua warga tanpa diskriminasi dan pandang bulu? Kita
harus mulai dari hal-hal kecil dan dari diri sendiri. Jika kita bisa melakukan
itu, maka berarti kita sudah kembali ke era Hayam Wuruk yang mengunjungi
banyak candi dan tempat suci yang beraliran beda. Menurut Negarakertagama,
Hayam Wuruk membantu pembangunan dan pemeliharaan semua candi yang beraliran
beda. Jika sikap Hayam Wuruk
bisa diterjemahkan lagi di era sekarang, berarti kita harus menghormati semua
tempat ibadah, memelihara dan melindunginya. Menghormati semua umat dan cara
ibadah masing-masing. Sikap ini seperti yang diungkap dalam butir-butir
Pancasila pada sila pertama menurut tap MPR 1978 atau 2003, keduanya
menyingung sikap lapangnya hati ini. Ketuhanan Yang Maha Esa
adalah soal sikap, norma, etika dan sopan santun yang tampak secara kasat
mata, bagaimana beragama dalam negara yang majemuk yang mempunyai warga
dengan pemahaman keagamaan yang bermacam-macam. Tafsir yang selalu terbuka
untuk diwarnai. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar