Jangan
Samakan AKM dengan UN Kurniawan Adi Santoso ; Guru SDN Sidorejo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa
Timur |
KOMPAS, 31 Juli 2021
Asesmen
kompetensi minimum direncanakan diselenggarakan pada September-Oktober 2021.
Hasilnya akan diumumkan pada Desember. Saat ini sudah memasuki tahap validasi
data calon peserta asesmen kompetensi minimum. Asesmen
kompetensi minimum (AKM) sesungguhnya dipergunakan sebagai instrumen pemetaan
mutu pendidikan dasar dan menengah. Di lapangan, rupanya banyak kepala
sekolah dan guru yang menafsirkan AKM sama seperti ujian nasional (UN). Ini
jelas penafsiran yang keliru. AKM beda jauh dengan UN. Apabila
tidak diluruskan, kekeliruan penafsiran ini bisa berdampak buruk kepada
siswa, seperti menimbulkan tekanan psikologis serta adanya potensi
komersialisasi, baik berupa penjualan buku-buku kumpulan soal AKM maupun
munculnya bimbingan belajar. Juga kemungkinan terjadinya ketidakjujuran,
entah praktik contek masal ataupun membocorkan kunci jawaban. Makanya,
kita perlu memahami AKM secara saksama. Memahami konsep AKM dapat dimulai
dari menelaah AKM sebagai instrumen penilaian untuk mengukur kompetensi
minimum atau kemampuan mendasar siswa. Kompetensi mendasar yang dimaksud
adalah kompetensi literasi dan numerasi. Literasi dan numerasi merupakan
kompetensi yang dikembangkan secara lintas mata pelajaran. Kemampuan
membaca yang diukur melalui AKM literasi dikembangkan tidak hanya melalui
mata pelajaran Bahasa Indonesia, tetapi juga pelajaran Agama, IPA, IPS, dan
mata pelajaran lainnya. Demikian juga kemampuan berpikir logis-sistematis,
diukur melalui AKM numerasi dalam berbagai pelajaran. Dengan mengukur
literasi dan numerasi, AKM diharapkan mampu mendorong guru semua mata pelajaran
untuk fokus pada pengembangan kompetensi membaca dan berpikir
logis-sistematis. Dengan
memahami konsep awal yang demikian, konteks kompetensi minimum yang dimaksud
dalam AKM bukan kompetensi seadanya atau kompetensi tataran rendah yang
cemen. Akan tetapi, ini merupakan kompetensi mendasar yang harus dikuasai
siswa untuk mempersiapkan masa depan mereka. Dalam
AKM, kurikulum bukan hanya bermuatan konten, melainkan juga tingkatan
kemampuan berpikir. Oleh sebab itu, kemampuan berpikir harus dilatih dan
diajarkan. AKM dimandatkan untuk mengukur kemampuan berpikir logis, pemecahan
masalah, inferensi, analisis, sintesis, dan evaluasi, selain konsep-konsep
dasar dan prosedural (rote-learning). Hasil
AKM dirancang untuk keperluan diagnosis. Guru menafsirkan capaian kompetensi
literasi dan numerasi siswa untuk mendiagnosis proses pembelajaran. Dengan
demikian, guru kemudian dapat menerapkan teaching at the right level serta
fokus membangun kompetensi serta karakter murid. Jadi,
untuk menghadapi AKM, siswa tak perlu dijejali bertumpuk-tumpuk soal atau
disuruh les AKM ke bimbingan belajar. Siswa cukup disediakan pembelajaran
yang mendorong terbangunnya kompetensi serta karakter. Kalau hanya untuk
mengenalkan siswa pada beragam format soal AKM, guru bisa mengajak siswa
mengunjungi laman https://pusmenjar.kemdikbud.go.id/akm. Lagi
pula, AKM bukan untuk mengevaluasi siswa, bahkan menambah beban siswa ataupun
sebagai syarat dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB). Tidak ada
konsekuensi untuk siswa, tetapi dirancang untuk memperbaiki sistem pendidikan
dasar dan menengah. Jadi, siswa tak perlu dibuat khawatir atau takut dengan
adanya AKM. Tidak perlu berlebihan Sekolah
hendaknya tidak perlu berlebihan menyikapi AKM. AKM tidak sama dengan UN.
Tidak usah menjadikan hasil AKM nanti sebagai ajang pertaruhan gengsi. Sebab,
AKM difungsikan untuk membantu sekolah memperbaiki performa layanan
pendidikannya menjadi lebih baik. Selama
ini, pertaruhan gengsi antarsekolah kerap menimbulkan kecurangan-kecurangan
akademik, seperti mencontek, mengakui pekerjaan yang bukan miliknya, ataupun
melakukan plagiasi dalam mengerjakan tugas sekolah. Ahli pendidikan
mengistilahkan perilaku kecurangan akademik dengan korupsi intelektual. Mengerikan
sekali menyadari bahwa generasi muda pun bisa menjadi pelaku korupsi. Sikap
menggampangkan segala cara dalam memperoleh nilai yang tinggi akan memicu
siswa menjadi pelaku korupsi intelektual. Dikhawatirkan, kelak akan menjadi
pelaku korupsi yang sebenarnya. Oleh
karena itu, sekolah hendaknya menyikapi AKM sejalan dengan tujuan pendidikan.
Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dengan
demikian, langkah paling tepat adalah menjadikan hasil AKM benar-benar murni
untuk mengukur kemampuan siswa dalam belajar. Nanti, sekolah yang nilai
AKM-nya di bawah standar yang ditetapkan pemerintah harus meningkatkan
kualitasnya, sedangkan sekolah yang telah mampu mencapai nilai standar atau
bahkan lebih tinggi harus terus menjaga kualitasnya. Perlu
dipahami bersama bahwa keberhasilan suatu sekolah bukan diwakili hasil AKM
semata, melainkan juga keseluruhan proses pembelajaran yang dilakukan siswa.
Pemetaan pada proses pembelajaran sangat penting tidak hanya untuk memastikan
bahwa sekolah melakukan pembelajaran dengan benar, tetapi juga untuk
meningkatkan rasa percaya diri siswa. Apabila rasa percaya diri siswa tinggi,
keinginan untuk berbuat curang tidak akan ada. Sebenarnya,
sekolah tidak akan mencurangi AKM apabila karakter kejujuran di sekolah
tersebut sudah membudaya. Praksisnya, kejujuran menjadi napas dalam tiap
gerak langkah warga sekolah, baik di dalam berolah ide, berperilaku,
berekspresi, maupun di dalam menciptakan karya. Akan
tetapi, berkaca dari penyelenggaraan UN, budaya jujur di sekolah tidaklah
cukup sebagai benteng untuk menghalau kecurangan akademik. Karena itu, budaya
jujur harus ada dalam tiga alam atau tempat hidup anak-anak kita, yakni alam
keluarga, alam perguruan/sekolah, dan alam pergaulan/masyarakat. Dengan
keberadaan gotong royong kejujuran ini, penyelenggaraan AKM yang
berintegritas dapat terwujud. Dengan
demikian, AKM dapat menjawab kebutuhan pemetaan mutu pendidikan dasar dan
menengah. Apabila sudah terpetakan, otomatis semakin gampang pula pemerintah
mengambil langkah untuk memajukan pendidikan nasional. Bukankah begitu? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar