Amerika
Pergi, Taliban Bergerak Hamid Awaludin ; Pengajar Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, Makassar |
KOMPAS ,13 Agustus 2021
Dunia
dan rakyat Afghanistan kini tengah menghadapi kecemasan berlipat ganda. Di
negeri yang hampir tak pernah berhenti dilanda perang ini, Taliban, kelompok
perlawanan bersenjata di Afghanistan, ingin kembali menghunjamkan
kekuasaannya yang pernah hilang. Keputusan
Presiden AS Joe Biden untuk menarik keluar semua anggota militernya dari
Afghanistan meninggalkan ampas dan pampasan perang yang tak alang-kepalang.
Bukan hanya peralatan tempur, kendaraan militer, dan kamp-kamp prajurit yang
kosong tak bertuan, juga rakyat Afghanistan yang kini ketakutan. Belum
lagi tenggat penarikan terakhir tentara AS meninggalkan Afghanistan 11
September 2021—bertepatan dengan 20 tahun tragedi 9/11—Taliban sudah
bergerak. Sejak Jumat, 6 Agustus lalu, pasukan Taliban melancarkan serangan
kilat ke sejumlah kota. Dalam
tiga hari, Taliban berpesta dengan merebut kota Taloqan, Sar-e-Pul, Kunduz,
Sheberghan, dan Zaranj. Kota keenam, Aibak, ibu kota Provinsi Samangan,
direbut tanpa perlawanan. Saat
ini, Taliban telah menguasai enam ibu kota provinsi dari 34 provinsi di
negara itu. Maka, sebentar lagi Taliban akan mengepung dan menguasai ibu kota
Kabul, lalu melakukan parade kemenangan. Ini
baru awal. Kita tak melihat kemungkinan lain yang menghadang Afghanistan
selain perang saudara yang bakal berkepanjangan, yang melibatkan Taliban dan
pasukan Pemerintah Afghanistan, dan mungkin milisi-milisi yang terserak di
berbagai tempat dan kini terjaga dan waspada. Akar masalah Jika
kita hendak jujur, akar masalah kontemporer Afghanistan sekarang ini ialah
perjanjian bilateral antara AS dan Taliban yang ditandatangani pada Februari
2020. Dalam
perjanjian itu, jelas sekali AS hanya mementingkan dirinya sendiri, tak lagi
berhadapan dengan Taliban. Aspek keselamatan Afghanistan setelah AS pergi
kelak sama sekali tak disinggung dalam perjanjian. Yang
penting bagi AS, Taliban berjanji tak akan mengafiliasikan dirinya dengan
kelompok teroris apa pun, dan tak menjadikan Afghanistan pangkalan untuk
menggempur AS. Dengan
format dan substansi perjanjian seperti itu, Taliban mendapat amunisi psikologis.
AS akan pergi, berarti kemenangan besar bagi Taliban karena memang itulah
motif perlawanannya 20 tahun terakhir. Taliban
merasa sebagai pemenang dalam percaturan perebutan kekuasaan dengan rezim
penguasa Afghanistan sekarang. Malah saya dengar, Taliban sudah menyusun
anggota kabinet yang akan mereka tawarkan manakala AS sudah pergi. Suasana
batin sebagai pemenang itu saya rasakan betul melalui pertemuan dan
komunikasi saya dengan para pemimpin Taliban belakangan ini. Rasa superior
itu sudah menggelayut di pikiran dan keyakinan mereka. Maka,
dengan mudah dinujum, ke depan, begitu AS pergi, akan terjadi perang saudara
besar-besaran antara pasukan pemerintah dan Taliban. Satu pihak mau
mempertahankan kekuasaan, yang satu mau merebut kekuasaan. Afghanistan bakal
tercabik dan jadi negara gagal. Kepergian
AS kelak bukan kemenangan buat Taliban, melainkan peneguhan bahwa negeri
adidaya itu sangat setia mengulangi sejarah kesalahan dan kekalahannya
sendiri. AS
terlibat Perang Korea tahun 1950, dan menandatangani perjanjian damai tahun
1953. Hasilnya, Korea terbelah menjadi Korea Utara dan Korea Selatan hingga
kini. AS tak menyelesaikan soal dengan keterlibatannya. Perang
Vietnam juga demikian. AS menandatangani perjanjian damai tahun 1973, lalu
pergi. Vietnam pun terbelah menjadi Vietnam Utara dan Vietnam Selatan. Di
Irak sama saja. AS menggempur Saddam Hussein, lalu hengkang, meninggalkan
Irak sebagai negara tercabik. Masih banyak lagi tempat lain mengalami nasib
seperti ini akibat politik kekuasaan AS. Bermesraan dengan China Kian
mendekat hari keberangkatan AS dari Afghanistan, kian aktif Taliban membangun
aliansi dengan China, Rusia, dan Iran. Saya tak percaya aliansi itu murni.
China dan Rusia hanya memperalat Taliban. Masalahnya,
China memiliki persoalan tersendiri dengan gerakan separatis yang dicap
sebagai gerakan teroris, Uighur yang beragama Islam. China membuat kesan
persekutuan dengan Taliban agar Taliban tak ikut membantu gerakan Uighur. Rusia
juga memiliki kesamaan motif dengan China karena Rusia memiliki
kelompok-kelompok perlawanan yang disebut Dagestan, yang juga dilabeli
sebagai teroris karena mereka beragama Islam. Lantas
apa motifnya bersekutu dengan Iran? Aliansi ini sebenarnya sudah lama
terjalin, tetapi semuanya bermuatan politik belaka. Bukan ideologi karena
Iran beraliran Syiah, sementara Taliban menganut paham Sunni, malah lebih
fokus lagi, Taliban menganut paham Hanafi. Motif
politik persekutuan ini sangat jelas, Iran adalah musuh besar AS. Di sini
berlaku prinsip, lawan dari musuhmu adalah kawanmu. Implikasi
perang saudara itu adalah terjadinya pengungsian warga Afghanistan secara
masif ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Ini akan merepotkan
dunia dan bakal menimbulkan ketegangan baru. Terus
terang, negosiasi damai yang sudah berlangsung lebih dari setahun di Qatar,
antara Pemerintah Afghanistan dan Taliban, hanyalah cara Taliban mengulur
waktu untuk mencapai kemenangan. Hingga kini, belum ada masalah substansial
yang mereka capai. Salah satu masalah mendasar di sini ialah Qatar hendak
memonopoli kesempatan untuk mewujudkan perdamaian di Afghanistan. Pintu
keterlibatan negara lain untuk tujuan tersebut seolah ditutup rapat oleh
Qatar, yang memang jadi penopang keberadaan Taliban. Kebijakan tutup pintu
itu diperparah oleh kenyataan bahwa Qatar tak memiliki pengalaman dan
keterampilan teknis memediasi dua kelompok yang bertikai. Format pertemuan
dan skala prioritas serta agenda pertemuan saja tak bisa mereka buat secara
sistematis dan berstruktur. Untuk
menghindari kekerasan yang bakal merebak di Afghanistan, PBB harus mulai
turun tangan, menyiapkan pasukan perdamaian. Kekuatan Pemerintah Afghanistan
bisa jadi tak kuasa membendung serangan Taliban. Yang pasti, Taliban tak akan
bernegosiasi dengan agenda bagi kekuasaan lewat pemilu. Masalahnya,
Taliban boleh saja mengklaim mereka mengontrol lebih dari 70 persen teritori
Afghanistan, tetapi kawasan-kawasan itu kurang penduduknya. Dalam
pemilu, yang berlaku adalah prinsip one man one vote. Bukan teritori, tetapi
jumlah pemilih. Memahami
kondisi ini, Taliban tampil dengan retorika, akan membangun pemerintahan
dengan sistem emirat. Bukan one man one
vote. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar