Posisi
Adab Indonesia
Limas Sutanto ; Psikiater
|
KOMPAS,
15 Maret
2018
Ujaran
kebencian yang disebarkan masif melalui media sosial biasanya bertujuan
politis, dalam arti bermaksud mengarahkan khalayak luas agar bersikap dan
bertindak membenci lawan politik penyebarnya.
Dua
peristiwa politik mutakhir, yaitu Pemilihan Umum Presiden 2014 dan Pemilihan
Umum Gubernur DKI Jakarta 2017, mencatatkan kenyataan betapa penyebaran
ujaran kebencian sukses membuahkan hasil yang diinginkan.
Merekah
pertanyaan yang mengena pada posisi bangsa di tengah adab: Apakah masyarakat
dan bangsa Indonesia memang lebih cenderung merengkuh kebencian yang memisah-misahkan
daripada mengembangkan solidaritas kemanusiaan yang menyatukan?
Persatuan perbedaan
Adab
Indonesia ternyatakan dengan jelas dalam kesan, kenyataan, dan cita-cita
persatuan dalam keberbedaan yang luas, keramahan dan adat istiadat yang
halus, bahkan dalam gagasan Pancasila yang luhur.
Namun,
posisi adab tidak hanya ditentukan oleh seberapa kuat cita-cita dan pemikiran
luhur yang berkembang dalam diri setiap warga dan pemimpinnya; tingkat
kekukuhan koherensi jiwa, yaitu kemantapan diri dalam menghayati realitas
subyektif yang terkandung di dalamnya—semacam rasa percaya diri—juga
menentukannya.
Adab
hanya (atau setidaknya lebih mungkin) diejawantahkan oleh warga bangsa dan
pemimpin yang koheren jiwanya. Kemantapan dalam menghayati realitas subyektif
diri yang unik juga melandasi kemampuan menghargai liyan sebagai keunikan,
bukan musuh melainkan mitra yang saling melengkapi untuk hidup lebih utuh.
Kohut
(1971, 1977, 1984), serta Stolorow, Brandchaft & Atwood (1995/2013)
berjasa mengetengahkan dua faktor yang menganyam kemantapan diri atau koherensi
jiwa. Faktor pertama adalah pengalaman menjalani hidup terus-menerus dalam
solidaritas kemanusiaan, yang oleh keempat pelopor psikoanalisis
intersubyektif itu diperinci dalam ”keterhubungan serasi perasaan antarinsan”
(affect attunement), dan ”pengakuan empatik atas pengalaman subyektif liyan”
(empathic validation).
Sementara
faktor kedua untuk bertumbuh kembangnya koherensi diri ialah pengalaman
tenteram yang panjang karena pendampingan oleh tokoh yang disegani dan
dihormati. Keempat pelopor menyebut pengalaman tersebut sebagai idealizing
selfobject experience.
Gotong
royong spontan di desa dan kampung di negeri ini dapat dimengerti sebagai
bukti berlangsung serta bertumbuhkembangnya faktor pertama. Sekaligus
fenomena itu membuktikan kehendak insan-insan Indonesia untuk menghidupi
kemantapan diri di tengah solidaritas kemanusiaan.
Fenomena
ketaatan terhadap tokoh yang mereka idealisasikan, bahkan mereka idolakan,
yang nyata-nyata berlangsung juga di tengah masyarakat Indonesia, menunjukkan
betapa insan-insan Indonesia memilih jalan menghidupi kemantapan diri dalam
pendampingan tokoh-tokoh yang ditinggikan.
Perbedaan faktor
Kendati
kedua faktor sama-sama dibutuhkan untuk bertumbuh kembang dan terpeliharanya
kemantapan diri, tetapi mereka mengandung perbedaan mendasar.
Faktor
pertama tidak mengandung kiprah tokoh teridealisasi; justru peran utama yang
bekerja dalam faktor ini adalah hadirnya orang setara yang mengerti dan
menyambungkan diri dengan orang lain yang menumbuhkembangkan dan memelihara
kemantapan pribadi.
Faktor
kedua, fungsi pemantapan diri dijalankan oleh orang yang dipandang tinggi.
Sejarah
panjang bangsa Indonesia di bawah penjajahan kekuasaan asing yang mengacaukan
proses alamiah pemantapan diri, ditambah dengan siasat penjajah yang secara
menyejarah memisah-misahkan dan mengadu domba untuk menguasai (devide et
impera), menempatkan bangsa dalam ansietas kolektif historis; warga bangsa
mewarisi kerentanan menjadi cemas dan melupakan solidaritas kemanusiaan.
Keadaan
ini dapat mendorong warga lebih membutuhkan fungsi menenangkan dan
menenteramkan dari tokoh-tokoh yang mereka idealisasikan seraya menomorduakan
solidaritas kemanusiaan.
Idolisasi
Pada
perspektif ini, posisi hamparan warga bangsa dalam perjuangan meraih dan
memelihara kemantapan diri lebih ditandai pengandalan faktor kedua, yaitu
perengkuhan ketenteraman dalam pendampingan tokoh yang ditinggikan.
Dapat
dilihat, masyarakat Indonesia menghargai, menjunjung tinggi, mengidolakan
tokoh-tokoh. Idolisasi yang begitu kuat dapat menyisihkan solidaritas
kemanusiaan, karena ia berlangsung dalam pusaran seorang atau beberapa orang
tokoh, bukan menyatupadukan banyak orang dalam keterhubungan setara.
Posisi
adab Indonesia itu mengilhamkan pengertian bahwa penyebaran ujaran kebencian
dapat sangat berhasil dengan menumpang aneka bentuk proses dan peristiwa
idealisasi dan idolalisasi.
Kebalikannya,
apabila setiap proses dan peristiwa idolisasi dan idealisasi, yang tentu
melibatkan tokoh-tokoh yang ditinggikan, dapat dijaga agar tidak ditumpangi
penyebaran ujaran kebencian, upaya-upaya politis penyebaran ujaran kebencian
akan sulit berhasil.
Peran
tokoh-tokoh masyarakat, kebudayaan, adat, pemerintahan, dan keagamaan begitu
genting dalam menentukan posisi adab bangsa Indonesia di tengah dunia yang
ditembusi juluran-juluran pemberitaan dan penyebaran informasi yang tiada
batas. Artinya, tokoh-tokoh adalah penanggung jawab terbesar posisi adab
bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar