Ruang
Kota dan Dilema Gerobak Kaki Lima
Safitri Ahmad ; Arsitek Lansekap; Urban Planner;
Penulis Arsitektur dan Arsitektur Lansekap
|
DETIKNEWS,
07 Maret
2018
Penghuni
kos di salah satu tempat kos di Jakarta Pusat terdiri dari berbagai profesi;
karyawan biasa, satpam, dan tukang bakso. Pemilik kos menyediakan parkir
motor di dalam bangunan, tapi tidak mengizinkan gerobak bakso untuk masuk dan
parkir di dalam. Padahal ruang (space) yang digunakan untuk motor dan gerobak
bakso sama. Padahal mereka (semua penghuni) membayar sewa kamar yang sama.
Kenapa? Karena motor berharga dan mudah dicuri, sedangkan gerobak bakso
tidak.
Tukang
bakso yang menghuni kos itu memarkir gerobak mereka di depan rumah (di
pinggir jalan), dan di lahan kosong di dekat tempat kos. Mereka memproduksi
bakso di dekat gerobak. Jika mereka pulang kampung, (satu-dua minggu bahkan
bisa sebulan) gerobak itu dibiarkan begitu saja, sampai mereka kembali dan
menggunakannya untuk berjualan bakso. Tidak ada yang mengusik.
Bagi
yang bermukim di tempat kos di pinggir jalan lebih mudah. Tapi, bagaimana
dengan pedagang yang bermukim di dalam gang? Tidak ada tempat memarkir
gerobak dagangan mereka, karena tempat yang terbatas. Mereka dengan mudah
memarkir gerobak itu di mana saja, di lahan yang tidak bertuan, tidak diawasi
(tidak ada pihak yang melarang). Atau, di tempat yang telah disepakati antara
pedagang dan warga di sekitar tempat mangkal, misalnya di lahan kosong, taman,
di tanah/area yang kosong, di pinggir jalan (tempat mangkal) yang penting
tidak mengganggu jalur jalan pejalan kaki dan jalur kendaraan.
Ketika
7- Eleven di salah satu ujung jalan masih beroperasi, lahan parkir bangunan
digunakan hanya untuk pengunjung waralaba itu. Setelah tutup, tidak ada lagi
yang mengawasi dan lahan parkir digunakan untuk parkir motor, pedagang kaki
lima (penjual pecel lele), dan di sudut lahan parkir ada gerobak pedagang
kaki lima. Gerobak diparkir dengan rapi, tidak mengganggu motor atau kegiatan
lain di lahan itu. Ini menunjukkan pemiliknya pulang kampung.
Bagi
pedagang kaki lima yang menyewa rumah kontrakan dan cukup luas, gerobak
dimasukkan ke dalam rumah, agar awet dan tahan lama, tidak terkena hujan dan
panas.
Pedagang
kaki lima bergerobak tidak bermukim di Jakarta. Mereka ke Jakarta hanya untuk
berdagang. Pedagang kaki lima yang mengunakan gerobak biasanya berjualan
makanan, misalnya bakso, mie ayam, bubur ayam, siomay, jamu, martabak, sayur,
buah, bakpoa, dan masih banyak lagi. Mereka merupakan pedagang individu,
bukan pedagang yang bekerja pada produsen besar, seperti penjual es krim dan
roti yang menggunakan gerobak sepeda. Penjual es krim dan roti yang bekerja
pada produsen besar memarkir gerobak mereka di halaman produsen itu, properti
pribadi.
Pedagang
kaki lima gerobak individu menjalankan bisnis dengan modal sendiri dan
terbatas. Mereka membeli (membuat gerobak dagangannya), mencari tempat usaha
(tempat mangkal), dan memilih tinggal (bermukim) di komunitas sesama pedagang
dengan usaha sejenis, misalnya pedagang bakso akan bermukim sesamanya. Begitu
juga dengan pedagang bubur ayam dan tukang sayur. Bermukim dalam satu
kelompok dengan usaha sejenis membuat mereka saling membantu satu dengan yang
lain, misalnya berbelanja bahan baku secara bersama-sama dengan menyewa mobil
atau mengendarai motor ke pasar induk yang lebih murah.
Walau
mereka bermukim dalam satu tempat (bisa berupa tempat kos, satu rumah besar
yang disewa secara bersama-sama, atau rumah petak), tapi berjualan di tempat
yang berbeda. Jarak antara tempat bermukim dan tempat mangkal tidak terlalu
jauh. Mereka mempunyai wilayah usaha (tempat mangkal) masing-masing, yang
menetap.
Secara
etika, tempat mangkal yang sudah dimanfaatkan bertahun-tahun itu tidak dapat
diisi atau digantikan oleh usaha sejenis. Misalnya, ketika tukang bubur ayam
yang biasa mangkal di salah satu jalan perumahan tidak berdagang karena
pulang kampung, maka tempat mangkal itu harus dibiarkan kosong. Atau,
digantikan oleh anak atau saudaranya dengan jualan sejenis (bubur ayam).
Jika
tempat mangkal atau bermukim terkena gusur atau pembangunan kota, mereka akan
berpindah mencari tempat mangkal dan tempat bermukim yang baru, yang dekat
dengan lokasi semula, sehingga tetap bisa melayani pelanggan lama. Begitulah
dinamika, juga dilema pedagang bergerobak kaki lima di ruang-ruang kota
Jakarta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar