Senin, 19 Maret 2018

Ruang Kota dan Dilema Gerobak Kaki Lima

Ruang Kota dan Dilema Gerobak Kaki Lima
Safitri Ahmad  ;   Arsitek Lansekap; Urban Planner; 
Penulis Arsitektur dan Arsitektur Lansekap
                                                    DETIKNEWS, 07 Maret 2018



                                                           
Penghuni kos di salah satu tempat kos di Jakarta Pusat terdiri dari berbagai profesi; karyawan biasa, satpam, dan tukang bakso. Pemilik kos menyediakan parkir motor di dalam bangunan, tapi tidak mengizinkan gerobak bakso untuk masuk dan parkir di dalam. Padahal ruang (space) yang digunakan untuk motor dan gerobak bakso sama. Padahal mereka (semua penghuni) membayar sewa kamar yang sama. Kenapa? Karena motor berharga dan mudah dicuri, sedangkan gerobak bakso tidak.

Tukang bakso yang menghuni kos itu memarkir gerobak mereka di depan rumah (di pinggir jalan), dan di lahan kosong di dekat tempat kos. Mereka memproduksi bakso di dekat gerobak. Jika mereka pulang kampung, (satu-dua minggu bahkan bisa sebulan) gerobak itu dibiarkan begitu saja, sampai mereka kembali dan menggunakannya untuk berjualan bakso. Tidak ada yang mengusik.

Bagi yang bermukim di tempat kos di pinggir jalan lebih mudah. Tapi, bagaimana dengan pedagang yang bermukim di dalam gang? Tidak ada tempat memarkir gerobak dagangan mereka, karena tempat yang terbatas. Mereka dengan mudah memarkir gerobak itu di mana saja, di lahan yang tidak bertuan, tidak diawasi (tidak ada pihak yang melarang). Atau, di tempat yang telah disepakati antara pedagang dan warga di sekitar tempat mangkal, misalnya di lahan kosong, taman, di tanah/area yang kosong, di pinggir jalan (tempat mangkal) yang penting tidak mengganggu jalur jalan pejalan kaki dan jalur kendaraan.

Ketika 7- Eleven di salah satu ujung jalan masih beroperasi, lahan parkir bangunan digunakan hanya untuk pengunjung waralaba itu. Setelah tutup, tidak ada lagi yang mengawasi dan lahan parkir digunakan untuk parkir motor, pedagang kaki lima (penjual pecel lele), dan di sudut lahan parkir ada gerobak pedagang kaki lima. Gerobak diparkir dengan rapi, tidak mengganggu motor atau kegiatan lain di lahan itu. Ini menunjukkan pemiliknya pulang kampung.

Bagi pedagang kaki lima yang menyewa rumah kontrakan dan cukup luas, gerobak dimasukkan ke dalam rumah, agar awet dan tahan lama, tidak terkena hujan dan panas.

Pedagang kaki lima bergerobak tidak bermukim di Jakarta. Mereka ke Jakarta hanya untuk berdagang. Pedagang kaki lima yang mengunakan gerobak biasanya berjualan makanan, misalnya bakso, mie ayam, bubur ayam, siomay, jamu, martabak, sayur, buah, bakpoa, dan masih banyak lagi. Mereka merupakan pedagang individu, bukan pedagang yang bekerja pada produsen besar, seperti penjual es krim dan roti yang menggunakan gerobak sepeda. Penjual es krim dan roti yang bekerja pada produsen besar memarkir gerobak mereka di halaman produsen itu, properti pribadi.

Pedagang kaki lima gerobak individu menjalankan bisnis dengan modal sendiri dan terbatas. Mereka membeli (membuat gerobak dagangannya), mencari tempat usaha (tempat mangkal), dan memilih tinggal (bermukim) di komunitas sesama pedagang dengan usaha sejenis, misalnya pedagang bakso akan bermukim sesamanya. Begitu juga dengan pedagang bubur ayam dan tukang sayur. Bermukim dalam satu kelompok dengan usaha sejenis membuat mereka saling membantu satu dengan yang lain, misalnya berbelanja bahan baku secara bersama-sama dengan menyewa mobil atau mengendarai motor ke pasar induk yang lebih murah.

Walau mereka bermukim dalam satu tempat (bisa berupa tempat kos, satu rumah besar yang disewa secara bersama-sama, atau rumah petak), tapi berjualan di tempat yang berbeda. Jarak antara tempat bermukim dan tempat mangkal tidak terlalu jauh. Mereka mempunyai wilayah usaha (tempat mangkal) masing-masing, yang menetap.

Secara etika, tempat mangkal yang sudah dimanfaatkan bertahun-tahun itu tidak dapat diisi atau digantikan oleh usaha sejenis. Misalnya, ketika tukang bubur ayam yang biasa mangkal di salah satu jalan perumahan tidak berdagang karena pulang kampung, maka tempat mangkal itu harus dibiarkan kosong. Atau, digantikan oleh anak atau saudaranya dengan jualan sejenis (bubur ayam).

Jika tempat mangkal atau bermukim terkena gusur atau pembangunan kota, mereka akan berpindah mencari tempat mangkal dan tempat bermukim yang baru, yang dekat dengan lokasi semula, sehingga tetap bisa melayani pelanggan lama. Begitulah dinamika, juga dilema pedagang bergerobak kaki lima di ruang-ruang kota Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar