Merawat
Sektor Informal
M Rizki Pratama ; Alumnus MAP Fisipol UGM dengan Beasiswa LPDP
|
DETIKNEWS,
07 Maret
2018
Dua
sisi ekonomi sektor informal di Indonesia adalah menjadi tulang punggung
rakyat karena menjadi ekonomi terbesar, akan tetapi justru kemampuan gigantik
tersebut menjadi pilihan kedua oleh kebijakan pemerintah. Kita tahu jutaan
pedagang kaki lima (PKL) ada di sekitar kita, bahkan ketika ke mana pun di
seluruh negeri pasti akan kita temui para pedagang kecil di pinggir jalan
tersebut.
Keberadaan
mereka sering "nanggung" karena mereka seharusnya tidak boleh
berjualan di pinggir jalan dengan mengokupasi trotoar ataupun wilayah
terlarang lainnya. Di sisi lain, selalu saja negara akan berpikir dua-tiga
kali sebelum menggusur mereka karena pemerintah jelas tak punya solusi
ultra-instan untuk menjaga mereka agar tetap dapat berdagang menyambung
hidup. Tentu sektor informal tak hanya mereka yang di pinggir jalan. Mereka
yang berdagang kecil di pasar pun demikian.
Para
penjaja aneka kuliner dengan harga terjangkau dan rasa yang tak kalah dari
restoran bintang lima pun merasakan demikian; perlindungan negara terhadap
kaum kecil ini masih terasa kurang. Mereka jelas tak memilki kemapanan, daya
tahan, dan visi ke depan ketika terjadi hal yang membuat mereka bangkrut
--kebanyakan dari mereka berdagang hanya untuk survive. Sayangnya negara
masih belum mampu merumuskan kebijakan yang inklusif guna memberdayakan
mereka.
Memberangus
mereka bukanlah solusi. Keberadaan PKL telah menjadi budaya bangsa Indonesia.
Ya, pelayanan mereka lebih cepat dari ritel modern, bisa diajak ngobrol dan
tawar-menawar; ada keterikatan sosial dalam model perdagangan kaki lima.
Harga-harga disalurkan via mulut ke mulut, diskon bisa tiap waktu asalkan
rajin jadi pelanggan tetap warung. Relasi sosial yang hidup tak hanya soal
pertukaran barang tapi benar-benar ada kepercayaan antarpembeli dan penjual
yang membuat produk mereka lebih bermakna.
Terkadang
mereka dipindahkan oleh pemerintah ke tempat yang lebih baik, lebih bersih,
dan lebih bermartabat. Akan tetapi, mereka bukan hanya makhluk ekonomi;
secara sosial mereka akan tersiksa karena jauh dari pelanggan, dan memulai
sesuatu yang baru adalah hal berat bagi mereka kaum kecil yang berusaha
bertahan hidup dari hal-hal yang bagi manusia modern dianggap remeh-temeh.
Logika
pemerintah dalam merelokasi tentu sudah seharusnya bukan pemaksaan pada kehidupan.
Pemerintah yang jauh lebih visioner sudah seharusnya sejak awal melarang PKL
berjualan di lokasi tertentu, bukan menggusur ketika para PKL sudah menduduki
dalam waktu yang lama. Sayangnya, itu yang terjadi --pemerintah lambat
berpikir ke depan. Logika menyalahkan pihak yang lemah yang sering dimainkan.
Kehidupan
PKL tak bisa dengan hanya merelokasi bahkan menggusur dengan secarik kertas;
kebanyakan akan melawan. Para pengambil keputusan tingkat tinggi cenderung
defensif, akibatnya bentrok antara aparatur level bawah dan para penjaja
jalanan tak terhindarkan. Model-model seperti inilah yang seharusnya dilarang
kembali di era Indonesia yang lebih kritis dan sadar seperti saat ini, ketika
apapun akan menjadi viral dan dengan cepat mendapatkan tanggapan, lebih cepat
daripada pemerintah yang kebanyakan rapat tapi minim aksi.
Bentuk-bentuk
pelayanan publik kepada sektor informal harus segera di-delivery. Dalam momen
pilkada seperti saat ini, tentu calon-calon yang membawa ekonomi kerakyatan
akan sering banyak bicara tentang bagaimana mewujudkan kesejahteraan melalui
ekonomi kerakyatan. Tinggal kita lihat bersama ketika berbicara ekonomi
kerakyatan tanpa PKL, tanpa petani, tanpa buruh, tanpa pekerja
"pocokan", jelas mereka sedang membohongi publik. Ketika pihak
lemah tersebut hanya disebutkan dengan angka statistik, hanyak diwakilkan
lewat angka, sesungguhnya para calon sama sekali tidak paham rentannya sektor
informal kita.
Sekali
lagi, ekonomi kerakyatan adalah PKL, petani, buruh dan pekerja rentan
lainnya. Salah satu kesalahan terbesar dalam logika berpikir kita yaitu
demokrasi hanya hadir ketika momen pencoblosan di sekitar waktu tersebut.
Padahal pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang demokratis,
diperlihatkan dengan kebijakan-kebijakan mereka yang demokratis. Memang
republik tengah berjalan ke arah demokratisasi yang lebih baik alias
berproses. Akan tetapi, sebagai organ yang memiliki mandat rakyat untuk
melayani rakyat, tentu tak elok jika ada pemaksaan ketika pemerintah sendiri
juga salah sejak awal.
Menyalahkan
rakyat sama mudahnya dengan menyalahkan pemerintah. Terlalu banyak dari kita
juga belum paham benar apa hak-hak dan kewajiban kepada negara sebelum menegasi
peran pemerintah. Setidaknya saling menyadari, apabila kedua entitas tak
memiliki ruang dialog yang cukup, dan keduanya menggunakan power
masing-masing untuk saling membenarkan diri sendiri seperti pemaksaan
kebijakan publik dari pemerintah dan aksi masa oleh rakyat, justru kekacauan
yang didapati.
Demokrasi
di ruang kesejahteraan seharusnya menjadi pilar utama dalam penyelenggaraan
negara, bersama rakyat yang memang membutuhkan ruang untuk hidup sedangkan
negara butuh untuk mencapai visi ke depan dengan kerangka regulasinya. Sektor
informal bukanlah musuh pemerintah karena jelas membantu kerja pemerintah
sendiri untuk mencapai kesejahteraan. Tinggal bagaimana ruang-ruang baru
kesejahteraan dapat dimanfaatkan oleh kedua pihak.
Semoga
ke depannya kesejahteraan bersama tidak lagi terdengar dengan upaya-upaya
represif pemerintah dalam menertibkan sektor informal, karena jelas tak
demokratis serta mempersulit kehidupan warga negara yang butuh makan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar