Senin, 19 Maret 2018

Ekstremisme Sejarah dalam Dua Monumen Soeharto

Ekstremisme Sejarah dalam Dua Monumen Soeharto
Iqbal Aji Daryono  ;   Esais; Tinggal di Bantul
                                                    DETIKNEWS, 06 Maret 2018



                                                           
Maret telah tiba. Ini "bulan suci Soeharto". Pada Maret ini ada dua di antara sekian pasak legitimasi historis kekuasaan panjang Soeharto, yakni tanggal 1 dan tanggal 11. Maka, demi merayakan Maret yang indah, Senin kemarin saya meluncur ke kampung Kemusuk.

Saya tiba setelah 30 menit perjalanan. Memorial Jenderal Besar HM Soeharto, begitu bunyi tulisan di papan penanda. Patung besar sosok Soeharto berseragam dinas tentara menyambut saya dengan anggunnya. Ia menjadi pengganti gupala yang menjaga satu kompleks megah berasitektur Jawa dengan dominasi warna putih-biru. Di sebelah kiri berdiri musala mewah berkubah sewarna emas, berdekatan dengan dinding besar yang menampilkan relief sosok Sang Hero berkopiah dan berkain sarung, lengkap dengan slogan-slogan Jawa tentang kesederhanaan, kesalehan, dan kebijaksanaan.

Di pendopo, saya menjumpai sepasukan bapak-ibu lanjut usia dari Srumbung, Magelang yang duduk lesehan dengan khusyuknya. Usai menyimak video di layar televisi, mereka manggut-manggut takzim ketika seorang pemandu menyampaikan puja-puji kepada Soeharto.

Segala ketakziman itu kian paripurna ketika kami masuk bersama ke gedung diorama. Ini museum yang kelengkapan fasilitasnya jauh lebih baik daripada museum-museum di Indonesia pada umumnya. Bikinan Probosutedjo, gitu loh! Meski artefak-artefak sejarah tidak tampak terpajang, segala tampilan audio visual yang dilengkapi narasi-narasi panjang membuat pengunjung benar-benar mendapatkan sesuatu.

Tentu, "sesuatu" tersebut sesuai dengan misi museum itu: glorifikasi atas sosok Soeharto. Maka bab-bab sejarah yang tampil di sana adalah ruas-ruas perjalanan yang dulu kala selalu dikibarkan oleh rezim Orde Baru. Mulai Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949, peran Soeharto dalam Operasi Trikora 1962, Peristiwa G30S 1965 yang dilengkapi gambaran tentang betapa kejamnya PKI (tentu bagian ini sangat menonjol), Supersemar 1966, pelantikan sebagai Presiden ke-2 RI, lalu dipungkasi dengan capaian-capaian pemerintahan Soeharto seperti penghargaan dari FAO atas swasembada pangan, keberhasilan program KB, dan sebagainya.

Dahsyat sekali. Setiap jengkal gambaran atas sosok Sang Jenderal Besar di area seluas hampir 4000 meter persegi itu adalah gambaran kesempurnaan. Seorang patriot, pembela kebenaran, penegak ideologi bangsa, lelaki yang sederhana, seorang ayah sejati bagi segenap rakyat Indonesia.

"Kepadamu, bapak kami Soeharto... terima kasih dari rakyat semua..." Saat saya berada di dalam gedung diorama, sayup-sayup Titiek Puspa berdendang dari pelantang suara di pendopo.

                                                          ***

Usai merayakan kejayaan seorang pahlawan tanpa cela, saya meluncur ke arah selatan, lagi-lagi 30 menit perjalanan. Kampung Bibis, Kelurahan Bangunjiwo, Bantul. Tak banyak orang yang tahu tempat ini. Saya sih tahu, karena waktu SD kadangkala suka bersepeda ke sana, dan yang pasti karena semua anak di zaman saya menonton film Janur Kuning karya Alam Surawidjaja.

Bibis adalah sebuah dusun yang menjadi markas gerilyawan Republik. Tempat ini terpencil, tersembunyi, namun strategis dan konon selalu gagal diendus oleh hidung tentara Belanda. Lebih dari seabad sebelumnya, di balik bukit belakang Bibis juga bermarkas salah satu musuh besar Belanda yang paling ditakuti di sepanjang sejarah kolonial: Pangeran Diponegoro.

Pada awal tahun 1949, segala persiapan Serangan Umum terpusat di Bibis. Tempat itu merupakan markas Brigade X Daerah Wehrkreis III di bawah pimpinan Letkol Soeharto. Boleh dibilang, Bibis adalah jantung yang memompa darah ke segenap sistem pembuluh darah perlawanan rakyat ketika tentara dan segenap gerilyawan di semua sektor perlawanan tumplek bleg untuk menghantam kekuatan Belanda di Yogyakarta.

Dengan posisi Bibis sepenting itu, saya terpukau menyaksikan kondisinya saat ini. Monumen Bibis, saya ingat di masa kecil saya, cukup asri. Bangunan pendopo utama terawat baik, dengan diorama yang menggambarkan aktivitas para gerilyawan pada Serangan Umum. Di sebelahnya ada beberapa relief pertempuran, juga ruang untuk memajang benda-benda peninggalan.

Sekarang, yang ada tinggal bangunan sunyi yang kotor berdebu, dan sangat cocok untuk lokasi reality show uji nyali ataupun berburu hantu. Kotak kaca berisi diorama di pendopo sudah diselubungi kain karena tak lagi layak tonton, bangunan samping retak-retak, beberapa barang peninggalan Letkol Soeharto semisal helm baja teronggok di meja begitu saja, seolah tak tersentuh tangan manusia selama dua dasawarsa.

"Sejak Pak Harto turun, dana perawatan berhenti total, Mas. Paling dari Pemda kami dapat dana kalau ada saluran listrik yang rusak. Itu pun prosesnya ribet sekali. Padahal kalau dulu ya dana perawatan selalu tersedia," kata Pak Santo, yang muncul saat saya sedang celingukan di gedung samping pendopo.

Santo adalah anak Harjo Wiyadi, kepala dusun atau Dukuh Bibis pada masa Letkol Soeharto dan sekitar 500 anak buahnya bermarkas di situ. Tanah dan bangunan markas pejuang tersebut mulanya memang milik keluarga Harjo Wiyadi, namun kemudian diwakafkan sebagai monumen.

Selain tentang terlantarnya Monumen Bibis, dari Pak Santo juga saya mendengar bahwa tempat itu sempat akan diserang dan dibakar oleh sekawanan orang, entah siapa, pada Mei 1998. Untunglah warga setempat segera membuat barikade di jalan, untuk menghadang kawanan itu.

Tak cuma tentang rencana penyerangan. "Sejak itu, banyak barang peninggalan Pak Harto lenyap, Mas. Konon dibakar dan dimusnahkan entah oleh siapa. Termasuk beberapa koleksi di Monumen Yogya Kembali," sambungnya dengan wajah perih.

                                                         ***

Bagaimana semestinya kita memandang sejarah? Apakah sejarah harus menjalankan fungsi pragmatis, sebagaimana dijalankan Muhammad Yamin di masa lalu? Yamin meracik sejarah demi nasionalisme. Maka proyek sejarah Indonesia versi Yamin adalah alat untuk satu tujuan tertentu.

Ketika air bah kritik sejarah mulai membanjir, kita berani menggoyang Muhammad Yamin. Kita berani meragukan Nugroho Notosusanto. Kita berani menyampaikan versi lain dari Perang Padri, dengan menunjukkan bahwa perang tersebut semata serangan brutal kelompok Islam modernis kepada lokalitas. Kita berani memunculkan sudut pandang baru bahwa kejayaan Sultan Hasanuddin adalah kabar mengerikan bagi rakyat Bone. Dan lebih kencang lagi, kita berani mengangkat tinggi-tinggi fakta bahwa PKI bukan pelaku tunggal dalam Tragedi 1965.

Kita tiba pada sebuah masa tatkala sejarah tak dapat sepenuhnya lagi ditempatkan sebagai instrumen untuk mencapai tendensi-tendensi. Fakta-fakta keras yang terbentang di halaman-halaman sejarah kini kita sajikan sebagai murni fakta, yang lambat laun melepaskan historiografi dari mitos dan sakralisasi. Kita pelan-pelan bergerak meninggalkan Yamin, menjauh dari Nugroho, dan melepaskan diri dari sikap-sikap ekstrem dalam memandang sejarah.

Malangnya, kepada Soeharto kita tak kunjung bisa menjalankan laku yang sama. Kenapa? Kedua monumen yang saya kunjungi itu nongol di depan mata saya sebagai kutub-kutub ekstrem dari cara memandang sejarah yang penuh tendensi. Kemusuk adalah pemujaan berlebihan, Bibis dalam nasibnya sekarang adalah pencampakan habis-habisan.

Soal Kemusuk, tiada guna kita berdebat. Toh yang membangun memang adik Soeharto. Itu proyek keluarga. Tak mungkin mereka mengungkit kegagalan pemerataan kesejahteraan atas nama pertumbuhan pembangunan, apalagi tentang darah yang tertumpah dan berceceran selama kekuasaan Orba.

Namun soal Bibis, ini mengganggu pikiran saya. Begini. Soeharto memang mencapai puncak kariernya sebagai seorang diktator. Tapi Soeharto yang diktator adalah Soeharto pada masa ketika ia memang menjalankan peran sebagai diktator, bukan? Apakah dengan realitas despotisme Soeharto sejak dia memegang kuasa, otomatis segala hal pada jejak sepatunya adalah kelaliman?

Kisah Bibis dan SU 1 Maret terjadi jauh sebelum Soeharto tumbuh menjadi despot, bahkan jauh sebelum dia mulai memegang tongkat kuasa. Lantas landasan nalar apa yang dipakai ketika kebencian kepada despotisme Soeharto dilampiaskan juga ke SU 1 Maret, fase sejarah ketika ia sungguh punya peran tak terbantahkan?

Kita selalu khawatir dengan ekstremisme dalam perilaku beragama. Namun entah kenapa, ekstremisme dalam memandang sejarah tidak cukup melahirkan kegelisahan di benak kita. Apakah Anda yakin bahwa sikap hitam-putih dalam menyikapi sejarah tidak akan meluas kepada jenis-jenis sikap ekstrem yang lain?

"Ah, mentang-mentang setahun lagi Pemilu. Partai-partai Cendana sudah bermunculan, pula. Pantesan orang ini mulai caper bela-bela Soeharto. Cari proyek baru ya, Bal?"

Hahaha. Tuh, kan! Cara pandang "mutlak-mutlakan" begitu langsung tampak di dinding Facebook saya saat pertama kali saya unggah tulisan tentang Bibis. Begitulah produk lingkungan berwacana kita yang serba ekstrem. Memberikan respek objektif atas satu fase historis ketika Soeharto belum jadi diktator dianggap sama dengan membela Soeharto. Ini sih cuma deja vu saja. Sebab mengkritik perilaku umat Islam dianggap sebangun dengan anti-Islam, dan menolak isu kebangkitan PKI dibilang mendukung PKI.

Persis, kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar