Senin, 19 Maret 2018

Revolusi Bunyi: Mereka Bisa Mendengar Lagi

Revolusi Bunyi: Mereka Bisa Mendengar Lagi
Eka Kurnia Hikmat  ;   Alumnus Master of Special Education (Deaf and Hard of Hearing Specialization) dari The University of Newcastle – Australia; 
Praktisi Auditory-Verbal Therapy, Manajer Program Yayasan Rumah Siput Indonesia—Pusat Rehabilitasi Pendengaran
                                                    DETIKNEWS, 07 Maret 2018



                                                           
Diperkirakan enam dari seribu bayi di negara berkembang lahir tuli atau sulit mendengar. Prevalensi atau tingkat kekerapan kasus ini tiga kali lipat dibandingkan di negara maju. Begitu hasil penelitian Bolajoko Olusanya yang dirilis buletin Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2014.

Berapa prevalensi ketulian di Indonesia saat ini tidak diketahui dengan pasti. Tapi, hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1994-1996 menunjukkan prevalensi ketulian mencapai 0,4 persen, dan morbiditas telinga 18,5 persen. Survei ini digelar di tujuh provinsi di Tanah Air.

Potensi Kerugian

Ketulian dan kesulitan mendengar membatasi kemampuan mendengar, berbicara, berbahasa, dan berkomunikasi seseorang. Dalam jangka panjang dapat membatasi kesempatan seseorang meraih pendidikan bermutu, mendapatkan pekerjaan yang baik, memilih profesi sesuai minat dan bakat, mengaktualisasikan potensi diri, dan menjalani kehidupan berkualitas.

Tidak sedikit dari mereka yang tuli dan sulit mendengar harus ditopang keluarga seumur hidupnya. Ketulian dan kesulitan mendengar yang tidak tertangani dengan baik sejak dini tidak hanya merugikan si individu dan keluarga, tapi juga negara.

Hasil penelitian Arcbold, Lamb, dan O'Neil (2015) menguatkan itu. Mereka meneliti kerugian potensial Britania Raya (United Kingdom) jika tidak menangani ketulian dan kesulitan mendengar warganya dengan baik sejak dini. Potensi kerugian per tahun diperkirakan tembus 30,13 miliar poundsterling atau Rp 574,44 triliun.

Angka itu disumbang oleh pendapatan potensial yang hilang karena tingginya angka pengangguran. Lalu, rendahnya kemampuan untuk mendapatkan penghasilan di kalangan mereka yang tuli atau sulit mendengar, serta biaya pelayanan kesehatan dan sosial.

Bisa Ditanggulangi

Kerugian semacam itu sesungguhnya bisa dicegah. Dengan deteksi dan penanganan dini, setiap bayi yang terlahir tuli dan sulit mendengar bisa kembali mendengar, berbicara, dan berbahasa lisan. Teknologi memungkinkan hal itu. Kesulitan mendengar, dari ringan hingga berat, dapat diatasi dengan alat bantu dengar.

Sementara kesulitan mendengar berat hingga berat sekali atau biasa disebut ketulian dapat diatasi dengan implan rumah siput. Disebut implan rumah siput karena lewat operasi, teknologi ini bisa dipasang pada bagian telinga dalam yang berbentuk seperti rumah siput.

Pemakaian alat bantu dengar atau implan rumah siput yang diiringi auditory-verbal therapy —terapi untuk belajar mendengar dan berbicara— memungkinkan bayi yang terlahir sulit mendengar atau tuli bisa kembali mendengar, berbicara, dan mengembangkan bahasa lisan. Begitu masuk usia sekolah, mereka bisa bersekolah di sekolah umum. Mereka bisa menikmati hal-hal yang biasa dinikmati teman-teman sebayanya yang tidak memiliki masalah pendengaran. Saat sudah dewasa, peluang mereka menafkahi diri sendiri juga menjadi besar. Jadi tak lagi bergantung pada keluarga atau negara.

Praktik di Negara Maju

Tetangga kita di selatan, Australia, adalah contoh negara yang pintar melakukan penanganan dini. Setiap bayi yang lahir di sana wajib di-screening pendengarannya, paling lambat pada usia satu bulan. Bayi yang terdeteksi memiliki masalah pendengaran diwajibkan mengikuti serangkaian tes pendengaran lanjutan, paling lambat pada usia tiga bulan.

Jika pendengaran sang bayi terdiagnosa bermasalah, orangtuanya diberi pilihan solusi. Antara lain pendekatan berkomunikasi untuk anaknya. Mereka bisa memilih pendekatan mendengar dan berbicara, atau pendekatan komunikasi lain seperti bahasa isyarat. Semua pilihan tadi difasilitasi oleh pemerintah.

Sebagian besar orangtua di sana memilih pendekatan mendengar dan berbicara. Bayi mereka dipakaikan alat bantu dengar paling lambat pada usia tiga bulan. Bayi yang tidak terbantu dengan alat bantu dengar dipasangkan implan rumah siput pada usia enam bulan. Auditory-verbal therapy menyertai penggunaan alat bantu dengar maupun implan rumah siput. Biaya screening pendengaran, serangkaian tes pendengaran lanjutan, alat bantu dengar, implan rumah siput, operasi implantasi dan auditory-verbal therapy seluruhnya ditanggung negara alias gratis.

Kenyataan di Indonesia

Itu tadi di Negeri Kanguru. Yang terjadi di Indonesia sangat kontras. Di sini orangtua anak tuli atau sulit mendengar harus menanggung sendiri seluruh hal yang di Australia ditanggung negara. Tentu hanya segelintir orangtua yang sanggup menjangkaunya. Alhasil mayoritas kasus ketulian dan kesulitan mendengar congenital (sejak lahir) lambat terdeteksi dan tidak tertangani.

Duabelas tahun lalu, Menteri Kesehatan kala itu, Siti Fadilah Supari, telah menerbitkan Surat Keputusan Menkes Nomor 879. Beleid ini berisi Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian Untuk Mencapai "Sound Hearing 2030". Dicanangkan WHO sejak 2005, "Sound Hearing 2030" punya misi menanggulangi gangguan pendengaran dan ketulian di wilayah Asia Tenggara.

Salah satu isi SK Menkes 879/2006 menyebutkan, "Setiap penduduk Indonesia mempunyai hak untuk memiliki derajat kesehatan telinga dan pendengaran yang optimal pada tahun 2030." Artinya, dalam 24 tahun sejak SK itu terbit seluruh bayi tuli dan sulit mendengar di Indonesia idealnya telah mendapat perlakuan yang sama seperti bayi yang tinggal di Australia. Dan, di tahun ini --tepat setengah jalan menuju 2030-- mestinya sudah separuh jumlah bayi tuli dan sulit mendengar yang telah menikmati keberuntungan itu.

Enam tahun terakhir, Yayasan Rumah Siput Indonesia (YRSI) —Pusat Rehabilitasi Pendengaran— melakukan penyuluhan mengenai pencegahan dan penanganan ketulian serta kesulitan mendengar di 27 kota, dari Aceh hingga Makassar. Sebagian besar orangtua yang kami temui mengeluhkan tidak adanya bantuan materiil maupun non-materiil (pengetahuan) untuk menangani ketulian dan kesulitan mendengar anak mereka. Sebagian bahkan baru tahu bahwa anak mereka sesungguhnya punya peluang untuk bisa mendengar, berbicara, dan mengembangkan bahasa lisan saat penyuluhan.

Prakarsa Masyarakat

Beberapa orangtua yang memiliki cukup dana segera merogoh kantong mereka begitu mengetahui peluang itu. Contohnya sepasang suami-istri dokter dari Riau. Keduanya baru tahu ada peluang anaknya bisa mendengar, berbicara, dan berbahasa lisan saat anaknya telah berusia empat tahun. Si anak lalu menjalani serangkaian tes pendengaran yang diperlukan, proses operasi, menggunakan alat implan, dan kini tengah mengikuti auditory-verbal therapy.

Ada juga orangtua yang memperoleh bantuan dari tempat mereka bekerja. Sepasang anak kembar (saat itu berusia empat tahun), menerima bantuan biaya dari salah satu perusahaan BUMN tempat ayahnya bekerja. Sekarang, setelah menggunakan implan rumah siput dan mengikuti auditory-verbal therapy, si kembar lancar mengobrol, mengandalkan pendengaran mereka. Artikulasi ucapan mereka dapat dimengerti oleh siapapun dengan mudah. Si kembar duduk di sekolah umum, berada di kelas yang sama dengan sebaya mereka yang tidak memiliki masalah pendengaran.

Orangtua lain ada yang memperoleh bantuan dari lembaga sosial tertentu. Jumlahnya separuh dari total biaya alat implan. Namun, jumlah mereka yang mendapat bantuan dari prakarsa individu, lembaga sosial, dan instansi tadi tidak seberapa dibandingkan puluhan ribu bayi lainnya yang tidak mendapatkan bantuan serupa. Semua kalangan, terlebih lagi pemerintah, harus lebih bekerja keras untuk menangani puluhan ribu bayi tadi. Dan, Hari Pendengaran Sedunia 3 Maret ini merupakan pengingat bahwa bayi yang terlahir tuli dan sulit mendengar di Indonesia adalah tanggung jawab kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar