Mempersiapkan
Umat Masa Depan
Nasaruddin Umar ; Imam Besar Masjid Istiqlal
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Maret 2018
MEMPERSIAPKAN umat masa depan harus menjadi
agenda bersama semua pihak. Tugas tersebut bukan hanya tugas pimpinan umat
beragama, melainkan juga pemerintah. Pemerintah berkepentingan terpeliharanya
umat yang kukuh karena semakin kukuh umat beragama semakin kukuh pula bangsa
Indonesia. Salah satu sendi Indonesia ialah umat beragama.
Mestinya agenda penyiapan umat masa depan
paralel dengan penyiapan warga bangsa di dalam menghadapi perubahan sosial,
terutama yang sering didengungkan ialah Indonesia pasca-Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA). Kita perlu secara sadar menyiapkan pangkalan pendaratan umat,
khususnya bagi generasi muda kita. Apa jadinya jika MEA datang dan berlanjut
sementara kita masih tenggelam di dalam sejumlah kerumitan masalah. Boleh
jadi kita tidak bisa mengintip masalah yang sudah di depan rumah karena kita
masih sibuk menyelesaikan masalah di dalam rumah.
Masalah di dalam rumah kita yang pokok
antara lain adanya jarak antara umat dan ajaran agama yang dianutnya. Agama
mengajarkan apa, tetapi keinginan umatnya apa, masih amat berjarak. Hal ini
menimbulkan kepribadian ganda (split personality) yang amat dalam dan susah
dideteksi orang banyak. Penyelesaian masalah umat kita selama ini lebih
banyak membicarakan akibat, bukan sebab yang menyebabkan masalah itu terjadi.
Dengan kata lain, kita hanya lebih banyak bicara tentang sesuatu yang
dihilir, bukan penyebabnya yang ada di hulu. Analoginya, kita lebih banyak
sibuk mengusir awan, bukan menyelesaikan masalah pembakar hutan sehingga
pesta pemadaman asap berlangsung secara rutin di musim kemarau, sebuah musim
yang dicari oleh pelancong barat untuk menjalani musim liburnya.
Sederet masalah dalam rumah lain yang tidak
mungkin dimuat di dalam kolom sempit ini. Di antaranya yang amat mendasar
ialah fenomena maraknya aliran sempalan, seperti sempalan keyakinan, budaya,
dan politik. Sudah mulai muncul saling kafir mengafirkan seperti pemandangan
yang terjadi di abad pertengahan yang mengantar runtuhnya kerajaan-kerajaan
Islam. Radikalisme di dalam beragama sudah masif.
Bukan rahasia lagi di media-midia sosial
sudah dikuasai oleh kelompok garis keras. Sebuah hasil survei menunjukkan
forum-forum agama di Media Sosial 80% didominasi kelompok garis keras.
Ironisnya organisasi Islam besar seperti NU, Muhammadiah, dll tidak
antisipatif. Apa jadinya umat kita di masa depan jika 'guru agama' mereka
adalah garis keras?
Masalah sosial lainnya ialah semakin
maraknya angka perceraian.
Semenjak 10 tahun lalu penulis meneriakkan masalah
ini. Angka perceraian sudah menembus angka lebih dari 10% per tahun. Artinya,
jika perkawinan setiap tahun 2 juta pasang (sama dengan 4 juta orang), tahun
tekahir sudah menembus ke angka 115 ribu pasang perceraian per tahun.
Bahayanya lagi, perceraian tersebut didominasi (80%) oleh pasangan usia muda,
usia rumah tangga lima tahun ke bawah. Itu artinya anak-anak mereka masih
kecil-kecil, para jandanya masih mudah, pikiran dan kepribadian belum matang,
dan menariknya lagi, 3/4 perceraian itu ialah cerai gugat, artinya istri yang
menceraikan suami, yang risiko hukumnya akan memberatkan kaum perempuan.
Tidak mengherankan jika terjadi perceraian, akan terjadi orang miskin baru,
yaitu perempuan (muda) dan anak-anak. Menjadi janda muda serbasalah di dalam
budaya masyarakat Indonesia. Bersolek salah, tidak juga salah. Keluar rumah
salah, tidak keluar rumah lebih salah. Sementara anak-anak yang tadinya di
sekolah unggulan kini terpaksa sekolah di dekat rumah dengan alasan tidak ada
biaya dan tidak ada yang antar-jemput.
Perceraian usia dini ini berbanding lurus
dengan menaiknya angka nikah siri, yang juga meninggalkan masalah yang tidak
sedikit karena sistem hukum kita di Indonesia masih sangat tidak memihak
kepada perkawinan poligami, apalagi nikah siri. Istri nikah siri tidak diakui
negara. Karena itu, ia tidak bisa mendapatkan tunjangan apa pun dari
suaminya. Anak-anaknya juga demikian halnya. Anak-anak dari pasangan nikah
siri sulit mendapatkan akte kelahiran karena persyaratannya harus ada akta
nikah. Tanpa akta kelahiran yang bersangkutan tidak bisa dicatat dalam kartu
keluarga (KK), tanpa KK tidak mungkin mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP),
tanpa KTP tidak mungkin mendapatkan surat izin mengemudi. Orang tanpa SIM
hidupnya sempit. Tanpa KTP juga tidak mungkin dapat paspor, dan tanpa paspor
tidak mungkin bisa menyelesaikan rukun Islam kelima (haji).
Belum lagi masalah kenakalan remaja dan
korban kekerasan anak yang semakin meningkat. Ledakan penduduk yang belum
bisa diatasi, polisi kendaraan tidak simetris dengan kondisi jalan yang tidak
simetris, akibatnya kemacetan bukan saja melumpuhkan jalanan, tetapi
melumpuhkan pikiran. Stres dan ketegangan hidup semakin meningkat. Akibatnya,
lingkungan sosial semakin tidak kondusif untuk bersaing di era MEA. Betapa
pun sulitnya tantangan masa depan kita sebagai umat ataupun sebagai warga
bangsa tidak boleh surut di dalam menghadapi masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar