Demokrasi
tanpa Demagog
Arif Susanto ; Analis Politik Exposit Strategic; Pegiat Lingkaran Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 15 Maret 2018
DI tengah maraknya
agitasi, yang mengotori udara politik nasional, pentinglah untuk menimbang
pemikiran Sigmund Neumann (1904-1962) tentang kepemimpinan demagog. Menulis
sebagai yang terusir, sebagaimana banyak keturunan Yahudi lainnya semasa
kediktatoran Hitler, Neumann menunjukkan pemihakan terhadap pelembagaan
politik dan demokrasi. Meskipun populer, baginya kepemimpinan demagog tidak
lain ialah jalan penghancuran.
Demagog dapat
dipahami sebagai politikus yang memanfaatkan prasangka, kebencian, pendakuan
sepihak, argumen tak berdasar, maupun janji-janji muluk demi secara mudah
memperoleh dukungan emosional massa. Pelanggaran etika komunikasi dipandang
tidak serius oleh demagog, yang berorientasi lebih pada akumulasi kekuasaan.
Ironisnya, demagog modern memanfaatkan prosedur elektoral dan kebebasan untuk
mencangkokkan kepentingan kekuasaannya.
Terdapat dua gerak
berlainan yang potensial melahirkan demagog: berkembangnya demokrasi massa
dan pembusukan lembaga politik (Neumann, 1938). Terutama di tengah lemahnya
literasi politik, kekuasaan demagog mendapatkan legitimasi semu dari dukungan
populer atas kampanye politiknya yang membakar. Pada saat bersamaan,
lembaga-lembaga politik mengalami delegitimasi akibat ketidakmampuan mereka
menyelesaikan problem sosial.
Kemunculan demagog
ialah suatu batu uji bagi baik kemapanan bangunan demokrasi maupun
lembaga-lembaga politik. Kompetisi politik terbuka memberi celah bagi demagog
untuk menjanjikan stabilitas di tengah massa yang mengidap krisis. Tidak
cukup menyalahkan pihak tertentu sebagai sumber krisis, demagog mengobarkan
kebencian--yang membelah masyarakat sekaligus mempertajam krisis, tetapi
efektif menghasilkan dukungan.
Dukungan terhadap
demagog sesungguhnya merupakan muara dari bertemunya skeptisisme massa dan
ampuhnya agitasi. Tanpa memedulikan pendidikan politik, demagog menggugah
emosi pendukung lewat dua jurus sederhana: reduksi dan repetisi. Pertama,
demagog menyeleksi fakta dan menghindari penalaran secara lebih utuh. Kedua,
informasi dan analisis parsial tersebut disebarluaskan berulang-ulang hingga terasa
selaras dengan skeptisisme massa.
Sementara massa
berkehendak keluar dari krisis, agenda demagog justru melakukan kapitalisasi
krisis. Namun, pemahaman tidak utuh dan emosi bergemuruh menggerakkan
massa--di bawah pengaruh demagog--untuk bersekutu dengan yang sama dan
berseteru dengan yang berbeda. Dalam ruang kebebasan minim penalaran, gerak
massa berpandukan kehendak personal sang demagog, dan bukan kebijakan yang
dipandang terlalu abstrak.
Demagog tidak pernah
menyukai kebebasan dan kritisisme. Dia hanya memanfaatkan kebebasan berikut
tumpulnya penalaran untuk memperoleh dukungan; dan kala kekuasaan telah
digenggamnya, dia tidak segan untuk memberangus kebebasan. Gambaran tersebut
menunjukkan bahwa kepentingan demagog itu berjarak jauh dari kepentingan
massa, dan bahwa kehadiran demagog adalah suatu ancaman bagi tatanan
demokrasi (Neumann, 1941).
Pembaruan kulturan
Kegaduhan politik
nasional kini tidak lepas dari kontribusi agitasi para demagog di tengah
celah manajemen pemerintahan. Situasi ini tercipta bukan sekadar akibat
kegagalan komunikasi politik di antara elite. Ia adalah hasil suatu kombinasi
kompleks antara mencuatnya ancaman kebebasan dan ketimpangan sosial, pada
satu sisi, serta buruknya konsolidasi kekuasaan dan lemahnya budaya demokrasi,
pada lain sisi.
Demi memperbesar
dukungan massa, berbagai kekuatan politik terus menyalahgunakan sentimen
primordial. Alasan-alasan ideologis juga kerap dimunculkan kelompok-kelompok
vigilante, bahkan dengan proteksi organ keamanan dan ketertiban negara, untuk
menampik kritisisme. Seraya mengabaikan potensi konflik horizontal, upaya
menaikkan posisi tawar kekuasaan dijalankan kerap dengan mengorbankan tertib
sosial dan kebebasan sipil.
Dalam cengkeraman
korupsi yang bertransformasi, kapabilitas pemerintahan untuk mengupayakan
keadilan sosial tergerogoti. Ditambah kecenderungan elite yang gemar
menciptakan ketergantungan massa, ketimpangan sosial menganga bahkan ketika
pertumbuhan ekonomi menunjukkan tren positif. Situasi inilah yang
dimanfaatkan secara manipulatif dalam perseteruan antarelite untuk
mereproduksi konflik mereka lebih luas pada level massa.
Tidak sebatas pada
masa pemilu, kontestasi politik yang berlangsung hampir sepanjang tahun
menghasilkan polarisasi yang amat dinamis. Manakala tiada kekuatan politik
dominan, koalisi menjadi pilihan rasional, tetapi tidak ada koalisi yang
bertahan lama. Akibatnya, energi politik terkuras untuk mengelola distribusi
kompensasi dan konsolidasi kekuasaan, tanpa pernah pemerintah bekerja efektif
untuk mengupayakan kesejahteraan umum.
Problem terbesar,
sesungguhnya, bukan pada absennya struktur politik modern, melainkan pada
lemahnya kultur politik demokratis. Politik Indonesia telah banyak mengalami
penyesuaian struktural, tetapi tertinggal dalam pembaruan kultural. Lambannya
konsolidasi demokrasi Indonesia berutang pada pengembangan habitus demokrasi
di antara subjek-subjek politik, terutama menyangkut bagaimana mereka
mengelola perbedaan dan mengupayakan kesepahaman.
Kombinasi
faktor-faktor di atas, tidak dalam jangka pendek dan tiba-tiba, kiranya
menghasilkan suatu masyarakat politik yang rentan. Konflik dapat timbul bukan
hanya karena kehadiran demagog yang menumbuhkan prasangka massa, melainkan
juga karena ketidakmampuan massa untuk membangun suatu mekanisme deliberasi
secara mandiri di antara mereka. Alih-alih menjadi jalan resolusi, pada
situasi ini politik justru mempertajam konflik.
Pelembagaan politik
menjadi penting demi memastikan bahwa proses politik menjadi sarana moderasi
konflik. Lebih lanjut, konsolidasi kekuasaan mesti segera dibereskan dan
pengembangan kapabilitas pemerintahan merupakan suatu tuntutan mutlak agar
kesejahteraan terdistribusi lebih adil. Demikian pula budaya demokrasi harus
menjadi habitus politik demi memutus keterkaitan dengan demagog dan
memperbaiki kualitas deliberasi di kalangan elite maupun massa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar