Memenuhi
Kebutuhan Rakyat atas Air
Agus Pambagio ; Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen
|
DETIKNEWS,
06 Maret
2018
Air
merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk hidup yang utama. Manusia dapat
bertahan hidup berminggu-minggu tanpa makan asal cukup air, tetapi akan mati
ketika selama 3-5 hari tidak mendapat asupan air. Untuk itu sudah seharusnya
air dikontrol secara bijak oleh negara. Jika dalam 10-15 tahun mendatang kita
tidak punya kejelasan tentang ketersediaan dan ketahanan tentang air, maka
akan terjadi perang saudara di antara kita karena berebut air bersih.
Sebagai
contoh, krisis air sudah melanda Afrika Selatan dan beberapa negara lain.
Saat ini di Cape Town, Afrika Selatan sedang mengalami krisis air yang sangat
mengkhawatirkan karena diperkirakan akhir Maret 2018 air di Cape Town akan
habis karena kekeringan yang berkepanjangan selama 3 tahun belakangan ini.
Akibatnya pemerintah menetapkan keadaan darurat air di Cape Town. Penggunaan
air sangat dibatasi dan sumber-sumber air dijaga oleh pasukan bersenjata
lengkap untuk menghindari terjadinya baku hantam berebut air bersih.
Bagaimana di Indonesia ?
Sejak
awal 2016, DPR tengah menggunakan hak inisiatifnya untuk membuat Rancangan
Undang-undang Sumber Daya Air (RUU SDA) yang baru, namun sampai hari ini
masih dalam pembahasan dengan Badan Legislatif (Baleg) DPR. Entah sampai
kapan RUU SDA ini akan diselesaikan oleh Baleg dan selanjutnya dikirimkan ke
Presiden untuk persetujuan pembahasan. Jawaban Presiden akan disampaikan
melalui Amanat Presiden atau Ampres beserta Daftar Isian Masalah (DIM) kepada
Panitia Kerja (Panja) RUU SDA. Setelah itu baru akan masuk pada tahapan
pembahasan dengan para pihak sebelum diplenokan untuk pengesahan sebagai UU
SDA dan diimplementasikan.
Sementara
ini perdebatan dalam pembahasan RUU SDA di tingkat Panja masih seputar
pelarangan swasta masuk di industri air minum (air dalam kemasan) dan
pengelolaan air minum (SPAM). Panja RUU SDA seharusnya membahas dan
memastikan bagaimana caranya Indonesia dapat memenuhi kebutuhan air bersih
untuk seluruh rakyatnya, bukan hanya berdebat yang melelahkan soal bagaimana
caranya membunuh peran swasta atas nama UUD 45. Memangnya pemerintah mampu
memenuhi kebutuhan air bersih bagi seluruh rakyat tanpa bantuan investor
swasta? Memangnya dana APBN mencukupi?
Langkah Bijaksana
Kelangkaan
air di Indonesia juga sudah lama muncul dan tanpa ada perencanaan jangka
panjang yang holistik dan serius dari pemerintah. Sementara itu secara
peraturan perundang-undangan dan kebijakan, Indonesia lemah karena sampai
hari ini belum mempunyai UU SDA pasca dibatalkannya UU No. 7 Tahun 2004 oleh
Mahkamah Konstitusi (MK). Sampai hari ini persoalan air bersih hanya diatur
oleh PP No. 121 Tahun 2015 dan PP No. 122 Tahun 2015.
Sesuai
dengan target WHO dan sebagai bagian dari HAM, 100% penduduk dunia harus
mendapatkan akses air minum pada 2025. Pemerintah Indonesia lebih optimistis
lagi dengan target 100% penduduk Indonesia akan mendapat akses air minum pada
2022. Namun demikian target tersebut sudah pasti sulit dicapai karena sampai
hari ini peraturan perundang-undangan kunci belum ada.
Pembatalan
RUU SDA tersebut menyetujui permintaan pengaju uji materi UU SDA N0. 76 Tahun
200e4 yang disebut sebagai mengurangi hak rakyat atas air. Walaupun MK dalam
amar putusannya membolehkan swasta untuk usaha air dengan syarat tertentu,
namun semangat DPR dan Pemerintah dalam menyusun RUU SDA sebagai pengganti UU
SDA No 7 Tahun 2004 sangat jelas bahwa swasta dilarang mengusahakan air. Di
dalam RUU SDA yang saya baca bahkan terlihat ketidakkonsistenan mengenai
pengusahaan air oleh swasta ini.
Sumber
air bersih di seluruh dunia semakin berkurang sebagai akibat pembebasan gas
karbon yang telah memanaskan permukaan bumi dan pada akhirnya mempengaruhi
curah hujan. Sungai-sungai sebagai sumber air permukaan juga sangat tercemar,
sehingga memproduksi air bersih semakin mahal dan sulit.
Penyediaan
air minum untuk rakyat dilaksanakan melalui jaringan pipa dengan Sistem
Penyediaan Air Minum (SPAM) yang pada umumnya diselenggarakan oleh Perusahaan
Daerah Air Minum (PDAM), namun ada juga yang diselenggarakan dengan kerja
sama swasta dan bahkan ada yang badan usaha swasta murni. Untuk seluruh
Indonesia aksesibilitas rakyat atas air minum baru tercapai kurang lebih 70%.
Untuk mencapai 100% bukan perkara mudah. Belum lagi dengan berbagai masalah
penting lain yang dihadapi SPAM, misalnya kualitas air dari PAM yang belum
bisa diminum. Sehingga PAM diplesetkan sebagai singkatan dari Perusahaan Air
Mandi.
Besarnya
Non Revenue Water (NRW) yang disebabkan karena jaringan pipa yang sudah tua
dan maraknya pencurian air juga menjadi persoalan tersendiri dalam memberikan
pelayanan publik atas air bersih. Saya bisa bayangkan kalau nantinya swasta
sepenuhnya dilarang mengusahakan air. Artinya, negara yang harus memenuhi
seluruh kebutuhan air bersih rakyat, lalu berapa besar anggaran yang harus
ditanggung oleh APBN? Apakah benar negara bisa menyelenggarakan SPAM untuk
seluruh rakyat tanpa perlu bantuan swasta?
Jadi
sudah seharusnya para penyusun RUU SDA ini, baik Panja RUU SDA di Komisi V
DPR sebagai inisiator UU SDA, maupun pemerintah (Kementerian PUPR) harus mempertimbangkan
dampak besar tersebut di atas dengan cara mengambil langkah bijak dengan
tetap menghormati air sebagai hak rakyat. Namun kedua belah pihak juga harus
memenuhi air minum dari SPAM yang juga hak rakyat. Pertimbangan lainnya,
bagaimana RUU SDA yang disusun dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi saat
ini; seperti, peningkatan kualitas air minum sehingga bisa diminum,
pengurangan NRW, penyediaan air baku, dan sebagainya, bukan hanya sekadar
melarang swasta yang justru akan menjauhkan dari pencapaian target 100%
aksesibilitas rakyat pada air minum.
Pedoman Pokok
Ada
dua pedoman pokok yang harus dipegang, yaitu penuhi kebutuhan rakyat 100%
atas air minum dan hormati hak rakyat atas air. Mewujudkan hak rakyat atas
air, artinya adalah rakyat bebas menggunakan air dan bebas mengakses sumber
air untuk kebutuhan sehari-hari. Pemenuhan kebutuhan rakyat atas air minum
dipenuhi dengan perluasan SPAM, sehingga 100% rakyat mendapatkan akses.
Dengan
berpedoman pada dua hal tersebut tidak perlu ada kekhawatiran mengurangi hak
rakyat dan penguasaan swasta atas air. Justru sebaiknya, swasta dilibatkan
agar hak rakyat atas air minum segera terpenuhi, dan lebih baik lagi apabila
tidak perlu membebani APBN. Salam! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar