Menghapus
Perdagangan Manusia
Amelia Anggraini ; Anggota Komisi IX DPR, Fraksi Partai NasDem
|
DETIKNEWS,
06 Maret
2018
Lagi-lagi
tenaga kerja Indonesia meninggal di luar negeri. Adelina Sau (Lisoi), warga
Nusa Tenggara Timur (NTT) meninggal secara mengenaskan. Setelah secara tidak
manusiawi dibiarkan tinggal bersama anjing dan dalam kondisi kelaparan akibat
siksa majikannya, Adelina mengembuskan napas yang terakhir di rumah sakit setempat.
Hasil post-mortem menyatakan bahwa korban meninggal karena beberapa kegagalan
organ akibat anemia. Setelah 2,5 tahun berada di Malaysia, Adelina pulang
kampung terbujur kaku di peti mayat.
Adelina
berangkat ke negeri jiran lewat calo yang memalsukan dokumen
kewarganegaraannya. Orangtua Adelina mengatakan bahwa anaknya "dibawa
lari" oleh perekrutnya. Perekrut yang tidak jelas itu pun tidak
diketahui sampai akhirnya Adelina dilaporkan tewas. Parahnya, perekrut yang
membawa kabur Adelina sebelumnya sudah ditangkap karena kasus serupa di
provinsi yang sama.
Sampai
dengan Agustus 2017, sedikitnya 137 kasus perdagangan orang yang tercatat di
Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI)
Provinsi NTT. Angka itu memang menurun dari tahun sebelumnya (2016) yang
berjumlah 400 kasus, namun kasus yang tercatat hanyalah fenomena gunung es
dari praktik perbudakan modern (modern slavery) yang bekerja terselubung di
Indonesia.
Dalam
laporan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat Trafficking in Persons Report
(2017), Indonesia ditempatkan sebagai negara yang belum memenuhi standar
(internasional) dalam rangka penghapusan perdagangan manusia. Walaupun, sudah
ada upaya serius pemerintah untuk pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
Cukup
menarik apa yang menjadi catatan kelemahan Indonesia menurut Amerika.
Pertama, pemerintah dianggap kurang komprehensif mengenal indikator
perdagangan (manusia), dan peraturan yang ada masih menyulitkan upaya
proaktif identifikasi potensi korban di kalangan rentan. Kedua, persoalan
pengumpulan data, penyebaran informasi, dan koordinasi antarlembaga negara
yang tidak memadai. Selain itu, masih ada persoalan peraturan sejumlah daerah
yang membatasi migrasi tenaga kerja antardaerah yang membuka peluang
transaksi gelap perdagangan manusia di kalangan rentan. Ketiga, faktor
endemik korupsi yang menghalangi pemberantasan perdagangan manusia serta
memberikan (peluang) impunitas bagi pelaku.
Penegakan Aturan
Indonesia
sudah memiliki UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang. Definisi perdagangan orang yang dianut dalam undang-undang
ini pun sejalan dengan Protokol Perdagangan Manusia yang dianut dalam PBB.
Sejumlah protokol internasional PBB sudah diratifikasi Indonesia. Namun
praktik kejahatan perdagangan manusia terus berkembang, dan memerlukan
kejelian aparat penegak hukum.
Lembaga
internasional mengategorikan modern slavery dalam bentuk kejahatan
perdagangan manusia dalam dunia seks (sex trafficking), seks anak (child sex
trafficking), kerja paksa (forced labor), penjeratan utang (bonded labor),
pekerjaan rumah tangga dengan paksaan (domestic servitude), pekerja paksa
anak-anak (forced child labor), tentara anak, dan perekrutan melanggar hukum
(unlawful recruitment and use of child soldiers). Kategori ini dibentuk dari
praktik-praktik yang telah ditemukan. Besar kemungkinan ada praktik dalam
bentuk lain di tiap-tiap negara. Untuk itu, penyelidikan dari setiap kasus
yang terjadi di Indonesia harus mendetail hingga menemukan pola dan motif
dari kejahatan tersebut. Dari sini Indonesia perlu lebih saksama memahami
indikator-indikator perdagangan manusia yang berkembang di dunia.
Bisnis
besar yang melatarbelakangi modern slavery ini menuntut pemerintah untuk
bertindak tegas. Jika merujuk pada peraturan yang ada, hukuman terhadap
pelaku perdagangan manusia ini belum menunjukkan kemampuan untuk menghukum
secara keras praktik tidak manusiawi. Pidana terendah dari praktik
perdagangan manusia ini hanya 3-5 tahun (korban cacat), dan tertinggi 15
tahun sampai seumur hidup (korban mati). Demikian pula dengan denda.
Dalam
praktiknya, seringkali penyelidikan kasus perdagangan orang hanya berhenti
pada pelaku (calo) perdagangan dengan hukuman yang tidak bisa dianggap berat.
Namun, aktor-aktor lainnya seringkali dialpakan. Misalnya, sulit membayangkan
sebuah kartu keluarga dapat dipalsukan jika tidak ada oknum aparat yang
terlibat. Demikian pula dengan paspor. Untuk jarak yang tidak terlalu jauh
mungkin bisa terjadi perdagangan dengan cara menyelundupkan (smuggling),
namun ini pun akan sulit jika tidak ada keterlibatan pihak lain selain calo.
Untuk itulah penyelidikan hingga ke tahap penuntutan dan hukuman harus sampai
menyentuh semua jaringan yang bekerja.
Selain
itu, permasalahan penegakan hukum akan semakin rumit jika ternyata Indonesia
tidak memiliki kesepakatan kerja sama pemberantasan perdagangan manusia di
tingkat regional bahkan global. Keterlibatan pemerintah Indonesia dalam
penyelidikan yang berlangsung di luar negeri mutlak diperlukan, dan ini
mensyaratkan Indonesia untuk membangun kerja sama luar negeri yang efektif.
Koordinasi
yang baik antarlembaga pemerintahan dengan lembaga-lembaga penegakan hukum
juga perlu disinkronkan. Kita tahu, Kementerian Perempuan dan Perlindungan
Anak, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Tenaga Kerja,
Kementerian Luar Negeri, dan Kepolisian telah membentuk ratusan taskforce
hingga ke daerah guna memberantas kejahatan ini. Namun, hal tersebut belum
terkoordinasi dalam satu kesatuan kerja bersama yang dapat cepat bergerak dan
tangkas dalam menyelesaikan kasus-kasus perdagangan manusia. Maksudnya,
koordinasi tidak hanya di wilayah kerja akan tetapi juga koordinasi
sumber-sumber daya yang dimiliki untuk dapat dimobilisasi bersama.
Di samping
itu, belum adanya alokasi APBN yang secara khusus didedikasikan untuk
penghapusan perdagangan manusia, mengindikasikan belum cukup seriusnya
pemerintah untuk melindungi warganya dari praktik perdagangan manusia ini.
Ada baiknya, dibentuknya koordinasi antarlembaga yang efektif juga diiringi
dengan alokasi APBN yang mencukupi untuk mengupayakan penghapusan perdagangan
manusia secara terukur.
Pemanfaatan IT
Dunia
digital yang terus berkembang saat ini memungkinkan proses-proses yang dahulu
dibatasi ruang, jarak, dan waktu menjadi terpangkas. Infrastruktur
telekomunikasi Indonesia juga kian hari makin membaik. Inilah peluang yang
bisa digunakan struktur pemerintah dalam hal pengumpulan dan penyebaran
informasi berkenaan dengan kejahatan perdagangan manusia.
Hampir
menjadi rahasia umum, data resmi yang disediakan pemerintah tidak sinkron
antara satu lembaga dengan lembaga lainnya. Umumnya, ini terjadi karena
adanya tumpang tindih atau persinggungan kewenangan antara satu lembaga
dengan yang lainnya. Kondisi yang demikian memerlukan pelembagaan penanganan
perdagangan manusia secara lebih tangkas. Koordinasi antarlembaga, berbagi
sumberdaya, dan sumber informasi terpusat menjadi tantangan lembaga yang
selama ini memiliki perhatian terhadap penghapusan perdagangan manusia.
Pemalsuan
dokumen kependudukan akan makin sulit dilakukan jika pendataan kependudukan
Indonesia sudah menganut single identification number (SIN). Perkembangan
digital di Indonesia memungkinkan SIN untuk dapat segera diterapkan. Apalagi
saat ini digitalisasi data Kartu Tanda Penduduk WNI (e-KTP) sudah mencapai
97,6% (Februari 2018). Jika dalam KTP elektronik ini secara perlahan juga
dimasukkan (integrasi) data kepesertaan Kartu Indonesia Sehat, data nomor
telepon seluler, data pendidikan, Surat Izin Mengemudi, data legal/hukum, dan
berbagai data elektronik lainnya, negara akan memiliki data besar terkait
penduduknya.
Semakin
sulitnya pemalsuan dokumen dilakukan, akan semakin membuat ketat pengamanan
perbatasan negara. Harapan makin menyempitnya bahkan musnahnya perdagangan
manusia terjadi di Indonesia pun semakin besar. Apalagi jika kerja sama
antara Indonesia dan negara lain juga terbangun secara efektif. Indonesia
dapat mengamankan penduduknya yang keluar, dan sebaliknya juga ikut membantu
pengamanan warga negara lain yang rentan masuk Indonesia sebagai korban
perdagangan manusia. Kembali lagi, ini hanya bisa berjalan mulus jika
perilaku koruptif semakin ditekan peluang terjadinya.
Jika
langkah penegakan aturan dan pemanfaatan IT belum bisa terlaksana, saya ingin
mengatakan, Indonesia perlu melakukan moratorium terutama terhadap Malaysia
terkait pekerja Indonesia bidang domestik. Karena dalam kenyataannya, pekerja
ilegalnya lebih besar ketimbang yang legal. Dengan demikian, pendapatan negara
sesungguhnya kecil. Kesediaan antara Indonesia dengan Malaysia untuk duduk
bersama membahas hal ini sebenarnya cukup urgen. Apalagi laporan menunjukkan,
kasus penyiksaan dan kematian TKI di negara serumpun itu cukup tinggi.
Sayangnya, sejak 2016 Malaysia belum menyatakan kesediaannya. Kiranya,
pemerintah harus lebih keras lagi mengupayakan terwujudnya hal tersebut.
Akhirnya,
menghapus modern slavery membutuhkan kerja terintegrasi dari berbagai lembaga
pemerintah. Kerja ini juga membutuhkan kerja sama dengan lembaga di luar
pemerintah termasuk dengan organisasi, lembaga negara asing, dan pihak-pihak
lain yang mempunyai perhatian yang sama. Kerja sama-kerja sama bilateral,
regional, dan internasional perlu diintensifkan untuk terus menekan praktik
perdagangan manusia. Informasi yang makin terbuka akan memudahkan kerja
lembaga resmi dalam mengawasi praktik ini. Pelibatan warga dalam menjaga
lingkungan sekitarnya adalah juga hal yang tidak kalah pentingnya.
Mengupayakan kompensasi bagi korban sambil terus menekan praktik perdagangan
manusia menjadi pekerjaan rumah yang perlu dipikirkan secara serius langkah
nyatanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar