Senin, 19 Maret 2018

Menghapus Perdagangan Manusia

Menghapus Perdagangan Manusia
Amelia Anggraini  ;   Anggota Komisi IX DPR, Fraksi Partai NasDem
                                                    DETIKNEWS, 06 Maret 2018



                                                           
Lagi-lagi tenaga kerja Indonesia meninggal di luar negeri. Adelina Sau (Lisoi), warga Nusa Tenggara Timur (NTT) meninggal secara mengenaskan. Setelah secara tidak manusiawi dibiarkan tinggal bersama anjing dan dalam kondisi kelaparan akibat siksa majikannya, Adelina mengembuskan napas yang terakhir di rumah sakit setempat. Hasil post-mortem menyatakan bahwa korban meninggal karena beberapa kegagalan organ akibat anemia. Setelah 2,5 tahun berada di Malaysia, Adelina pulang kampung terbujur kaku di peti mayat.

Adelina berangkat ke negeri jiran lewat calo yang memalsukan dokumen kewarganegaraannya. Orangtua Adelina mengatakan bahwa anaknya "dibawa lari" oleh perekrutnya. Perekrut yang tidak jelas itu pun tidak diketahui sampai akhirnya Adelina dilaporkan tewas. Parahnya, perekrut yang membawa kabur Adelina sebelumnya sudah ditangkap karena kasus serupa di provinsi yang sama.

Sampai dengan Agustus 2017, sedikitnya 137 kasus perdagangan orang yang tercatat di Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Provinsi NTT. Angka itu memang menurun dari tahun sebelumnya (2016) yang berjumlah 400 kasus, namun kasus yang tercatat hanyalah fenomena gunung es dari praktik perbudakan modern (modern slavery) yang bekerja terselubung di Indonesia.

Dalam laporan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat Trafficking in Persons Report (2017), Indonesia ditempatkan sebagai negara yang belum memenuhi standar (internasional) dalam rangka penghapusan perdagangan manusia. Walaupun, sudah ada upaya serius pemerintah untuk pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.

Cukup menarik apa yang menjadi catatan kelemahan Indonesia menurut Amerika. Pertama, pemerintah dianggap kurang komprehensif mengenal indikator perdagangan (manusia), dan peraturan yang ada masih menyulitkan upaya proaktif identifikasi potensi korban di kalangan rentan. Kedua, persoalan pengumpulan data, penyebaran informasi, dan koordinasi antarlembaga negara yang tidak memadai. Selain itu, masih ada persoalan peraturan sejumlah daerah yang membatasi migrasi tenaga kerja antardaerah yang membuka peluang transaksi gelap perdagangan manusia di kalangan rentan. Ketiga, faktor endemik korupsi yang menghalangi pemberantasan perdagangan manusia serta memberikan (peluang) impunitas bagi pelaku.

Penegakan Aturan

Indonesia sudah memiliki UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Definisi perdagangan orang yang dianut dalam undang-undang ini pun sejalan dengan Protokol Perdagangan Manusia yang dianut dalam PBB. Sejumlah protokol internasional PBB sudah diratifikasi Indonesia. Namun praktik kejahatan perdagangan manusia terus berkembang, dan memerlukan kejelian aparat penegak hukum.

Lembaga internasional mengategorikan modern slavery dalam bentuk kejahatan perdagangan manusia dalam dunia seks (sex trafficking), seks anak (child sex trafficking), kerja paksa (forced labor), penjeratan utang (bonded labor), pekerjaan rumah tangga dengan paksaan (domestic servitude), pekerja paksa anak-anak (forced child labor), tentara anak, dan perekrutan melanggar hukum (unlawful recruitment and use of child soldiers). Kategori ini dibentuk dari praktik-praktik yang telah ditemukan. Besar kemungkinan ada praktik dalam bentuk lain di tiap-tiap negara. Untuk itu, penyelidikan dari setiap kasus yang terjadi di Indonesia harus mendetail hingga menemukan pola dan motif dari kejahatan tersebut. Dari sini Indonesia perlu lebih saksama memahami indikator-indikator perdagangan manusia yang berkembang di dunia.

Bisnis besar yang melatarbelakangi modern slavery ini menuntut pemerintah untuk bertindak tegas. Jika merujuk pada peraturan yang ada, hukuman terhadap pelaku perdagangan manusia ini belum menunjukkan kemampuan untuk menghukum secara keras praktik tidak manusiawi. Pidana terendah dari praktik perdagangan manusia ini hanya 3-5 tahun (korban cacat), dan tertinggi 15 tahun sampai seumur hidup (korban mati). Demikian pula dengan denda.

Dalam praktiknya, seringkali penyelidikan kasus perdagangan orang hanya berhenti pada pelaku (calo) perdagangan dengan hukuman yang tidak bisa dianggap berat. Namun, aktor-aktor lainnya seringkali dialpakan. Misalnya, sulit membayangkan sebuah kartu keluarga dapat dipalsukan jika tidak ada oknum aparat yang terlibat. Demikian pula dengan paspor. Untuk jarak yang tidak terlalu jauh mungkin bisa terjadi perdagangan dengan cara menyelundupkan (smuggling), namun ini pun akan sulit jika tidak ada keterlibatan pihak lain selain calo. Untuk itulah penyelidikan hingga ke tahap penuntutan dan hukuman harus sampai menyentuh semua jaringan yang bekerja.

Selain itu, permasalahan penegakan hukum akan semakin rumit jika ternyata Indonesia tidak memiliki kesepakatan kerja sama pemberantasan perdagangan manusia di tingkat regional bahkan global. Keterlibatan pemerintah Indonesia dalam penyelidikan yang berlangsung di luar negeri mutlak diperlukan, dan ini mensyaratkan Indonesia untuk membangun kerja sama luar negeri yang efektif.

Koordinasi yang baik antarlembaga pemerintahan dengan lembaga-lembaga penegakan hukum juga perlu disinkronkan. Kita tahu, Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Luar Negeri, dan Kepolisian telah membentuk ratusan taskforce hingga ke daerah guna memberantas kejahatan ini. Namun, hal tersebut belum terkoordinasi dalam satu kesatuan kerja bersama yang dapat cepat bergerak dan tangkas dalam menyelesaikan kasus-kasus perdagangan manusia. Maksudnya, koordinasi tidak hanya di wilayah kerja akan tetapi juga koordinasi sumber-sumber daya yang dimiliki untuk dapat dimobilisasi bersama.

Di samping itu, belum adanya alokasi APBN yang secara khusus didedikasikan untuk penghapusan perdagangan manusia, mengindikasikan belum cukup seriusnya pemerintah untuk melindungi warganya dari praktik perdagangan manusia ini. Ada baiknya, dibentuknya koordinasi antarlembaga yang efektif juga diiringi dengan alokasi APBN yang mencukupi untuk mengupayakan penghapusan perdagangan manusia secara terukur.

Pemanfaatan IT

Dunia digital yang terus berkembang saat ini memungkinkan proses-proses yang dahulu dibatasi ruang, jarak, dan waktu menjadi terpangkas. Infrastruktur telekomunikasi Indonesia juga kian hari makin membaik. Inilah peluang yang bisa digunakan struktur pemerintah dalam hal pengumpulan dan penyebaran informasi berkenaan dengan kejahatan perdagangan manusia.

Hampir menjadi rahasia umum, data resmi yang disediakan pemerintah tidak sinkron antara satu lembaga dengan lembaga lainnya. Umumnya, ini terjadi karena adanya tumpang tindih atau persinggungan kewenangan antara satu lembaga dengan yang lainnya. Kondisi yang demikian memerlukan pelembagaan penanganan perdagangan manusia secara lebih tangkas. Koordinasi antarlembaga, berbagi sumberdaya, dan sumber informasi terpusat menjadi tantangan lembaga yang selama ini memiliki perhatian terhadap penghapusan perdagangan manusia.

Pemalsuan dokumen kependudukan akan makin sulit dilakukan jika pendataan kependudukan Indonesia sudah menganut single identification number (SIN). Perkembangan digital di Indonesia memungkinkan SIN untuk dapat segera diterapkan. Apalagi saat ini digitalisasi data Kartu Tanda Penduduk WNI (e-KTP) sudah mencapai 97,6% (Februari 2018). Jika dalam KTP elektronik ini secara perlahan juga dimasukkan (integrasi) data kepesertaan Kartu Indonesia Sehat, data nomor telepon seluler, data pendidikan, Surat Izin Mengemudi, data legal/hukum, dan berbagai data elektronik lainnya, negara akan memiliki data besar terkait penduduknya.

Semakin sulitnya pemalsuan dokumen dilakukan, akan semakin membuat ketat pengamanan perbatasan negara. Harapan makin menyempitnya bahkan musnahnya perdagangan manusia terjadi di Indonesia pun semakin besar. Apalagi jika kerja sama antara Indonesia dan negara lain juga terbangun secara efektif. Indonesia dapat mengamankan penduduknya yang keluar, dan sebaliknya juga ikut membantu pengamanan warga negara lain yang rentan masuk Indonesia sebagai korban perdagangan manusia. Kembali lagi, ini hanya bisa berjalan mulus jika perilaku koruptif semakin ditekan peluang terjadinya.

Jika langkah penegakan aturan dan pemanfaatan IT belum bisa terlaksana, saya ingin mengatakan, Indonesia perlu melakukan moratorium terutama terhadap Malaysia terkait pekerja Indonesia bidang domestik. Karena dalam kenyataannya, pekerja ilegalnya lebih besar ketimbang yang legal. Dengan demikian, pendapatan negara sesungguhnya kecil. Kesediaan antara Indonesia dengan Malaysia untuk duduk bersama membahas hal ini sebenarnya cukup urgen. Apalagi laporan menunjukkan, kasus penyiksaan dan kematian TKI di negara serumpun itu cukup tinggi. Sayangnya, sejak 2016 Malaysia belum menyatakan kesediaannya. Kiranya, pemerintah harus lebih keras lagi mengupayakan terwujudnya hal tersebut.

Akhirnya, menghapus modern slavery membutuhkan kerja terintegrasi dari berbagai lembaga pemerintah. Kerja ini juga membutuhkan kerja sama dengan lembaga di luar pemerintah termasuk dengan organisasi, lembaga negara asing, dan pihak-pihak lain yang mempunyai perhatian yang sama. Kerja sama-kerja sama bilateral, regional, dan internasional perlu diintensifkan untuk terus menekan praktik perdagangan manusia. Informasi yang makin terbuka akan memudahkan kerja lembaga resmi dalam mengawasi praktik ini. Pelibatan warga dalam menjaga lingkungan sekitarnya adalah juga hal yang tidak kalah pentingnya. Mengupayakan kompensasi bagi korban sambil terus menekan praktik perdagangan manusia menjadi pekerjaan rumah yang perlu dipikirkan secara serius langkah nyatanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar