Manusia,
Masa Depan Dunia, dan Indonesia
Syaefudin Simon ; Alumnus FMIPA UGM/Associate Leadership for Environment and
Development, New York; Tim Ahli Fraksi PPP DPR RI
|
KORAN
SINDO, 15 Maret 2018
Dunia sains berduka. Stephen Hawking, lahir
8 Januari 1942, telah pergi untuk selamanya pada 14 Maret 2018.
Kepergian ilmuwan terbesar Abad XX ini
sungguh mengejutkan sekaligus menyedihkan dunia ilmu pengetahuan, khususnya
fisika teori (theorithical physics ), kosmologi, dan astronomi. Hawking telah
membuka cakrawala manusia terhadap proses penciptaan dan penemuan energi
kosmos yang luar biasa gigantik.
Salah satu penemuan terbesar Hawking adalah
asumsiasumsi kosmologis-astronomis yang dikembangkan dari persamaan
matematis. Temuan Hawking melalui pendekatan astronomatika (mathematical-
astonomy ) inilah yang kemudian membuat Hawking dikenal dunia sebagai peramal
masa depan kosmologi.
Dengan pendekatan astronomatika, Hawking
mampu melacak sekaligus meramalkan apa yang terjadi di jagat raya masa lalu
dan apa yang akan terjadi di masa depan. Dengan pendekatan astronomatika itu
pula Hawking menemukan suatu benda hitam (black hole ) yang mampu menyerap
cahaya.
Black hole , tulis Hawking, adalah suatu
jalan menuju dunia lain yang belum terpecahkan manusia. “Ada universe lain
dalam black hole ,” tulis Hawking.
Sebuah tantangan masa depan bagi ilmuwan
fisika teori sepeninggal penulis buku fenomenal A Brief of Time itu.
Barangkali itulah keberhasilan spektakuler dari Hawking, di mana matematika
menjadi instrumen eksplorasi kosmologi yang melanjutkan dan memperkaya tesis-tesis
Einstein sebelumnya.
Menarik. Hawking mengemukakan bahwa
kehidupan ekstraterestrial, secara matematis, adalah niscaya. Dari pendekatan
matematis, kata Hawking, keberadaan alien adalah niscaya. Tantangan
terbesarnya adalah memperkirakan seperti apakah alien itu.
Hawking meyakini bahwa alien tidak hanya
ada di planet-planet, tapi juga di tempat lain, seperti bintang-bintang atau
mengapung di angkasa luar yang mahaluas. Hawking juga memprediksi bahwa
beberapa spesies alien memiliki peradaban yang lebih maju dari manusia di
planet bumi.
Meski seorang ilmuwan, Hawking mencemaskan
bahwa akhir dari planet bumi adalah karena ilmu pengetahuan yang dikembangkan
manusia itu sendiri. Sejarah peradaban manusia memberikan pelajaran kepada
kita bahwa ambisi, keserakahan, dan hasrat berkuasa manusia lebih dominan
daripada ajaran-ajaran moralnya.
Perang nuklir, global warming , polusi
atmosfer, dan wabah virus mematikan adalah sebagian dari pencetus kehancuran
planet bumi. Itulah sebabnya Hawking menyarankan manusia untuk segera
memikirkan pengembangan teknologi yang memungkinkannya membentuk kehidupan
dan peradaban di luar angkasa.
Tipe
Peradaban Manusia
Machio Kaku, fisikawan Jepang, dalam The
Physics of Extraterrestrial Civilization menyatakan, sebuah peradaban maju
harus tumbuh lebih cepat dari frekuensi bencana-bencana yang mengancam
kehidupannya.
Jika tumbukan meteor dan komet terjadi
sekali dalam orde ribuan tahun, manusia berperadaban tipe satu sudah harus
menguasai perjalanan antariksa untuk menyimpangkan puing-puing angkasa dalam
kurun waktu tersebut.
Begitu pula dengan proses munculnya
fenomena kekacauan iklim akibat global warming , manusia pada peradaban tipe
satu harus mampu merekayasa iklim dengan mengubah sistem atmosfer bumi untuk
menepis kenaikan suhu bumi itu.
Dewasa ini, menurut astronom yang juga ahli
fisika teori (theoritical physicist ) Inggris, Frank Watson Dyson, manusia
zaman modern saat ini masih berada dalam tipe peradaban nol. Menurut Dyson,
kegundahan manusia terhadap global warming dan kekacauan iklim seperti yang
terjadi saat ini adalah ciri manusia peradaban tipe nol dalam menghadapi
fenomena alam.
Di masyarakat manusia peradaban tipe satu,
masalahmasalah tersebut (gempa tektonik, tsunami, dan global warming ) sudah
bisa diatasi dengan sempurna seperti mengatasi saluran air yang macet di
selokan dan got yang mampet di sekitar rumah kita.
Untuk mengatasi gempa bumi, tsunami, dan
kekacauan iklim, manusia pada peradaban tipe satu membutuhkan energi yang
luar biasa. Energi ini bisa diperoleh dari energi matahari dan sumber-sumber
energi nonkonvensional lain di bumi.
Saat ini pemanfaatan energi matahari oleh
penduduk bumi yang berperadaban nol, menurut astronom Berkeley, Don
Goldsmith, masih sangat sedikit. Menurut Goldsmith, bumi hanya menerima satu
per miliar energi matahari dan manusia di bumi hanya menggunakan sepersejuta
total energi matahari yang diterima bumi.
Dengan demikian, manusia bumi saat ini
hanya memanfaatkan seperjuta miliar energi matahari. Seandainya manusia bumi
mampu memanfaatkan energi matahari secara maksimal, maka energi yang
didapatkan dari transformasi energi matahari itu sudah mampu untuk mendukung
manusia dengan peradaban tipe satu.
Yaitu manusia yang mempunyai output energi
yang sangat besar sehingga mampu mengatasi gempa bumi, mengalihkan tsunami,
dan mengubah cuaca. Setelah beberapa ribu tahun sebuah peradaban tipe satu
pun akan kehabisan energi.
Mereka telah mengonsumsi seluruh output
energi matahari yang berkisar semiliar triliun energi per detik. Untuk
mengatasi kekurangan energi karena bertambahnya penduduk dan tantangan alam,
manusia harus memasuki peradaban tipe dua.
Menurut Dyson, manusia dengan peradaban
tipe dua ini harus bisa membangun kawasan gigantik di sekitar bintang untuk
mendapat output energi yang amat besar. Karena konsumsi ener-ginya yang luar
biasa besar, tempat kehidupan manusia pada peradaban tipe dua ini akan
terlihat seperti planet bercahaya dari pesawat angkasa luar yang saat itu
sudah menjadi public transport.
Namun, manusia dengan peradaban tipe dua
yang telah menjalani kehidupan seharihari secara ekstraterestrial itu,
menurut Dyson, akan mendapat ancaman dari ledakan supernova dari bintang
terdekat sehingga planet yang mereka tempati akan habis terbakar.
Untuk mengatasi ledakan supernova tersebut,
mau tidak mau, manusia harus berpindah menuju peradaban tipe tiga, yaitu
peradaban yang dibangun di antariksa, di antara bintang-bintang.
Manusia dengan peradaban tipe tiga ini
mampu mendapatkan energi yang jumlahnya amat gigantik dan terus-menerus
karena banyaknya bintang yang bisa dimanfaatkan energinya di jagat raya
(universe ). Peradaban manusia tipe tiga ini, menurut Dyson, bersifat kekal
karena tak ada bencana alam yang menghancurkan mereka (Rakhmat, 2011).
Indonesia
Mimpikah itu? Tidak! Lima puluh tahun lalu
manusia mungkin hanya mimpi untuk bisa berkomunikasi tatap muka dengan
sahabatnya dari jarak ribuan kilometer. Kini hanya melalui handphone kecil
dengan OS Android, komunikasi semacam itu bisa dilakukan semudah membalikkan
telapak tangan. “Anda harus bermimpi sebelum mimpi itu jadi kenyataan,” kata
Abdul Kalam, bapak teknologi India.
Dengan mimpi inilah kita bisa membayangkan
masa depan manusia di antara bintang-bintang. Semua itu terjadi karena semua
yang dapat kita bayangkan, tulis Pablo Picasso, niscaya akan menjadi
kenyataan. Bagaimana bangsa Indonesia? Kesibukan politik dan kesibukan
fanatisme agama telah menguras energi bangsa ini.
Pengembangan ilmu dan teknologi untuk
memanfaatkan sumber energi nonkonvensional terbengkalai karena minimnya
anggaran dan kepedulian negara. Dari perspektif pembangunan sumber energi,
Indonesia dalam kategori Dyson mungkin belum memasuki peradaban tipe nol,
tapi masih berada dalam zona peradaban primitif.
Ciri-ciri peradaban primitif, manusianya
masih lebih mementingkan fanatisme agama, golongan, dan partai ketimbang
berkarya dengan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan
bersama. Entah bagaimana penilaian Hawking terhadap bangsa Indonesia. Sebab, Hawking
tidak percaya bahwa Tuhan bisa mengintervensi hukum alam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar